Menanggapi debat LGBT yang diselenggarakan pada 6 Juli 2015 lalu, saya merasa ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan, sesuai dengan apa yang saya ketahui. Saya memiliki latar belakang hukum dan sedang meneruskan pendidikan LLM di London, Inggris. Dan jika perlu disebutkan di sini, saya seorang heteroseksual yang mencoba memahami teman-teman LGBT saya.
Saya seorang heteroseksual yang mencoba memahami teman-teman LGBT saya.
Pertama, Mbak Yuli menyampaikan bahwa isu LGBT ini merupakan masalah perbedaan diskriminasi hak dan bukan masalah sosial dan agama seperti yang disampaikan oleh lawan beliau, yakni Bapak Sidik dan Ibu Neng. Lebih lanjut, jika boleh menafsirkan apa yang dimaksud oleh Mbak Yuli, suatu pernikahan itu lebih ditekankan kepada civil union rights, dalam rangka membentuk suatu keluarga yang diakui, harmonis dengan segala keterbukaannya. Penekanan yang berbeda disampaikan oleh pihak lawan. Bapak Sidik dan Ibu Neng melihat konteks pernikahan atau keluarga di Indonesia masih dianggap sebagai bagian dari koridor agama. Karena terdapat penekanan yang berbeda, terdapat implikasi yang berbeda pula. Misalnya, yang sudah terjadi sekarang, karena melihat dalam koridor agama, di Indonesia, poligami dan menikah di bawah umur itu dibolehkan. Namun, civil union rights juga ada kelemahannya, yakni belum tentu halal di mata agama. Permasalahannya sekarang adalah kita melihat (1) manusia untuk agama atau (2) agama untuk manusia? Tidak ada yang salah antara keduanya dan, menurut saya, keduanya harus diakomodasi sebagai konsekuensi berdemokrasi.
Kedua, HAM dipahami bukan agar Indonesia menjadi kebarat-baratan. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang diturunkan dari UN Chapter and Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa, ”All nations obliged, prohibit, and eradicate racial discrimination and incitement to racial hatred….”.
Permasalahannya sekarang adalah kita melihat manusia untuk agama atau agama untuk manusia?
Melalui Pancasila, Indonesia sudah mengumandangkan janjinya akan pembebasan terhadap dikriminasi kepada warganya sebelum dunia membuat janji yang sama. Sejarah menjadi saksi bahwa Pancasila lebih dahulu lahir daripada UN Chapter and Universal Declaration of Human Rights. Tugas kita adalah terus memastikan bahwa Indonesia tidak gampang tersulut dari pihak-pihak tertentu yang menyebar kebencian atas nama golongannya. Dengan budaya dan keberanekaragamannya, Indonesia sebagai negara demokrasi harus mampu mengakomodasi hak-hak dan mengakui kedaulatan semua rakyatnya. Hukum berpihak pada kedaulatan.
Terakhir, siapkah Indonesia menjadi negara yang besar? Saya melihat di sinilah isu LGBT di Indonesia berperan. Apakah Indonesia akan menjadi negara yang besar dengan menekan yang kecil, atau memastikan bahwa Indonesia menjadi besar karena ia tahu bagaimana caranya memperlakukan yang kecil?
***
Taufik Hidayat menamatkan pendidikannya dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Selepas menamatkan pendidikannya, ia bekerja sebagai konsultan hukum bagi perusahaan asing yang ingin berinvestasi di Indonesia. Pria yang hobi memasak ini kemudian meneruskan pendidikan pascasarjana LLM di Brunel University London dengan penelitian akhir di bidang pencucian uang. Selama mengenyam pendidikan di London, Inggris, Taufik–begitu ia akrab disapa–melibatkan diri di berbagai kegiatan relawan, salah satunya bersama Amnesty International. Ia memiliki akun Instagram @thidayat89.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
One Response to “Taufik Hidayat Mengenai Perbedaan Penekanan Makna Pernikahan”
October 25, 2016
jafarSaya sebagai gay bangga pada kalian yg mendukung kami karna kamijuga terkadang sesama gay ada yg tida mengerti terhadap temanya,terimakasihya.