Di tahun 2018, saya melela secara online di akun media sosial Instagram dengan mengunggah fotoku dengan kaos yang sudah kugambar pelangi beserta quote “Everyone Deserves To Be Happy” dan juga banyak memposting di instastory mengenai LGBT. Happy di sini bukan berarti seks bebas dan bebas gonta-ganti pasangan, ya. Tapi menurut saya, bahagia itu terjadi ketika seseorang bisa menjadi dirinya sendiri. Ketika memposting foto tersebut di Instagram, ini seperti melela kepada dunia: sangat menantang dan menakutkan. Tak kusangka, banyak followersku yang memberi komentar positif dan men-DM. Mereka mengatakan kalau saya sangat berani dan ada beberapa yang berharap dapat melakukan hal yang sama di sosial media. Mereka semua lebih menghargai cinta, persahabatan, dan perbedaan dibanding menyebar kebencian terhadap kelompok minoritas.
Saya sangat lega dan hati saya lebih lapang setelah melela. Saya tak perlu malu lagi ingin mengupload apa yang ingin saya upload. Saya semakin punya banyak teman yang Lesbian, Gay, Bisex, ataupun Transgender. Dan saya sangat berharap punya kawan seperti mereka di lingkungan saya, mengingat banyak homofobik di sini.
Homofobik berasal dari kata homofobia. Secara ilmu kejiwaan, ini adalah sikap takut terhadap kelompok homoseksual. Kata -fobia berati ketakutan tersebut terkadang memiliki alasan yang tidak jelas, seperti klausterfobia (takut terhadap ruang sempit), sosialfobia (takut terhadap kerumunan orang), atau Agorafobia (takut ketika harus sendirian). Sama dengan homofobia, alasan ketakutannya tidak bisa dijelaskan dengan bertanggung jawab dan rasional.
Menurut saya, bahagia itu terjadi ketika seseorang bisa menjadi dirinya sendiri.
Orang-orang di Indonesia banyak yang homofobia, tetapi yang tidak homofobia juga banyak. Kebanyakan mereka homofobia karena belum mengerti saja, jadi semakin rentan, dan mudah ditakut-takuti dengan informasi yang menyudutkan kelompok tertentu. Saya yakin mereka yang mengikuti akun instagramku ada yang paham dan tidak paham dengan diriku. Kebanyakan dari mereka masih menganggapku sebagai temannya dan masih mau menghabiskan waktu denganku. Kalau memang ada yang homofobik, setidaknya mereka bertingkah baik di depanku kalau bertemu. Menurutku itu sudah cukup.
Tapi di rumah berbeda, saya tidak merasa bebas. Mungkin belum ada orang yang menceritakan tentang diriku terhadap keluargaku. Mengingat satu rumah tidak ada yang menggunakan instagram kecuali diriku. Tapi ada beberapa sepupuku yang mengikuti, dan kuharap mereka tetap bersikap baik di depanku. Mungkin ada saudaraku yang tahu, tapi mereka lebih memilih diam, takut menyakiti perasaanku.
Mamaku kadang curiga dengan menanyakan “Kamu sudah punya cewek?”
“Kamu homo ya?”
Saya tak menjawab melainkan ketawa dan langsung meninggalkannya karena belum siap. Sempat berharap dalam hati beliau berkata “Tidak apa kalau kamu demikian nak, asalkan kamu bahagia” tapi beliau belum pernah mengucapkan kalimat tersebut.
Mungkin kalau ia mengatakannya, saya lebih leluasa bercerita tentang diri saya dan hubungan saya dengannya bisa semakin akrab. Saya sangat menyayangkan kelompok orangtua banyak yang kurang informasi tentang LGBT. Mungkin suatu saat saya akan melela di rumah saat saya sudah punya kerja dan mantap memiliki pasangan hidup yang tentunya laki-laki dan membawa dia ke rumah.
***
Saya menyadari bahwa saya berbeda semenjak masih kecil. Pas duduk di bangku SMP, saya sudah sangat sadar akan tertarik kepada kaum Adam. Tapi pada waktu SMP saya sangat kurang informasi yang jujur dan lengkap mengenai LGBT dikarenakan lingkungan. Ditambah lagi, saya tidak pernah menemukan seseorang yang Gay atau Lesbian dan itu membuat saya buta informasi terhadap diri saya sendiri.
Saya berfikir laki-laki diciptakan untuk mencintai perempuan, dan mungkin teman-teman kelas saya juga setuju dengan hal itu. Jadi saya sempat memutuskan untuk berpacaran sebanyak lima kali dengan perempuan selama SMP. Mereka kubangga-banggkan ke temanku yang lain bahwa saya adalah cowok paling “normal”.
