
Saya adalah cucu paling kecil dari pihak ayah. Oleh karena itu, sedari kecil, saya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Mungkin itu dikarenakan usia saya dan para sepupu saya terpaut jauh; di samping saya adalah cucu laki-laki terakhir.
Saya tahu saya berbeda semenjak masih kecil. Ketika saya masih usia balita, sewaktu digendong sepupu-sepupu laki-laki saya, saya merasa nyaman. Saat itu saya tidak tahu namanya apa, tetapi sampai hari ini saya masih ingat rasanya. Ada sensasi yang berbeda ketika digendong seorang laki-laki dibanding perempuan.
Saya adalah cucu paling kecil dari pihak ayah. Sedari kecil, saya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang.
Di sekolah pun saya bukanlah pria yang maskulin. Saya satu sekolah dengan desainer Oscar Lawalata. Ia kakak kelas saya. Artinya, sebelum saya, sudah ada orang-orang yang seperti saya di sekolah. Saya memang beberapa kali dipanggil “Bencong” dan “Homo” oleh teman-teman saya. Tetapi saya tidak pernah bermasalah dengan itu karena saya memang mengakui mungkin ya saya seperti itu. Waktu itu belum ada istilah LGBT, apalagi queer.
Dipanggil “Bencong” sewaktu saya SMP dan SMA tidak pernah membuat saya marah. Saya malah suka diperlakukan seperti itu karena saya senang membuat orang lain tertawa. Malah, saya menjadi dekat dengan teman-teman yang memanggil saya dengan dengan sebutan itu.
Buat sebagian orang, itu tidak wajar, memang. Namun, saya tidak punya alasan untuk marah karena saya memang sedari kecil sudah menerima bahwa saya berbeda. Saya tidak menemukan ada yang salah ketika seorang laki-laki bersikap feminin, karena saya sadar sikap dan perilaku saya terjadi secara alami dan tidak dibuat-buat.
Sebutan dari mereka malah membuat saya populer dan pusat perhatian di sekolah. Saya tidak risih, tidak marah, dan melihat itu adalah bagian dari kehidupan sekolah sehari-hari. Guru-guru, teman-teman, dan kakak kelas malah menyukai saya. Mereka bukanlah orang asing karena mereka adalah orang-orang yang saya temui setiap hari sewaktu saya masih sekolah.
Kalau sekarang, mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang saya tidak kenal, mungkin saya marah dan tersinggung.
***
Di mata keluarga, saya memiliki penampilan yang berbeda dari kecil. Saya rasa mereka juga sudah bisa melihat itu. Dari gaya berpakaian saya semenjak usia belasan tahun, saya lebih suka pakai tas jinjing dibanding tas punggung. Saya punya tas punggung dari orangtua saya tetapi jarang saya pakai.
Dari masih remaja pun, saya sudah menyukai baca majalah Gadis. Waktu saya masih di bangku sekolah, harga Majalah Gadis Rp3000. Tidak murah untuk ukuran anak sekolah, tetapi saya rela untuk diam-diam menabung dari uang saku saya. Uang jajan saya Rp5000 seminggu dan Majalah Gadis terbit setiap 10 harian.
Dipanggil “Bencong” sewaktu saya SMP dan SMA tidak pernah membuat saya marah. Kalau sekarang, mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang saya tidak kenal, mungkin saya marah dan tersinggung.
Sedari kecil saya sudah tahu kiprah tokoh-tokoh fashion Indonesia yang saya kagumi. Seperti Ari Tulang, Ai Syarif, dan saya berharap bisa berkiprah di dunia mereka. Eksistensi mereka memberikan harapan dan menyuntikkan mimpi untuk berkreasi di bidang fashion Indonesia.
***
Masa kuliah bukanlah masa-masa menyenangkan. Saya tidak merasa diterima oleh para teman dan dosen karena gerak-gerik dan tingkah saya yang tidak seperti mahasiswa laki-laki umumnya. Ini berbeda dengan pengalaman saya sewaktu masih di SMP dan SMU.
