Ketika saya memberikan seminar dan kuliah, saya tidak perlu menyebut apakah saya gay atau bukan.
Bukannya saya tidak mau coming-out, tetapi saya justru ingin memperlihatkan bahwa ‘identitas’ seksual tidak selalu harus mendefinisikan siapa saya. Ketika saya mengajar, identitas saya adalah sebagai seorang pengajar. Ketika saya menulis, identitas saya adalah sebagai seorang penulis. Ketika saya dinilai hanya atas dasar identitas seksual atau ras, maka inilah yang disebut oleh Amartya Sen sebagai ‘Kekerasan dan Ilusi Identitas’. Identitas bisa beragam dalam satu tubuh. Lantas, mengapa kadang hanya karena satu identitas saja, lalu ragam identitas lainnya ditenggelamkan? Tetapi, saya juga tidak serta merta menerima dan menubuhi identitas ‘gay’. Identitas ‘gay’ juga dilekati oleh beragam konstruksi yang didefinisikan oleh media, masyarakat, dan aparatus lainnya. Ia seolah kategori yang ‘fixed’.
***
Saya adalah produk gagal.
Ketika masih kecil, saya dikencingi oleh beberapa anak laki-laki sekelas karena saya dianggap ‘gagal’ untuk berperilaku seperti anak laki-laki yang biasanya lakukan—bermain bola, mengganggu anak perempuan, berjalan tegap dan tidak mengakrabi buku bacaan sendirian. Tetapi, yang saya lakukan justru sebaliknya: berjalan dengan tubuh membungkuk, berkacamata tebal, akrab dengan beberapa teman perempuan, ikut serta dalam ‘permainan’ yang dianggap untuk anak perempuan, dan membenci sepak bola.
Ketika masih kecil, saya dikencingi oleh beberapa anak laki-laki sekelas karena saya dianggap ‘gagal’ untuk berperilaku seperti anak laki-laki
Ketika masih kecil pula, saya pertama kali sadar bahwa bermata sipit dan berkulit putih tidak selalu membawa berkah. Saat sedang naik sepeda, seseorang memanggil saya dengan sebutan ‘Cina!’, sebuah negeri antah-berantah yang belum pernah saya kunjungi sama sekali, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari diri. Selama ini yang saya tahu adalah saya orang Indonesia. Tetapi, menyadari diri sebagai keturunan Cina ternyata membuat saya merasa gagal untuk kesekian kalinya—keluarga saya tak bisa berbahasa Mandarin karena sekolah berbahasa nenek moyang kami ditutup paksa pada saat Orde Baru dan orang tua saya tak pernah memberikan nama Mandarin sejak saya lahir. Saya adalah keturunan Cina yang kehilangan rumahnya, kehilangan sepatunya, dan kehilangan bahasa ibunya sendiri. Saya bukan Cina, juga bukan Indonesia.
Ketika menjelang masa remaja, saya masih tetap gagal untuk menjadi seorang figur remaja laki-laki ideal. Tubuh saya masih bungkuk. Kacamata saya semakin tebal. Nilai-nilai sekolah saya terjun bebas dan gagal masuk sepuluh besar. Sepakbola masih saya benci. Saya tak pernah terpilih masuk ke dalam tim basket kelas. Melempar bola basket pun tidak pernah lurus. Saat men-dribble bola, bola tersebut malah mencelat lepas kendali. Saya gagal menjadi seorang remaja laki-laki yang diidamkan lewat novel-novel romantis remaja dan film-film Hollywood populer pada waktu itu, seperti 10 Things I Hate About You atau She’s All That. Dan pada saat yang bersamaan, saya juga gagal menyadari bahwa saya memiliki ketertarikan pada laki-laki dan saya memilih berpacaran dengan perempuan, meski hanya sementara. Diam-diam saya setengah mati berusaha melenyapkan ketertarikan saya pada lelaki. Saya gagal menjadi diri saya sendiri.
Saat sedang naik sepeda, seseorang memanggil saya dengan sebutan ‘Cina!’
Ketika duduk di bangku kuliah, saya pun gagal menjadi mahasiswa yang baik. Alih-alih belajar bisnis seperti yang diharapkan oleh orangtua, saya kabur sembunyi-sembunyi belajar filsafat atau malah membaca buku sesuka hati di bangku belakang kelas. Saya tidak seperti anak-anak seusia saya di sekolah bisnis yang giat mengikuti seminar bagaimana caranya menjadi peternak uang atau ikut dalam kegiatan MLM. Saya malah memilih menulis yang kemudian mengalami ratusan penolakan saat mengirim hasil tulisan saya ke penerbit maupun media massa. Saya malah memilih membuang uang untuk membeli buku ketimbang coba-coba menanamkannya pada bisnis saham.
