Beberapa tahun yang lalu, kalau tidak salah sekitar tahun 2013, aku membaca di lini masa tentang kemarahan sekelompok orang terhadap kampanye LGBT dan propaganda LGBT. Kelompok ini meyakini dan menyatakan bahwa kelompok LGBT adalah predator, dan akan menjadikan anak-anak kita sebagai mangsanya.
Sekitar lima tahun kemudian, isu ini kembali menghangat. Lima tahun mereka berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kelompok LGBT adalah predator, dan sekarang, mereka berusaha mengkriminalkan LGBT.
Aku sampai tidak tahu harus berkata apa. Aku sampai bingung harus merasa apa, karena – jujur saja – sekarang pun dalam hatiku sedang berkecamuk rasa marah, geram, putus asa, sedih, miris, takut, dan yang paling kuat: sakit hati.
Namun aku paham. Aku paham mengapa sebagian orang merasakan paranoia yang luar biasa terhadap kelompok LGBT. Aku paham mengapa sebagian orang sulit menerima penjelasan yang berdasarkan akal sehat dan data penelitian. Aku paham mengapa sebagian orang tak mampu berempati terhadap hal yang dialami oleh orang atau kelompok lain.
Penjelasannya sangat sederhana: Kita takut terhadap hal yang tidak kita pahami. Kita pun mulai berasumsi. Lalu, secara alami, kita malah menjadi semakin takut untuk mencari tahu, untuk mencoba memahami, karena kita tidak tahu harus melakukan apa kalau asumsi kita benar, atau bahkan ketika asumsi kita salah. Tanpa pernah berupaya memahami, kita tidak akan mampu berempati.
Kita takut terhadap hal yang tidak kita pahami.
Aku sering membaca diskusi tentang orientasi seksual. Secara umum ada dua kelompok yang bisa kita temui di dalam setiap diskusi itu: kelompok pertama mempercayai bahwa orientasi seksual seseorang akan terbentuk akibat lingkungannya (by nurture), dan kelompok yang kedua mempercayai bahwa orientasi seksual adalah hal yang sudah dari sananya (by nature).
Aku berani bilang, bahwa setidaknya, dalam kasus orientasi seksualku, lingkungan sama sekali tidak berperan.
Memang, orang tua, kakak, adik, dan keluarga besar aku, sempat menyodorkan gagasan bahwa orientasiku ini akibat “salah pergaulan.” Sementara, teman-teman sekolahku dulu, guru dan rekan kerja yang baru tahu belakangan, mencoba memastikan siapa tahu ada yang salah di keluargaku. Ada, bahkan, yang kemudian bercerita tentang pengalaman temannya yang menurut pengakuan si teman “mulanya straight”, karena berteman dengan seorang gay, ia pun menjadi gay dalam waktu dua minggu saja.
Ya, mau bagaimana lagi. Kita dibesarkan dalam budaya yang pembelaan diri dilakukan dengan menyalahkan orang atau pihak lain. Ingat ketika nilai matematika kita merah dan orang tua kita marah, kita berdalih, “Gurunya galak, sih.”
Kita selalu mencari celah untuk menyalahkan hal, pihak, orang lain demi menyelamatkan muka kita sendiri.
***
Pertama kali aku menjalani hubungan dengan sesama lelaki adalah ketika aku duduk di bangku SMA. Mungkinkah ini karena aku tidak punya kakak laki-laki? Atau karena hubunganku dengan Papa tidak baik? Keluarga broken home?
Tidak.
Hubunganku dengan Papa baik-baik saja. Kami sangat dekat, malah, dan Papa selalu punya proyek untuk kami kerjakan bersama. Hubunganku dengan Mama juga sangat baik. Keluarga kami harmonis. Memang aku tidak punya kakak laki-laki, tapi aku punya banyak sepupu laki-laki yang lebih tua, dan kami pun sangat baik dan akrab.
Ketika aku menginjak SMP, aku sempat berpacaran dengan teman sekolah, perempuan. Nah, kalau yang ini, benar-benar akibat pergaulan. Di usia belasan tahun itu, pacaran adalah trend. Hampir semua teman aku punya pacar lawan jenis, dan yang tidak punya, akan mendapatkan peer pressure. Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya aku pun berpacaran dengan wanita.