Di bangku sekolah, mungkin memang saya sering digoda tetapi itu datang dari hati yang merangkul dan bersahabat. Di kehidupan kampus, saya mendapatkan gunjingan dan bisik-bisik di belakang yang sifatnya menjauhi saya dan memusuhi secara diam-diam. Menurut saya, ini pengecut sekali.
Saya pernah dituduh teman-teman lelaki saya bahwa saya berlagak feminin hanyalah sebagai kedok agar saya bisa memiliki banyak teman wanita. Katanya saya hanya pura-pura melambai. Sirik? Ya dia kalau mau punya banyak temen perempuan ya jadi bencong juga aja….
***
Saya tidak pernah menutupi bahwa saya berbeda semenjak kecil. Saya tidak pernah merasa harus berbohong dan menjadi diri orang lain yang tidak sesuai dengan jati diri saya. Jadi, saya pun tidak merasa harus melela dengan lugas. Rasanya itu tidak perlu karena orang pun juga harusnya sudah tahu. Kalau pun ada orang yang bertanya, ya, saya jawab apa adanya atau, “Masa elu nggak tau?” sambil tertawa.
Di mata keluarga, saya memiliki penampilan yang berbeda dari kecil. Saya rasa mereka juga sudah bisa melihat itu.
Orangtua pun sudah tidak pernah menanyakan kapan saya menikah dengan perempuan. Abang saya pun juga terakhir bertanya empat tahun lalu, ketika acara kumpul keluarga malam tahun baru, sebagai tradisi di keluarga Batak. Namun, saya merasa perlu untuk mengatakan dengan jelas kepada Abang saya, semacam validasi bahwa saya berbeda darinya. Cepat atau lambat saya mungkin akan mulai bicara dengannya. Mungkin setelah artikel ini terbit.
Untungnya, saya dekat dengan abang dan orangtua saya. Saya adalah paman yang royal dan senang memanjakan 2 keponakan perempuan saya. Saya pun mengambil kelas tata rias dengan tujuan untuk bisa memanjakan ibu saya ketika ia harus pergi ke acara pernikahan keluarga, ibadah ke gereja, dan acara penting lainnya. Selain itu, saya dan ibu saya suka pergi ke salon untuk sekadar manicure dan pedicure, atau perawatan lain. Saya bahagia ketika melihat ibu saya cantik.
Polin Impola Sitompul lahir di Jakarta 15 April 1981. Alumni SMP dan SMU Katolik Don Bosco Pondok Indah ini menyukai kegiatan rumahan, seperti berkebun, memanggang roti, dan merawat hewan peliharaannya. Setelah ia menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Negeri Jakarta, Poci–begitu ia akrab disapa–memulai kariernya di industri retail dan fashion Indonesia. Saat berbagi cerita ini, ia sudah memiliki 16 tahun pengalaman di bidang tersebut. Pria lajang ini bekerja sebagai Division Manager di salah satu perusahaan retail internasional terbesar di Asia. Sapa Poci di akun instagram @polinimpola.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela atau menceritakan bagaimana lingkungan Anda mampu menerima Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigation di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigation di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti, “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi”.
2 Responses to “Polin Impola Gemar Digoda”
February 20, 2021
KepoRio Damar udah melela kepada orang tua dan kakak perempuannya belum? Boleh share dong story nya? Thanks
May 19, 2021
Melela.orgHi Kepo, terima kasih atas pertanyaannya. Rio Damar adalah penggagas website ini pada tahun 2013, sebelum ia meneruskan pendidikan pasca-sarjanannya di London, UK. Menjawab pertanyaan kamu, kebetulan beliau dari awal memang menolak menceritakan kisahnya di situs yang digagasnya sendiri dengan alasan keberimbangan. Ia sudah sempat menceritakan kisah melelanya di beberapa media lain, namun memang media ini bersifat media cetak berbayar. Konten melela Rio Damar yang dapat kamu dengar secara gratis bisa di podcast KBR di Spotify di acara Love Buzz dengan judul “Melela”
Semoga jawaban ini membantu, ya. Terima kasih.
Gordon.