Saya harus mengakui bahwa dahulu saya seorang yang homofobik dan menganggap LGBT adalah aneh serta menjijikkan. Lalu saya mulai belajar dan mencari tahu apa itu LGBT. Dari apa yang saya temukan, saya melihat bahwa LGBT adalah manusia biasa, sama seperti yang lain. Kemudian saya mulai melihat bahwa LGBT ada di lingkungan yang dekat dengan saya. Beberapa keluarga saya bahkan gay. Saya melihat bahwa mereka diasingkan oleh keluarga mereka dan itu saya rasakan keliru. Mengasingkan seseorang hanya karena dia adalah seorang gay bukanlah tindakan yang baik.
Pemahaman saya mengenai LGBT dimulai ketika saya belajar di Bethany Theological Seminary di pinggiran kota Chicago, Amerika Serikat. Di seminari itu sendiri ada beberapa mahasiswa yang gay dan ternyata mereka biasa-biasa saja. Bahkan, ada beberapa yang begitu bersemangat ketika membicarakan mengenai keadilan sosial. Ketika berada di sana, saya melihat seminari tersebut pun tidak membeda-bedakan mana mahasiswa yang gay dan yang bukan. Mereka diterima sepenuhnya oleh seminari.
Mengasingkan seseorang hanya karena dia adalah seorang gay bukanlah tindakan yang baik.
Ketika itu tahun 1990. Saya mengambil mata kuliah Urban Ministry (Pelayanan Masyarakat Kota). Salah satu kegiatan di mata kuliah itu adalah mengunjungi pusat kota Chicago untuk melihat kehidupan malam dan tempat hiburan kelompok minoritas gay. Di area hiburan malam tersebut, terdapat Nightlife Ministry, semacam pelayanan gereja yang diberikan kepada anak-anak malam dan kelompok minoritas gay. Saya pun bertemu dengan dua orang pendeta yang memberikan pelayanan di Nightlife Ministry. Setelah berbincang-bincang dengan mereka, saya menemukan bahwa mereka terpanggil untuk memberikan pelayanan tersebut. Mereka mengatakan, “Saya yakin ini adalah pelayanan yang tuhan inginkan untuk saya.”
Saya sangat terkesan dengan pilihan mereka yang tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan, bahkan mereka bersedia masuk untuk hadir di tengah-tengah komunitas hiburan malam.
Hebat sekali, pikir saya.
Pada kesempatan kuliah itu, saya pun bertemu dengan seorang rekan mahasiswa dari sekolah teologi lain di Chicago yang tergabung dalam konsorsium sekolah teologi di kota itu. Ia seorang teman yang baik. Saya banyak ngobrol dengan dia. Suatu kali dia bertanya, “Apakah kamu punya pohon natal?” Saya bilang, tidak. Kami belum lama tiba di Chicago, dan saat itu baru bulan Agustus. Untuk apa beli pohon natal? Dia kemudian bertanya apakah saya mau meminjamnya. Lalu dia mengajak saya ke apartemennya untuk mengambil pohon natal kecil dengan hiasannya.
Saya melihat bahwa mereka diasingkan oleh keluarga mereka dan itu saya rasakan keliru.
Di apartemen itu saya melihat sejumlah buku tentang lesbianisme. Ah, rupanya teman ini seorang lesbian, pikir saya. Tapi saya tidak berkata apa-apa. Beberapa bulan kemudian, setelah lewat hari Natal, saya mengendarai mobil ke kota Chicago, untuk mengunjungi teman saya seorang mahasiswa Indonesia juga. Saya tiba-tiba melihat teman yang meminjamkan pohon natal itu sedang berjalan kaki bersama seorang perempuan lain. Saya menghentikan mobil dan menegurnya. Ia mendekati saya ke mobil dan mengatakan, “Hi! Ini partner saya,” katanya. Nah, ternyata jelas kan dia seorang lesbian. Tapi dia seorang yang baik hati, pikir saya. Berbeda dengan gambaran yang sering diberikan orang bahwa lesbian itu memusuhi laki-laki.
***
Ketika tahun 1992 saya pulang ke Jakarta, saya diberikan tugas untuk mengkoordinasi Program Kegiatan Lapangan di kampus saya. Saya ingin menerapkan apa yang saya temukan sewaktu saya kuliah di lingkungan saya, yakni: bagaimana memberikan layanan gereja untuk semua kalangan dan tidak membeda-bedakan. Namun, saya belum menemukan bagaimana caranya untuk masuk ke komunitas LGBT. Lalu saya ingat bahwa ada satu mahasiswa yang pernah menyusun skripsi mengenai kelompok minoritas gay. Saya pun menghubungi mahasiswa tersebut untuk mencari tahu bagaimana caranya masuk ke komunitas LGBT.
Dari apa yang saya temukan, saya melihat bahwa LGBT adalah manusia biasa, sama seperti yang lain.
Setelah mendapatkan informasi, saya kemudian mengirim mahasiswa saya untuk ke sana agar mahasiswa bisa kenal dengan komunitas LGBT. Saya ingin mahasiswa-mahasiswa tidak menutup diri dengan kalangan minoritas, karena sebenarnya gay itu tidak banyak berbeda dengan saya dan kita semua. Bedanya hanya preferensi saja. Seperti misalnya, saya suka pizza tapi ada yang nggak suka dan lebih memilih gado-gado. Itu saja, kok. Sederhana.
