Saya menyadari diri saya berbeda sudah semenjak kecil. Waktu masih duduk di sekolah dasar, saya suka melihat banyak pemuda-pemuda yang biasanya bermain sepak bola dan voli di dekat rumah. Saya menonton mereka, memperhatikan mereka. Saat melihat mereka, saya merasakan sesuatu di dalam diri saya. Something bubbling inside me….
Saat itu saya masih jauh dari usia remaja. Akil baligh pun belum. Namun dorongan menyukai laki-laki sudah saya rasakan. Saya merasakan ini adalah dorongan yang alami, sangat menyenangkan dan nggak dibuat-buat, tetapi saya nggak pernah membicarakan ini pada siapapun.
Saat kita beranjak remaja, kita punya keinginan untuk diterima oleh lingkungan dan harapan memiliki teman banyak. Ini pun terjadi pada saya. Keinginan ‘diterima oleh lingkungan’ mendesak saya untuk melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya nggak saya inginkan. Misalnya, saya pernah mencoba mengencani seorang wanita walaupun saya sebenarnya tertarik pada sosok pria. Saya melakukannya karena ini adalah hal yang dianggap ‘wajar’ oleh teman-teman pria sebaya saya. Wanita itu adalah teman saya sewaktu SMA dahulu.
Saya merasakan ini adalah dorongan yang alami, sangat menyenangkan dan nggak dibuat-buat
Generasi saya menyebut kegiatan bertandang ke rumah seorang wanita sebagai ‘ngapel’. Banyak yang saya persiapkan untuk ini, salah satunya, saya ambil kursus mengemudi demi bisa menjemput seorang wanita dan mengajaknya nonton. Banyak konflik batin yang bergejolak. Saya mempertanyakan mengapa seorang pria harus berpasangan dengan seorang wanita walaupun hati saya menginginkan yang lain. Saya juga bertanya, mengapa harus saya yang repot menjemput seorang wanita di saat manusia diciptakan sederajat? Apa yang harus saya lakukan nanti saat saya bertemu dengannya? Haruskah saya menggandeng tangannya walau saya tidak ingin? Haruskah saya mencium bibirnya seperti yang dilakukan teman-teman saya kepada pacarnya? Saya nggak bisa ngebayangin kalau harus menyentuh payudaranya.
Gejolak batin seperti itulah yang membuat waktu-waktu kencan saya dengan wanita berjalan tidak menyenangkan. Kencan saya dengan wanita berjalan sangat tidak alami. Penuh dengan ketidaknyamanan dan hati saya diselimuti rasa gusar. Seharusnya seorang pria senang menghabiskan waktu dengan kekasih wanitanya, tetapi saya tidak.
***
Orang bilang, disko dan klab malam banyak memberikan pengaruh negatif. Konon, di sini orang akan dipertemukan dengan pergaulan bebas, drugs, hedonisme, dan mengundang risiko mencoreng nama baik keluarga. Saya sadar anggapan ini ada. Namun, pengalaman saya akan dunia malam malah menunjukkan yang lain.
Pertama kali saya mengenal dunia malam adalah ketika berkunjung ke Tanamur di era 90-an. Di sini saya menemukan lingkungan yang bebas dari penghakiman. Saat itu, orang-orang dari latar belakang berbeda melebur jadi satu. Dari mulai profesional, sarjana, pekerja tambang minyak, ekspat, fashion designer, model, gay, lesbian, bisexual, PSK, dan sejenisnya. Mereka saling akrab dan saling menyapa. Situasi tanpa penghakiman mengajarkan saya untuk nggak berprasangka buruk dengan tipe orang tertentu, sebelum benar-benar mengenalnya. Di saat mengenal mereka, saya juga tidak ingin mengubah satu apa pun dari mereka. Setiap orang akan jauh lebih indah jika menjadi dirinya sendiri. Ini saya bawa ke kehidupan sehari-hari. Jangan pernah takut untuk menjadi diri sendiri.
Saat kita beranjak remaja, kita punya keinginan untuk diterima oleh lingkungan dan harapan memiliki teman banyak. Ini pun terjadi pada saya.
Disko menjadi dunia yang saya sukai. Saya suka suasananya, keramahan orang-orangnya, musiknya, dan kemeriahannya. Namun, saya merasakan hidup butuh kesimbangan. Terlalu asik tenggelam di dunia malam juga nggak bagus. Tanggung jawab adalah salah satu cara saya menyeimbangkan hidup.
Saya memiliki prinsip: jadilah diri sendiri dan bertanggung jawab akan hal itu. Jadi, walaupun suka disko, sekolah nggak boleh terganggu. Saya punya tanggung jawab di situ. Mau disko sampai malam, kalau besoknya harus sekolah, ya, harus sekolah. Mau harus muntah di jam istirahat, ya, kalau masih bisa berangkat sekolah, pendidikan harus jalan terus.
***
Saya adalah siswa yang cerdas. Selepas lulus SMA, saya mendapatkan beasiwa untuk sekolah fashion di Singapura. Di sini saya mendapatkan pengalaman yang mengajarkan hal lain lagi akan dunia. Masa kuliah di luar negeri adalah masanya keluar dari zona nyaman saya sebagai orang Indonesia. Di luar negeri, saya bertemu dengan begitu banyak banyak orang dengan budaya yang beragam. Saya ingin semakin berpikiran terbuka akan keberagaman, untuk itu, saya nggak hanya bergaul dengan siswa Indonesia saja. Saya harus memiliki visi yang lebih luas. Karena globalisasi yang makin meningkat, dunia semakin mengecil dan orang-orang semakin saling berkaitan. Di Singapura, Saya merasa menjadi bagian dari warga dunia.