Ketika saya berdamai dan menubuhi identitas diri saya sebagai seorang gay, saya merasa ini semua adalah titik puncak dari segala kegagalan saya. Gagal di hadapan keluarga yang ingin saya menikah dan beranak-pinak. Gagal di hadapan teman-teman karena saya tidak tumbuh menjadi seorang ‘normal’ menurut mereka. Gagal di hadapan masyarakat karena saya tidak bisa mereproduksi sistem keluarga heteroseksual yang mereka inginkan. Gagal di hadapan leluhur saya karena sebagai anak lelaki satu-satunya, saya tak akan pernah meneruskan marga mereka.
Ternyata, memang selalu ada harga yang harus dibayar untuk menjadi diri sendiri.
***
Saya tetap menjadi produk gagal.
Menjadi gay ternyata tidak selalu menyelesaikan masalah dan sederhana.
Saya tidak berkulit putih ala lelaki negeri Barat sana. Saya tidak bertubuh kotak-kotak seperti Matt Bomer. Saya tidak berjalan tegap, melainkan agak membungkuk. Saya tidak berwajah tampan dengan senyuman seksi seperti model-model di sampul depan majalah Gay Times. Saya tidak suka pergi ke pesta atau kelab gay secara rutin untuk berkumpul dengan sesama gay. Saya tidak bisa memadankan warna pakaian dan berbagai bentuk dan jenis fashion, sebab yang saya pakai sehari-hari hanya kemeja, kaus, dan celana pendek dan panjang. Saya menantang pembedaan rigid antara peran seks top dan bottom. Saya tahu arti “mawar Nyai Blorong” dan “mau di-belewes?” juga baru-baru ini.
Diam-diam saya setengah mati berusaha melenyapkan ketertarikan saya pada lelaki. Saya gagal menjadi diri saya sendiri.
Karena saya tidak memenuhi check-list di atas, maka saya pun merasa gagal untuk mengintegrasikan diri ke dalam komunitas gay. Di komunitas heteroseksual, saya bukan bagian darinya. Tetapi, dalam komunitas gay pun, saya merasa bukan bagian darinya.
Saya misfit.
Saya aneh.
Saya queer.
Di tengah kegamangan ini, saya berkenalan dengan Sara Ahmed lewat tulisannya, Queer Feelings. Baginya, kehidupan queer—atau kelompok non-normatif dalam hal seksualitas, seperti LGBT—selalu ditandai dengan kegagalan. Kita hidup di dalam masyarakat yang memuja heteroseksual. Iklan di televisi tentang sepasang suami-istri berbeda kelamin dan berbeda gender yang digambarkan penuh kebahagiaan dengan hadirnya kulkas di rumahnya. Poster-poster melukiskan keluarga batih dengan dua anak sedang bersiap untuk liburan naik pesawat ke luar negeri. Undangan pernikahan yang kita dapat selalu tentang dua orang insan berbeda jenis kelamin. Film-film romantis kebanyakan selalu tentang kisah seorang lelaki dan perempuan yang selalu berhasil melalui berbagai rintangan untuk mempertahankan asmaranya. Tetapi, untuk gay, kita sulit untuk selalu kasmaran, sebab untuk jatuh cinta secara langsung risikonya terlalu besar. Kalau lelaki tersebut bukan gay, maka kita harus siap untuk menerima bogem mentah atau makian. Ruang yang bebas adalah dunia maya dengan piranti lunak yang ditanam di ponsel pintar, seperti Grindr, Hornet, atau Scruff.
Kita sulit untuk selalu kasmaran, sebab untuk jatuh cinta secara langsung risikonya terlalu besar.
Awalnya, saya senang dengan ruang maya yang memberi kebebasan ini sampai mata bertumbukan dengan kata-kata seperti “No Sissy”, “Bule Only”, “Sixpack Only”, dan segala only-only yang lain yang mirip seperti kriteria pemilihan model. Sara Ahmed mungkin melihat hidup di dalam masyarakat pemuja heteroseksual membentuk kita dalam format kegagalan, tetapi ruang yang selama ini dianggap sebagai milik ‘gay’ yang ramah terhadap ‘gay’ juga berpotensi menjadi bumerang yang bisa menghantam kita. Di dalam Grindr, saya tiba-tiba seperti Alice yang baru terperosok ke dalam lubang kelinci, tetapi di dalam dunia ajaib itu, saya ternyata masih harus berhadapan dengan penolakan hanya karena bentuk tubuh, warna kulit, atau keengganan bicara tentang peran seksual saya. Dan bayangan kucing Cheshire meringis dengan licik muncul di dalam layar ponsel seraya berujar, “Kamu akan selalu gagal.”
