Aku lahir pada tahun 1953 sebagai anak tertua. Aku mempunyai dua adik laki-laki dan satu adik perempuan. Sewaktu masih duduk di bangku SD, salah satu kesenanganku, yang kuingat sampai sekarang, adalah memperhatikan murid laki- laki yang lain, biasanya kakak-kakak kelasku. Memasuki masa prapuber, aku pun senang menonton film-film gaya Hercules, Tarzan, dan sebagainya. Di film-film tersebut, aku bisa melihat badan laki-laki dengan pakaian yang minim sekali. Orang tuaku tidak mengizinkan aku menonton film-film yang banyak perempuan berpakaian tipis atau terbuka, tetapi buatku itu bukan persoalan. Aku selalu bisa menonton film anak-anak kesukaanku, seperti Tarzan, dan… aku bisa melihat menikmati badan si manusia kera itu.
Kenangan yang juga masih aku ingat dari kurun waktu itu adalah kesenanganku bermain-main di bengkel mobil milik ayahku. Ya, kadang-kadang, para montir itu menggangguku, tetapi aku senang memperhatikan mereka. Atau… juga kalau ada tukang batu yang sedang memperbaiki rumah kami, aku senang memperhatikan mereka. Aku merasa senang. Namun, aku tidak pernah menceritakan kesenangan itu kepada siapa pun.
Aku mempunyai dua adik laki-laki dan satu adik perempuan.
Ketika aku berumur 11 tahun, suatu malam, ayahku mengajakku berbicara empat mata di kamar tidurnya. Dia menerangkan bahwa seorang anak laki-laki yang seumurku itu akan mulai mengeluarkan apa yang disebut air mani. Menurutnya, hal itu akan terjadi pada saat aku sedang tidur dan bermimpi tentang wanita atau berpelukan dengan wanita.
Waktu itu, aku merasakan sesuatu yang aneh karena, beberapa minggu sebelumnya, aku memang pernah bermimpi dan mengeluarkan air mani, tetapi bukan wanita yang aku impikan. Malam-malam berikutnya, aku mulai memperhatikan mimpiku. Ternyata, mimpi yang merangsangku selalu tentang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh indah. Terkadang, aku bermimpi tentang diriku sendiri dalam keadaan telanjang.
***
Sejak aku mulai bersekolah, aku selalu bersekolah di sekolah Katolik, sampai aku di universitas, barulah aku masuk universitas negeri. Aku pun mulai tertarik untuk mempelajari agama Katolik ketika aku berumur kira-kira 14 tahun. Homoseksualitas tidak disebut-sebut dalam pelajaran agama, tetapi kebiasaanku beronani sudah cukup untuk membuatku merasa sebagai pendosa besar. Khayalan yang sering terbayang olehku jika malam-malam tidak bisa tidur ialah suatu kompleks olahragawan atau kompleks untuk para pemuda. Di sana, mereka hidup bersama, berpakaian seperlunya saja, dan malam tidur telanjang. Salib kayu yang berada di atas ranjangku tidak bisa menghindarkan aku dari melakukan onani.
Sejak aku mulai bersekolah, aku selalu bersekolah di sekolah Katolik.
Aku makin mendalami agama Katolik dan makin banyak membaca Alkitab. Ayat-ayat tulisan Santo Paulus yang mengutuk hubungan persetubuhan dengan sesama laki-laki sangat merisaukan hatiku karena aku melihat diriku sebagai orang yang berdosa besar sekali. Bodohnya, aku telan semua itu mentah-mentah tanpa berpikir; tetapi anak umur 15 tahun mana yang bisa berpikir terlalu dalam tentang hakikat hidup ini?
Pada umur 17 tahun, aku dipermandikan, dan resmi menjadi orang Katolik. Dalam doa-doaku, aku selalu meminta kepada Tuhan supaya aku “disembuhkan”. Malah sewaktu aku menerima komuni pertama, dan aku diberitahu bahwa aku bisa meminta sesuatu yang pasti akan dikabulkan oleh Tuhan, aku memohon supaya aku “disembuhkan”. Akan tetapi, tetap saja, tidak ada perubahan apa-apa. Malah makin jelas kecenderunganku ke arah homoseks.
