Saat itu saya sedang berada di sebuah salon ketika membaca majalah Cosmopolitan Indonesia edisi Januari 2014. Saya kaget ketika masih saja menemukan konten majalah tersebut yang mendeskripsikan negatif tentang komunitas LGBT.
Dalam artikel “Fun, Fearless, or Fail,” majalah Cosmopolitan Indonesia menganggap ciuman antara laki-laki dan perempuan sebagai fun, ciuman massal dari seorang artis kepada tentara Amerika sebagai fearless, tetapi ciuman antara pasangan sesama laki-laki dianggap fail. Bahkan, majalah ini menulis kata ‘yuck’ untuk, “Bermesraan dengan teman pria”.
Saya kaget ketika masih saja menemukan konten majalah tersebut yang mendeskripsikan negatif tentang komunitas LGBT.
Saya marah sekaligus sedih membaca artikel Cosmopolitan Indonesia. Ini bukan kali pertama saya mendapatkan konten seperti ini di majalah Cosmopolitan Indonesia. Lebaran tahun 2013, Cosmopolitan Indonesia melabel ciuman antara pasangan lesbian sebagai skanky dan ciuman antara pasangan lawan jenis sebagai sexy.
Saya juga merasa menyesal karena dari kali pertama saya menemukan hal ini, saya diam saja. Tidak melakukan apa-apa. Hal ini menyebabkan konten senada berulang kembali di awal tahun 2014. Oleh karena itu, kali ini, saya merasa harus melakukan sesuatu agar artikel yang menyudutkan teman-teman LGBT tidak terjadi lagi.
Melalui situs change.org, saya meminta redaksi Cosmopolitan Indonesia mememinta maaf kepada para LGBT dan lebih berhati-hati dalam proses editing di kemudian hari agar tidak menampilkan pesan-pesan diskriminatif.
***
Bagi sebagian orang, mungkin artikel di majalah Cosmopolitan Indonesia itu adalah sebuah hal sepele. Namun, semua hal besar dimulai dari hal-hal kecil. Jika pemahaman yang salah ini dianggap normal, kita akan terus menjadi masyarakat dengan pemahaman terbelakang.
Saya marah sekaligus sedih membaca artikel Cosmopolitan Indonesia.
Di kehidupan sehari-hari saya masih menemukan ketimpangan yang tidak adil bagi teman-teman LGBT saya. Misalnya, saya memiliki beberapa sahabat yang bisa bebas bercerita tentang hubungan asmara mereka. Mereka dapat leluasa cerita tentang pacar mereka masing-masing. Namun, ketika ada salah satu dari kami—yang seorang gay—ingin berbagi ceritanya, ia kerap mendapatkan sanggahan, “Aduh, kalo loe jangan cerita deh. Gue jijik….”
Hal ini tidak adil bagi LGBT dan terbayangkah dampak mental yang dapat terjadi ketika seorang LGBT kerap mendapatkan perlakuan seperti ini? Ini menjadi berbahaya jika perilaku diskriminatif dianggap sebagai budaya yang ‘normal’. Homofobik bukanlah sesuatu yang normal. Buat kita mungkin sepele, tetapi tidak buat mereka yang dirugikan.
Jika pemahaman yang salah ini dianggap normal, kita akan terus menjadi masyarakat dengan pemahaman terbelakang.
Ada lagi kisah lain. Teman pria saya sempat menolak makan siang dengan seorang gay. Katanya ia takut makan siang dengan seorang gay. Lalu saya sampaikan kepadanya, “Bukan karena dia gay, lalu dia pasti akan menggoda atau naksir sama loe, kali….”
Gay dan putus asa adalah dua hal yang berbeda.
***
Melanie Tedja lulus dari Fakultas Ilmu Komputer di Universitas Indonesia dan meneruskan pendidikan magister di Monash University jurusan Pengembangan Internasional dan Analisa Finansial. Kini, ia bekerja sebagai konsultan finansial yang membantu program-program emisi rendah dan clean energy. Pada awal tahun 2014, Melanie menggagas sebuah petisi yang ditujukan pada majalah Cosmopolitan Indonesia terkait dengan isi majalah tersebut yang dinilai memberikan label negatif terjadap komunitas LGBT. Petisi mendapatkan 400 tandatangan dari masyarakat Indonesia dalam waktu 2 hari dan terus bertambah. Menanggapi petisi tersebut, majalah Cosmopolitan Indonesia telah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi hal serupa di masa depan. Sapa Melanie melalui twitter di @Meltedja.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan kisah Anda ke contact@melela.org. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Petisi Melanie untuk Majalah COSMOPOLITAN Indonesia”