Bila selama ini menjadi gay dianggap sebagai sesuatu yang melawan norma, maka komunitas gay juga mengadopsi strategi yang sama: mendirikan tiang pancang norma. Menjadi gay adalah menjadi seperti apa yang disyaratkan. Yang berbeda, maka dipinggirkan. Yang ada hanyalah tubuh dengan perut sixpack, tidak ada ruang untuk tubuh dengan disabilitas. Yang dipuja adalah lelaki yang dianggap maskulin; tidak ada ruang untuk lelaki yang memilih untuk kemayu. Yang dipuja adalah lelaki-lelaki bertampang model; menjadi penulis dan pemikir dengan tampang tak semenarik aktor gay harus siap membayar harga tersendiri.
Di tengah carut-marut ini, kemudian saya teringat sebuah kutipan dalam novel Dark Places karya penulis best-seller Gillian Flynn, “Homesick for a place he’d never been.” Kerinduan untuk sebuah ‘rumah’ yang tak pernah saya kenal atau jamah selama ini. Rumah yang barangkali hanya ada dalam imajinasi.
***
Saya adalah produk gagal yang belajar merayakan kegagalan. Meski baru pada usia 14 tahun Emmeline Pankhurst menghadiri pertemuan gerakan perempuan suffrage untuk perjuangan hak politik perempuan, sebenarnya sejak kecil ia telah terbiasa dengan ide emansipasi dan kebebasan. Dalam bukunya, My Own Story, ia menulis bahwa para lelaki dan perempuan yang lahir pada saat perjuangan demi kebebasan sedang berjalan maju adalah orang-orang yang beruntung. Sejak kecil, karena orang tuanya yang aktif dalam perjuangan, pada usia yang tidak lebih dari lima tahun, ia sudah tahu apa arti emansipasi. Barangkali ia juga melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang ketertindasan. Apalagi, ia terlahir sebagai perempuan yang waktu itu dibatasi hak-hak politiknya—ia merasakan bagaimana hanya karena jenis kelamin dan gender, seseorang bisa mengalami peminggiran. Tanpa maksud menyamakan diri dengan Emmeline, kegagalan demi kegagalan yang saya alami sejak kecil membuka mata saya: ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ada sistem yang sengaja memproduksi ketidakadilan ini. Sesuatu yang tak terlihat tetapi dampaknya sangat nyata. Ia tidak terlihat seperti hantu, tetapi justru kita—dengan jelangkung—membuatnya nyata dan hadir.
Saya melempar sebuah pertanyaan besar: apa itu identitas? Apa itu keturunan Tionghoa? Apa itu menjadi laki-laki? Apa itu menjadi gay? Lalu, bagaimana saat kotak identitas yang ada ternyata tidak lagi membebaskan, malah memenjarakan? Saya merasa gagal, baik menjadi seorang Tionghoa, menjadi seorang Indonesia, menjadi seorang remaja ideal, menjadi seorang laki-laki di mata masyarakat, menjadi seorang gay di mata komunitas gay arus utama yang didefinisikan dan dibentuk lewat media, menjadi anak yang baik berbakti bagi orang tua dengan menikah dan membelah diri, dan saya gagal menemukan kotak yang ‘cocok’ bagi saya.
Saya melempar sebuah pertanyaan besar: apa itu identitas? Apa itu keturunan Tionghoa? Apa itu menjadi laki-laki? Apa itu menjadi gay?
Barangkali inilah yang membantu saya memahami dan menerima konsep queer dengan terbuka. Melihat ayah dengan disabilitas membuat saya mempertanyakan konsep tubuh able-body yang selalu menjadi wacana gay arus utama. Mengalami kegagalan demi kegagalan membuat saya mempertanyakan sistem dan kotak-kotak identitas. Menjadi seorang Asia membuat saya bertanya betapa miskinnya representasi gay Asia dalam wacana gay yang dipopulerkan oleh media. Menjadi seorang bertampang pas-pasan membuat saya menantang konsep ketampanan dan kecantikan yang dibentuk oleh media.
Queer dibentuk dari kegagalan, mismatch, dan misfit. Ia adalah sesuatu yang mengambang—floating dan terus menerus ‘menjadi’—bukan sebuah produk akhir. Inilah yang saya amini dalam hidup saya, The Art of Failure. Kegagalan, bagi kebanyakan orang, adalah suatu yang mengerikan. Tetapi, kita juga harus pintar bersiasat. Gagal selalu muncul dalam konsep yang relatif, alias kita gagal berdasarkan ukuran tertentu dan ada pembandingnya. Alih-alih membuat diri tenggelam dalam depresi, mengapa tidak kita sekalian mempertanyakan ukuran dan denominator pembandingnya? Alih-alih terus menerus tertekan, mengapa tidak kita buktikan sekalian bahwa ‘gagal’ di dalam satu hal bukan berarti hidup kita seluruhnya gagal?