Prinsip tanggung jawab membuat saya nggak pernah setengah-setengah dalam menjalani kegiatan. Selepas lulus kuliah dan akhirnya bekerja, pernah media televisi meliput kegiatan saya untuk acara “Work Hard Play Hard”. Kamera mengikuti saya dari pagi sampai malam. Nggak ada yang saya tutup-tutupi. Saya ingin jujur akan diri saya dan kehidupan saya. Kalau saya harus dikenal publik, biarlah mereka mengenal saya dengan apa adanya. Saya punya kelebihan, juga punya kekurangan.
Saya memiliki prinsip: jadilah diri sendiri dan bertanggung jawab akan hal itu.
Di depan kamera, saya memperkenalkan diri saya, memperlihatkan kegiatan saya, mengundang penonton pergi ke pesta-pesta yang saya hadiri, dan menghadirkan teman-teman saya. Setelah pertama kali tayang, profil saya terus diulang dan ditayangkan kembali sampai suatu ketika profil saya ditonton oleh Mami saya.
Di keluarga, saya memang belum pernah membicarakan mengenai identitas saya. Kosakata ‘gay’ nggak pernah ada di rumah. Ini membuat saya nggak bebas jika tinggal di rumah. Kalau ada acara keluarga, selalu ada saja yang menanyakan “Pacarnya mana?” atau “Kapan menikah?” Awalnya hati saya marah dan menganggap pertanyaan ini nggak sopan. Namun, kini saya paham bahwa itu adalah pemahaman generasi sebelum saya. Mereka merasa harus menanyakan hal itu. Tugas saya hanyalah menyikapi pertanyaan mereka dengan lebih cerdas.
Penayangan “Work Hard Play Hard” membuat mami saya berbicara mengenai identitas saya untuk yang pertama kali. Saya masih ingat apa yang mami saya katakan. “Mami nggak ditegor sama tante-tante kamu gara-gara acara TV itu,” ujarnya.
Kemudian ia melanjutkan,”Di situ kamu minum-minuman keras, lalu berkumpul dengan orang-orang yang seperti kamu.”
Saya menjawab, “Orang-orang seperti aku? Maksud Mami?”
“Ya, orang-orang seperti kamu…” ujar mami.
Ternyata mami masih saja tidak menggunakan kata-kata “gay”, tetapi kalau itu membuatnya nyaman, saya harus bisa mengerti. Saya kemudian menyampaikan kepada mami, “Orang-orang itu adalah sahabat-sahabatku. Aku memang seperti mereka, dan aku bahagia seperti ini. Aku mau Mami bahagia untukku,” Mami sempat diam sejenak.
Lalu, saya mendengar suaranya, “Iya, Mami ingin kamu happy karena itulah yang paling penting.”
Mendengar jawaban itu, saya bahagia sekali. Lega, rasanya. Bagaimana pun ia adalah ibu saya. Saya mencintainya.
***
Setelah pindah dari Jakarta dan menetap ke Bali, saya memiliki pasangan. Kini, kami sudah menjalani hubungan selama enam tahun. Hubungan kami sama seperti orang-orang lain. Kami saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.
Kalau ada acara keluarga, selalu ada saja yang menanyakan “Pacarnya mana?” atau “Kapan menikah?” Awalnya hati saya marah dan menganggap pertanyaan ini nggak sopan.
Banyak cara menunjukkan rasa cinta kami. Misalnya, saya suka sekali memasak. Buat saya membuat makan malam untuk disantap bersama adalah bagian dari rasa sayang. Berbagi peran dan berbagi kesenangan. Pasangan saya pun mengerti saya tergila-gila pada program reality TV yang banyak belum tayang di TV kabel lokal, maka ia mengunduh men-download program-program itu yang biasa kita tonton bareng saat makan malam. Kami juga berbagi hobi dalam hal kesenangan memelihara binatang, kami memiliki dua anjing dan tiga kucing di rumah kami. Tidak ada yang aneh dalam hubungan kami.
Kalau pun kekasih saya ke rumah dan bertemu dengan mami, mereka berdua akrab. Kekasih saya mengajarkan mami cara membuat akun di Facebook dan bagaimana menggunakan fitur-fiturnya. Ia juga pernah mengajarkan Mami cara chatting menggunakan Yahoo Messenger. Saya bahagia melihat mereka. Hidup saya bahagia dikelilingi orang yang mencintai saya.
***
Setelah mendapatkan beasiswa belajar fashion di Singapura, Diaz sempat mengajar untuk LaSalle College International Indonesia selama 11 tahun. Kini, selain masih aktif mengajar, Diaz yang kini menetap di Bali juga mendirikan sebuah agensi jasa kreatif bernama Lumiere Production. Korespondensi dengan Diaz dapat dilakukan dengan mengunjungi website pribadinya (www.whoisdiaz.com) atau melayangkan e-mail ke contact@melela.org.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Kirimkan kisah Anda ke alamat e-mail contact@melela.org. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Tanggung Jawab Diaz”