Butuh proses yang panjang untuk saya menerima diri sebagai Transpuan. Semenjak kecil, saya merasakan keberbedaan dibanding orang lain yang hari ini, saya anggap sebagai keunikan. Setiap orang, apapun orientasi seksualnya, dilahirkan berbeda. Seperti Anda, begitu juga saya. Namun, perbedaannya adalah saya feminin, suka mengenakan pakaian yg diidentikkan sosial dengan perempuan, dan berdandan layaknya perempuan kebanyakan. Meskipun sekarang saya berpikir: pakaian kan tidak berjenis kelamin dan perempuan tak wajib untuk bersolek, tapi alamiah saya memang suka berpenampilan feminin dan sedikit berdandan.
‘Menjalani hidup sebagai waria susah ya? Nggak bisa sekolah tinggi dan ujung-ujungnya kerja di jalan yg penuh dengan risiko tindak kekerasan, ya?’
Selepas SMK, saya mulai mengenal dan berteman dengan komunitas waria di Jambi. Di situ saya mulai mengenal bahwa ada orang-orang lain seperti saya. Waktu itu saya mulai berbagi cerita dan melihat kehidupan mereka. Setelah mengenal mereka beberapa lama, saat itu saya berpikir, ‘Menjalani hidup sebagai waria susah ya? Nggak bisa sekolah tinggi dan ujung-ujungnya kerja di jalan yg penuh dengan risiko tindak kekerasan, ya?’ ujar saya dalam hati.
Kenyataan itulah yang membuat saya sulit sekali memiliki dorongan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan semasa SMP saja, saya sempat ketakutan untuk melanjutkan ke SMK, takut di-bully, dikatain bencong, dan sulit memiliki teman. Tapi untungnya saya berhasil hingga lulus SMK.
Selepas lulus SMK, tidak ada gambaran nyata yang bisa saya lihat selain waria yang bekerja di jalanan dan salon. Meskipun keduanya adalah pekerjaan, tetapi sebenarnya, keinginan saya bukan hanya di situ. Andai saja saya bisa melihat peluang sosok trans lain dalam hal akademis dan karier lain pada saat itu, mungkin akan mampu membawa nasib saya dan teman-teman transpuan menjadi lebih beragam.
Proses melela teman-teman gay dan transpuan biasanya berbeda. Jika teman-teman gay melela terlebih dahulu baru menunjukkan ekspresi dirinya sebagai gay, proses itu terbalik di teman-teman transpuan. Biasanya, teman-teman transpuan mulai dengan mencoba perlahan-lahan menemukan ekspresi dirinya terlebih dahulu–yang dalam kasus saya adalah dengan membawa baju-baju lama saya ke tukang jahit–baru setelah nyaman dan yakin akan jati dirinya, seorang transpuan akan melela kepada lingkungannya. Melela pada transpuan bisa berbentuk pengungkapan nama baru yang ia pilih karena lebih mewakilkan jati dirinya. Jika sudah begitu, kita sebaiknya tidak lagi bertanya nama lahir atau nama yang tercatat di KTP.
Ketika memulai proses mengekspresikan dan mencari jati diri, transpuan sebaiknya paham betul tentang ilmu SOGIE SC (Sexual Orientation Gender Identity, Expression & Sex Characteristic) agar bisa menerima diri dengan baik dan lebih yakin akan apa yang dia cari di hidupnya. Proses menemukan identitas gender itu unik, semisal, bisa jadi seseorang transpuan awalnya mengira dirinya gay karena menyukai Laki-laki, tetapi pada prosesnya ia kemudian menyadari bahwa dirinya adalah transpuan. Kita sebaiknya diberikan peluang menjadi versi diri kita yang terbaik untuk bisa berkontribusi ke masyarakat, dan hal baiknya kini kita tahu di mana posisi kita dan bagaimana pendekatan kita terhadap kehidupan bersama orang-orang sekitar, termasuk mereka yang tidak menyukai keberadaan kita. Membina hubungan baik antara masyarakat LGBT dan non-LGBT tetap harus terpelihara.
Jika teman-teman gay melela terlebih dahulu baru menunjukkan ekspresi dirinya sebagai gay, proses itu terbalik di teman-teman transpuan.
Dalam hidup saya, transformasi mulai selepas lulus SMK. Saya mulai mencoba berpakaian feminin. Kemeja-kemeja lama saya bawa ke tukang jahit untuk ditambahkan renda dan ornamen feminin agar berubah menjadi blus yang tampak baru. Setelah mencoba berdandan dan menjahit pakaian, saya baru memberanikan diri untuk membeli langsung pakaian perempuan, karena ternyata ongkosnya lebih murah ketimbang mereproduksi pakaian lama.
Setelah menjalani hidup sebagai transgender sampai hari ini, saya merasa penting sekali untuk kita menemukan komunitas yang bisa saling memberdayakan satu sama lain. Di dalam komunitas inilah, seorang trans bisa menemukan keluarga baru apabila keluarga kandung menolak jati dirinya. Dalam komunitas, trans tidak hanya bisa menemukan kasih sayang dan dukungan, tetapi juga informasi tentang kesempatan bekerja dan kesempatan mendapatkan karier jika itu yang ia inginkan.