Kita selalu mencari celah untuk menyalahkan hal, pihak, orang lain demi menyelamatkan muka kita sendiri.
Kencan pertama, kami pergi ke bioskop untuk menonton film. Beberapa teman pria yang lebih berpengalaman sudah mem-briefing-ku sebelumnya tentang hal-hal yang harus kulakukan terhadap pacarku waktu kami berkencan. Kencan pertama itu, aku hanya berani memegang tangannya.
Kencan kedua, kami melakukan hal yang sama: nonton film. Aku memberanikan diri untuk mencium pipinya, namun tanpa aku sadari, bibirku mendarat di bibirnya. Kencan ketiga, kami akan nonton film lagi. Dua jam sebelum waktunya tiba, aku meneleponnya untuk membatalkan kencan dengan alasan ada acara keluarga.
Jujur, aku takut dan aku sama sekali tidak bisa menikmatinya.
***
Ketika usiaku 25 tahun, pada waktu itu aku sudah 7 tahun berpacaran dengan seorang pria. Dia setahun lebih muda, anak sekolah musik. Kami punya usaha bersama. Kecil-kecilan, tapi lumayan. Hampir setiap hari kami selalu bersama, dari pagi sampai malam.
Suatu siang, aku sedang nonton TV di rumah. Tiba-tiba Papa dan Mama keluar dari kamar mereka, bersama-sama, lalu duduk di sofa di ruang TV, dan mematikan TV. “Papa mau nanya, Nang.”
“Kamu pacaran, ya, sama si X?” tanya Papa.
Aku hanya terdiam membisu. Shock. Aku tidak mampu berkata-kata, tidak mampu bergerak. Bahkan, sepertinya aku tidak bisa berkedip. Mama mulai meneteskan air mata.
Kata-kata Papa yang masih kuingat adalah, “Kalau kamu mau kembali ke jalan yang benar, kita sekeluarga pasti akan bantu. Kalau enggak, rumah ini bukan rumahmu lagi.”
Aku masih tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Mama sudah terisak. Aku akhirnya hanya sanggup berdiri, masuk ke kamarku, mengambil tas, dan mengemasi barangku.
Aku kemudian pergi.
Ya, aku sama sekali tidak heroik. Bukan aku yang melela. Orang tuaku yang “menyidangku”. Tapi aku tahu, pergiku adalah jawaban yang lebih tegas daripada kata-kata.
Aku akhirnya mengontrak satu rumah bersama teman-temanku. Memulai hidup baru, hidup mandiri. Aku tahu, bahwa pada saat itu, tinggal jauh dari keluarga adalah keputusan yang paling baik untukku dan juga untuk orang tuaku. Aku bisa berhenti berpura-pura, dan mereka tidak perlu tinggal bersama anak yang akan dianggap sebagai aib bagi mereka oleh orang-orang di sekeliling mereka.
Ketika aku menginjak SMP, aku sempat berpacaran dengan teman sekolah, perempuan. Nah, kalau yang ini, benar-benar akibat pergaulan.
Aku memutuskan untuk sama sekali tidak berkomunikasi dengan keluargaku. Sudahlah. Aku kan sudah ‘dibuang’, pikirku. Aku tidak sampai hati menghubungi mereka, khawatir mereka akan kembali teringat akan diriku, akan siapa diriku sebenarnya yang mengecewakan mereka. Sampai awal tahun 2006, ketika tiba-tiba ada pulsa 100.000 masuk ke nomor hapeku. Pada masa itu, paling banyak aku membeli pulsa adalah 20 atau 25 ribu.
“Duh, kasian banget nih yang isi pulsa salah nomor,” batinku.
Sorenya, aku memeriksa saldo rekening tabunganku di ATM. Aku sudah tahu bahwa saldoku mendekati nol, tapi aku sedang menunggu pembayaran proyek terjemahan sekitar Rp200.000.
Aku terhenyak ketika melihat saldoku yang tiba-tiba menjadi 1juta. Tunggu dulu. Nomor rekening ini cuma dua orang yang tahu: si agen penerjemah yang selalu memberiku proyek dan Papaku. Ada apa ini? Pulang ke kontrakan, adikku sudah di sana. Ia membawa rantang. Isinya opor ayam. Masakan Mama kesukaanku.
Aku tahu sekarang dari mana pulsa dan uang itu.
Aku pun memberanikan diri menelepon mamaku.