Pada saat itu, aku sudah merasa malu sekali akan keadaanku sebagai seorang homo, terutama dari sisi ajaran agama. Pembicaraan teman-teman tentang homoseksualitas selalu disertai dengan nada sumbang. Apa pun yang aku baca biasanya tidak begitu positif tentang homoseksualitas.
***
Di Universitas, aku belajar agama di bawah pastor yang cukup modern. Dia menyuruh kami berpikir dalam menerima pelajaran agama. Kami tidak boleh menerima bulat-bulat pelajaran agama tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Tahun keempat di universitas, aku memperoleh beasiswa ke Jepang selama enam minggu. Pada saat itu, aku jatuh cinta kepada laki-laki salah satu anggota rombongan. Sayangnya, dia, rupanya, bukan homo, tetapi kami selalu ke mana-mana bersama: mulai dari bangun pagi (dia bangunkan aku setiap pagi), mandi pagi, jalan ke sekolah, makan pagi di kantin, keluyuran sehabis kuliah; pokoknya asyik benar.
Aku cukup bangga dengan pendidikanku karena banyak sekali berhasil memperoleh beasiswa. Begitu juga ketika aku hendak meneruskan pendidikan pascasarjana. Tahun 1978, aku mendapat bantuan beasiswa untuk meneruskan pelajaranku ke tingkat Doktor di salah satu universitas terbaik di Amerika Serikat.
Aku pergi ke Amerika dengan penuh harapan mendapatkan gelar Doktor, tetapi juga dengan harapan bisa menjalani kehidupan homo yang menyenangkan dan sehat: bisa berkumpul dengan para homo lain atau jalan-jalan ke bar homo di sekitar kampus. Namun, ternyata, pada tahun pertama di universitas itu, aku begitu sibuk.
Di Universitas, aku belajar agama di bawah pastor yang cukup modern
Pertengahan tahun 1979, aku mendapat pekerjaan di dekat San Fransisco. Aku sudah mendengar bahwa San Fransisco itu bak surga kaum homo dan lesbian. Aku sudah hampir pergi ke jalan Castro, pusat kaum homo dan lesbian, tetapi entah mengapa aku lebih banyak mencurahkan waktu untuk bekerja.
Seiring berjalannya waktu, aku mampu memaklumkan orang tuaku dan keluargaku yang terdekat, termasuk satu adikku tentang keputusanku untuk menjadi orang homo yang terbuka. Sudah tentu, mula-mula, mereka sedih dan kecewa, tetapi lambat laun mereka menerimaku sebagaimana adanya, terutama karena mereka mencintaiku.
Kami tidak boleh menerima bulat-bulat pelajaran agama tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
Mungkin Anda bertanya, mengapa, sih, aku begitu ingin membuka keadaan homoseksualitasku? Jawabannya: berpura-pura itu rasanya berat dan menyesakkan. Terutama, aku benci akan kepura-puraan dan kemunafikan. Memproklamirkan diri sebagai seorang homo saja belum cukup untuk menempuh kehidupan homo yang sehat, tetapi paling tidak satu rintangan sudah tersisihkan bagiku. Sekarang, aku tidak perlu selalu memakai topeng dan membohongi dunia luar maupun diri sendiri.
***
Dede Oetomo lahir di Pasuruan, 6 Desember 1953 dan merupakan salah satu Dosen Luar Biasa FISIP Universitas Airlangga. Ia adalah salah satu pendiri dan aktivis Lambada Indonesia yang didirikan pada 1982, organisasi gay pertama di Indonesia. Ia pun juga pendiri dan koordinator GAYA NUSANTARA. Sapa Dede Oetomo melalu akun Twitter @dedeoetomo
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela atau menceritakan bagaimana lingkungan Anda mampu menerima Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
Kisah Dede Oetomo sudah dibaca dan disempurnakan oleh Dr. Felicia N. Utorodewo yang menamatkan program S3 di bidang Linguistik Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia. Dr. Felicia lahir pada 22 Desember 1953 beragama Islam. Ia menikah dengan Gerdhy Utorodewo dan dikaruniai dua orang anak, Gatot Hadi Pratomo dan Permaswari Wardhani.
2 Responses to “Jati Diri Dede Oetomo”
January 7, 2020
Dumps onlineI constantlу spent mу half an hߋur tо rеad this website’s articles everyday ɑlong witһ a mug
of coffee.
September 8, 2020
xxxxxx