Ketika masuk ke komunitas LGBT, mahasiswa saya menemukan komunitas LGBT datang dari beragam latar belakang yang berbeda. Ketika ditanya mengenai agama, mereka menjawab bahwa mereka bekas agama Kristen, bekas agama Islam, bekas agama Hindu. Semuanya bekas. Mereka meninggalkan agama mereka karena merasa bahwa kelompok agama telah meninggalkan mereka. Menurut saya, gereja sebaiknya membuka diri kepada siapa saja, LGBT sekalipun.
Saya suka pizza tapi ada yang nggak suka dan lebih memilih gado-gado.
Saya teringat akan sebuah gereja Presbiteran yang menjadi “rumah” saya selama saya kuliah di Berkeley. Gereja itu memasang bendera pelangi di halamannya. Saya sangat terkejut senang melihatnya. Gereja itu sangat terbuka terhadap LGBT. Di situ ada sejumlah pasangan LGBT yang rutin berbakti setiap Minggu dan aktif.
Pendeta di gereja itu juga selalu merayakan sakramen (upacara keagamaan) perjamuan kudus setiap minggu pertama di awal bulan. Di banyak gereja umumnya, perjamuan kudus hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah dibaptiskan, mengaku percaya, dan sedang tidak terkena sanksi gereja. Namun di gereja itu, pendetanya selalu menyatakan bahwa perjamuan kudus itu terbuka bagi siapapun, “Di mana pun juga mereka berada dalam perjalanan spiritual mereka, karena tuan rumah dalam perjamuan ini adalah Yesus sendiri.” Wah, ini keren sekali, pikir saya. Luar biasa!
***
Saat ini, sekolah saya mengadakan Pekan LGBT Internasional secara berkala dan dalam kegiatan itu kami mengadakan pelayanan untuk LGBT dengan bantuan teman-teman saya yang gerejanya sudah membuka diri terhadap kelompok minoritas LGBT. Pelayanan LGBT tujuannya untuk memberikan siraman rohani bukan untuk mengubah dan mendorong seseorang untuk bertaubat karena sebenarnya tidak ada yang salah dengan mereka. Mendorong seseorang untuk berubah menjadi orang lain akan membuat orang tersebut semakin menjauh dan meninggalkan agama. Agama seharusnya bisa ramah kepada siapa saja karena hakikat agama adalah mengajarkan cinta kasih, bukan kebencian.
Mereka meninggalkan agama mereka karena merasa bahwa kelompok agama telah meninggalkan mereka.
Banyak orang yang takut bahwa orang akan meninggalkan gerejanya ketika gereja membuka diri terhadap LGBT, tetapi banyak pula orang yang berpendapat bahwa gereja telah melakukan tindakan yang benar. Dampak positif ketika LGBT bisa diterima di gereja adalah menghapus kepura-puraan. Orang menjadi tidak takut untuk menjadi dirinya sendiri di rumah Tuhan dan ini adalah penting, siapa pun itu. Di samping itu, dengan membuka diri terhadap kelompok masyarakat yang berbeda, ini akan memperkaya khazanah keimanan gereja dan ini menguntungkan pihak gereja. Oleh karena itu, saya rasa, pihak gereja sebaiknya bisa mulai mendengarkan keresahan yang dihadapi kelompok minoritas LGBT tanpa harus menghakimi. Mendengarkan keresahan dan mampu menciptakan percakapan dari hati ke hati adalah langkah awal untuk gereja mulai membuka diri kepada mereka. Banyak pendeta yang merasa belum siap untuk mendengarkan kisah hidup LGBT, tetapi sekarang ada cukup banyak dari mereka yang sudah mulai bersedia mendengarkan dan mulai berani berbicara tentang bagaimana membuka diri terhadap LGBT.
***
Stephen Suleeman adalah dosen dan Kepala Unit Pendidikan Lapangan di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Ia mulai mengajar di sana semenjak tahun 1985. Pendeta Stephen Suleeman memperoleh gelar S-2 pada tahun 1992 dari Union Theological Seminary in Virginia di Richmond, Virginia, Amerika Serikat dan mendapatkan gelar doktorandus ilmu komunikasi dari FISIP Universitas Indonesia. Pada tanggal 25 Desember 2013, ia memimpin ibadah Natal untuk GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia di seberang Istana Merdeka Jakarta. Ia menghadiri Sidang Raya ke-10 Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Busan, Korea Selatan sebagai perwakilan STT Jakarta. Sapa Pendeta Stephen melalui Facebook di www.facebook.com/stephen.suleeman.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
3 Responses to “Kasih Sayang dari Pendeta Stephen Suleeman”
March 7, 2017
Dwita SiregarThanks for this article. It’s very interesting. All teh best, Boksu..
March 9, 2017
Johanes SimanungkalitJudulnya tdk pas dgn isi beritanya
September 29, 2020
168 Mediagereja memang seharusnya merangkul kaum LGBTQ, bukan memusuhi mereka