Saya banyak melihat teman-teman gay yang justru berhasil sukses dalam karir, maupun pendidikannya. Bahkan, sempat ada anekdot yang bilang kalau ternyata kebanyakan komunitas gay itu cerdas dan pintar. Saya tidak tahu seberapa jauh benarnya anggapan ini. Tetapi, yang saya tahu: pengalaman hidup dan kegagalan-kegagalan yang dialami, bila kita menjadikannya sebuah senjata, bisa membuat kita lebih sensitif terhadap konstruksi yang ada, terhadap ketidakadilan, terhadap kotak-kotak yang seharusnya dirubuhkan karena membuat manusia lebih kurang menjadi seperti robot?
Pengalaman hidup dan kegagalan-kegagalan yang dialami, bila kita menjadikannya sebuah senjata, bisa membuat kita lebih sensitif terhadap konstruksi yang ada, terhadap ketidakadilan, terhadap kotak-kotak yang seharusnya dirubuhkan karena membuat manusia lebih kurang menjadi seperti robot?
Inilah yang saya sebut sebagai The Art of Failure—seni kegagalan.
Dan kini saya mentransformasikan kegagalan saya menjadi sebuah perjalanan, sebuah perayaan untuk membongkar kotak-kotak identitas yang kaku dan memperlihatkan bahwa menjadi manusia ialah mengamini warna dengan varian gradasinya. Warna pink bukan hanya satu pink saja, tetapi ia juga memiliki berbagai gradasinya sendiri.
***
Hendri Yulius adalah penulis, pengajar, dan penggiat isu-isu gender dan seksualitas. Buku terbarunya berjudul Coming Out (2015) diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Saat kisah ini diterima www.melela.org, pemilik akun Twitter @Hendriyulius ini sedang merampungkan buku terbarunya tentang pornografi yang direncanakan berjudul “Hard Core”. Korespondensi dengan Hendri bisa dilakukan melalui e-mail Hendri.yulius@gmail.com.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langlah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
11 Responses to “Hendri Yulius tentang, “The Art of Failure””
January 22, 2016
Sulung Lahitani MardinataSejauh ini, ini kisah melela paling keren yg gua baca. dalam banget. gua suka caranya menulis
January 22, 2016
DedyCeritanya keren Kak
January 28, 2016
Abcgay lebih kuat dari yg bukan gay, karena ditempa keadaan, many terus yulius
October 12, 2016
teofil sambassalut terus berjuang pak!
October 16, 2016
jafarSebenarnya gaada yg aneh menurutku bahkan kamu tampan dan kamu cerdas cuma kamu saja yg menganggap diri sendiri rendah jadi kamu merasa gagal pandanglah diri ini istimewa dengan begitu kita akan merasa senang dan merasa merdeka.
May 20, 2017
YoyoSaya sependapat dengan mas jafar.. Dosen saya pernah bilang, “Siapa lagi yang akan menghargai karya anda kalau bukan diri sendiri.” Salam dari kawan yang sedang berjuang juga
May 5, 2017
RickyBerlinang air mata aku membaca kisahnya dan perjalanan hidupmu….seperti saya persis….apa yg kau ungkapkan melukiskan pemikiran saya …merayakan kegagalan adalah merayakan hidup
. Ingin sekali bertemu dan berbincang…berdiskusi denganmu…
May 23, 2017
RavenGod i wish i could see you in person and crying out my heart out about my own “failure”..
November 27, 2017
EMSaya baru saja menemukan artikel ini, dan terimakasih telah menerbitkan “The Art of Failure”. Apa yang selama ini menjadi keresahan dalam pikiran saya—yang bahkan sampai saat ini masih saya rasakan—, yang tidak pernah saya ungkap, telah terangkum secara detail dan apik dalam tulisan ini. Sekarang yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana cara saya menghadapi kegagalan selanjutnya dan menjadikan hidup lebih baik dari sebelumnya.
July 18, 2019
Dwi FebriantoKeren mas tulisannya. Sangat menginspirasi. Tanpa melihat foto atau rupamu. AKu begitu tertarik dan ingin ngobrol seketika melihat tulisanmu. Tetap menginspirasi ya mas! Semangat!
December 13, 2019
I Made AdhityaMau nangis gw baca cerita elo hendri…
Sampe segitunya ya ternyata…
Tapi gw salut sama elo…
Elo bisa jd org yg menginspirasi banyak orang…
Keep going brader…