“Halo, Ma?” sapaku.
“Nang, pulang, Nang. Papa mau minta tolong,” Papaku yang menjawab.
Aku hampir menangis, tapi kutahan. Aku pun pulang bersama adikku.
Singkat cerita, aku pindah ke Jakarta, membantu Papa memulai usaha di sana. Sama sekali tidak ada pembahasan tentang percakapan hari itu. Papa hanya pernah bilang, “Se-nggak bener-nggak benernya anak, nggak ada yang namanya bekas anak.”
Lucunya, Mama malah sempat menjodohkan aku dengan instruktur aerobiknya kakakku, seorang pria yang sangat menarik. Tapi aku bilang ke Mama, “Biar aku cari sendiri, Ma.”
Papa malah selalu menyarankan agar aku mencari pekerjaan di Bali, yang selalu kusanggah. Bagiku, Bali adalah tempat berlibur, bukan tempat bekerja. (Yang lima tahun kemudian, ketika aku mendapat tawaran pekerjaan di Cinta Bahasa, sekolah bahasa Indonesia untuk orang asing di Ubud, Bali, Papa hanya berkomentar, “Kan sudah Papa bilang dari dulu.”)
Sejak saat itu, setiap acara keluarga, kalau ada orang atau keluarga yang bertanya, “Dani kapan kawin?” Papa dan Mama akan pasang badan dan menjawab, “Wah, dia sih maunya nikah setelah bisa beliin mamanya rumah.” Atau, “Kalau udah mau.”
Setiap kali aku dekat dengan seseorang, aku akan selalu mengenalkannya kepada Papa dan Mama. Aku ingin mereka setidaknya tahu, seperti apa orang yang sedang dekat denganku. Aku ingin mereka tidak merasakan kekhawatiran yang tak perlu, yang sering dialami oleh kebanyakan orang tua yang tidak benar-benar pasangan anaknya
***
Meskipun tidak ada pembahasan khusus atau percakapan panjang mengenai ini semua, setiap kali ada kesempatan, aku selalu berusaha meyakinkan mereka, bahwa yang aku inginkan tidak ada bedanya dari yang diinginkan oleh orang-orang pada umumnya. Menurutku, terlalu banyak ketakutan yang sengaja disuburkan, yang berangkat dari ketidaktahuan dan ketidakmautahuan. Yang membuatku sedih, adalah, tuduhan dan tudingan itu tidak ada benarnya kepada teman-teman aktivis LGBT. Yang selama ini diperjuangkan, yang selama ini kami perjuangkan, dan yang mulai saat ini akan aku perjuangkan juga, adalah hak kami untuk diperlakukan selayaknya manusia. Hak kami sebagai warga negara untuk dapat tinggal, hidup, berpenghidupan selayaknya manusia di negara tempat kami dilahirkan dan dibesarkan ini. Hak kami untuk ikut membangun bangsa dan negara yang kami cintai ini sebagai diri kami yang sebenarnya dan seutuhnya.
Setiap acara keluarga, kalau ada orang atau keluarga yang bertanya, “Dani kapan kawin?” Papa dan Mama akan pasang badan.
Aku takut. Ketakutanku disebabkan oleh ketidakjelasan nasib kami, warga negara Indonesia, yang dikriminalisasi bukan atas tindakan pelanggaran hukum, tapi atas identitas diri kami. Ketakutanku, kita harus menjalani hidup ini dengan dihujani tatapan penuh curiga, hanya karena kami memilih untuk jujur pada diri kami sendiri.
***
Daniel Prasatyo lahir di Yogyakarta 31 Juli 1979. Alumni SMA BOPKRI 1 Yogyakarta ini menggeluti ilmu bahasa sewaktu di bangku perkuliahan dan saat mengirimkan cerita kepada melela .org ia menjabat sebagai Direktur Akademik di pusat pelatihan bahasa Indonesia untuk penutur asing. Di waktu luangnya, ia gemar menulis dan membaca. Sapa Daniel Prasatyo di akun twitternya @daprast
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela atau menceritakan bagaimana Anda mampu menerima mereka yang berbeda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi. Informasi yang disediakan di halaman ini gratis tetapi terdapat layanan berbayar jika Anda membutuhkan bantuan lebih lanjut.
No Responses to “Cerita Daniel tentang Opor Buatan Mama”