Komunitas adalah bagian penting ketika kita bernasib sebagai minoritas di Indonesia. Ada beberapa teman yang memahami SOGIE SC tapi karena tidak diimbangi dengan konsep keyakinan beragama yg progresif, mereka masih merasa dirinya salah dan berdosa. Ketika ini terjadi, komunitas bisa menjadi sumber pemahaman keagamaan dalam kacamata masyarakat minoritas yang mampu membangun dinding-dinding spriritual seorang LGBT. Ada kok, pemahaman-pemahaman keagamaan yang ‘halal waria’, ‘halal LGBT’, dan lebih ramah terhadap masyarakat minoritas terpinggirkan. Bukan hak manusia mana pun untuk mengadili mana yang benar mana yang salah–selama seorang minoritas ingin beriman. Pemahaman keagamaan yang selama ini yang digaungkan adalah pemahaman yang menyudutkan teman-teman minoritas tanpa memberikan kesempatan terhadap narasi dan tafsir lain, jadi, menurut saya ini hanyalah pemahaman mana yang populer dan yang tidak, bukan tentang benar dan salah.
Buat saya, setiap manusia dilahirkan dalam tubuh yang benar. Namun dalam beberapa manusia, proses pencarian jati diri dan penerimaan terhadap tubuhnya membutuhkan proses yang lebih kompleks. Setelah ia mulai menemukan jati dirinya, barulah seorang transpuan dapat melangkah lebih pasti, memiliki tujuan hidup, bahkan bukan tidak mungkin menemukan cinta.
Pemahaman keagamaan yang selama ini yang digaungkan adalah pemahaman yang menyudutkan teman-teman minoritas tanpa memberikan kesempatan terhadap narasi dan tafsir lain
Saya sendiri sudah memiliki seorang kekasih semenjak tahun 2010. Artinya, sudah 12 tahun kami bersama. Pertemuan kami di daerah prostitusi Kota Bandung, Jawa Barat, tepatnya di Jalan Belitung dekat Taman Centrum. Saat itu ia bersedia menunggu saya sampai selesai bekerja dan mengantar saya pulang pagi-pagi buta. Saat itu saya tidak berpikir ia akan menjadi kekasih tetap, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ia menunjukkan konsistensi, ketulusan, mampu memberikan saya rasa nyaman dengan kebaikan dan kesabarannya. Ia adalah kekasih sekaligus Guru terbaik buat saya. Pernah suatu hari saya ingin memutuskan untuk meninggalkan Bandung karena bosan dan merasa sendirian. Namun, kehadirannya membuat saya yakin untuk terus bertahan berjuang hidup di Bandung. Ada suatu waktu saya mengalami kekerasan di jalan, kepala saya pecah delapan belas jahitan, dan tangan sobek lima jahitan, ia hadir menolong saya, mengurus saya ke rumah sakit, dan sosoknya ada selama masa penyembuhan. Di situ saya makin yakin bahwa ia serius menjalani hubungan sampai hari ini.
Mengenai masa depan hubungan kami, saya dan pasangan belum memikirkan masalah menikah. Untuk sekarang, komitmen saja sudah cukup. Ia menetap di Bandung, saya semenjak kejadian traumatis tersebut, hijrah ke Jakarta. Namun saya pasti menyempatkan untuk pulang ke Bandung dan bertemu, 2 minggu atau setidaknya sebulan sekali. Kami memiliki anak-anak kucing terlantar yang kami pelihara seperti anak-anak sendiri. Jika sedang berduaan, kami senang menghabiskan waktu di kebun bersama kucing-kucing kami. Saya bahagia dengan hubungan kami yang mungkin berbeda dengan orang lain. (RD/AP)
***
Saat berbagi ceritanya kepada www.melela.org, Anggun Pradesha disibukkan di Yayasan Intan atau ‘Inklusi Transperempuan’, yang digagasnya pada bersama teman-teman transpuan lain yang sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun di organisasi sosial dan pemberdayaan. Perempuan kelahiran 29 Agustus 1986 ini juga baru saja menelurkan buku “Parade yang Tak Pernah Usai”, sebuah antologi cerpen fiksi spekulatif tentang Keberagaman, Gender dan Seksualitas, yang dia kerjakan bersama Hendri Yulius serta teman-teman Penulis lain dg berbagai latar belakang profesi. Ia juga sedang menyelesaikan film dokumenter bersama Kalyana Shira Films dan Eastern Standart Times (EST Media). tetapi, dari semua karya yang telah ia telurkan, film “Emak Dari Jambi” adalah salah satu yang paling berkesan. Dalam film dokumenter itu, Transpuan berusia 36 tahun ini merekam hubungan dengan orangtuanya dan menceritakan proses penerimaan ibunya atas identitasnya sebagai Anggun.
No Responses to “Pentingnya Komunitas LGBTIQ bagi Anggun Pradesha”