Namun, jujur saja dalam hati pada saat itu saya tidak pernah merasakan cinta yang sesungguhnya terhadap mereka, hanya sebatas teman istimewa perempuan saja yang bisa mendapatkan perhatian lebih dari saya, tidak lebih dari itu. Saya pun tidak pernah berani menyentuh tangannya atau menciumnya karena kurasa itu sangat tidak perlu dan saya tidak merasakan ada dorongan melakukannya.
Saya sangat lega dan hati saya lebih lapang setelah melela.
Di SMA saya masih memutuskan untuk membohongi jati diri saya lagi dan itu cukup menyiksa. Suatu ketika ada seseorang laki-laki yang meminta pin BBM ku setelah kami baku-follow dan spamlikes di Instagram. Laki-laki itu cukup menarik dan dia tinggal sedaerah denganku. Setelah sekian lama ngobrol di BBM dan merasa dekat, kami memutuskan pacaran sembunyi-sembunyi tanpa diketahui dunia. Sialnya, teman sebangkuku di kelas membaca chatku bersama laki-laki itu, dan temanku itu kenal juga dengannya. Dia langsung jijik dan langsung menanyakan hubunganku dengan anak itu dan kubilang baik-baik saja dan jangan ikut campur. Tiap hari dia mengejekku tapi untungnya dia tidak memberitahu satu kelas kalau saya punya hubungan dengan seorang laki-laki. Suatu ketika, ia melakukan hal yang tidak kusangka. Saat teman-temanku yang lain mengejekku, ia maju membelaku dengan mengatakan, “Jangan ada ganggu Aslan sahabatku! Kalau ada ganggu atau mengejek, saya pukul wajahmu kalau perlu!!”
Di situ saya menyadari bahwa temanku yang sempat kusangka homofobik ternyata orang baik. Kalau dipikir-pikir, mungkin dia sempat bertingkah homofobik karena menyangka sikap itulah yang tepat dilakukan seorang “laki-laki sejati” terhadap laki-laki lain. Namun, sifat homofobik bukanlah sikap “laki-laki sejati” karena “laki-laki sejati” bukanlah laki-laki yang suka menindas dan meremehkan orang lain untuk merasa dirinya lebih baik.
Di situ saya menyadari bahwa temanku yang sempat kusangka homofobik ternyata orang baik.
Kami kembali berteman, tapi dengan syarat ia harus menghargai privasiku. Pada prinsipnya, privasi adalah informasi sensitif. Terkadang manusia memiliki privasi bukan karena malu atau merasa bersalah akan informasi tersebut, tetapi karena informasinya bersifat sensitif, risiko informasi tersebut untuk disalahartikan oleh orang lain yang tidak paham cukup besar.
***
SMA berakhir dan kuliah berjalan. Saya sempat kecewa setelah ditolak di SNMPTN dan SBMPTN. Jadi saya dan juga teman sebangku waktu SMA memutuskan untuk masuk ke perguruan tinggi swasta. Di kampus, saya mempunyai satu sahabat yang hampir semua rahasiaku kusimpan padanya dan dia menerimaku apa adanya sebagai manusia. Kupikir dia adalah orang pertama yang tahu tentang diriku dan nyaman-nyaman saja. Tapi suatu hari, dia “hijrah” dengan menggunakan jilbab besar, dan itu membuatnya menjadi homofobik karena isi insta story-nya membahas tentang larangan LGBT menurut penerjemahan agama yang dia tahu. Hatiku sangat hancur, saya kehilangan sahabatku. Aku tidak habis pikir dengan tindakannya, masak dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dia jadi penuh kebencian terhadap suatu kelompok?
Saya tidak bisa menyimpan ketidakenakan di hatiku ini sendirian, jadi saya melela kepada tiga orang sahabatku yang sudah kukenal dari SMA. Dua cewek yang satunya tomboy, dan satu cowok yang sangat heteroseksual. Sukur sekali mereka menerimaku. Mereka merangkulku sambil meluapkan semua kemarahanku tentang temanku yang hijrah itu. Dan juga pastinya mereka banyak bertanya tentang seputar LGBT, untungnya saya punya banyak simpanan informasi mengenai hal itu dan membuat mereka lebih mengerti tentang duniaku. Maka dari itu sangat penting untuk orang-orang diluar sana mencari informasi yang jujur dan imbang tentang LGBT sehingga mereka bisa lebih mengerti.
Aku tidak habis pikir dengan tindakannya, masak dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dia jadi penuh kebencian terhadap suatu kelompok?
Lepas dengan masalah itu saya lebih terbuka dengan mereka tentang jati diriku. Saya lebih leluasa menjadi diriku sendiri ketika bersama mereka. Mereka sangat tertarik setiap mendengar ceritaku dan mereka juga sangat membantu dalam memilih milih pasanganku. Kupikir yang ini adalah satu keuntungan melela kepada sahabat yang paling dekat. Saya lebih sering curhat tentang crush-ku kepada dua orang ini, yang tomboy dan yang laki-laki karena yang satu cewek terlalu sibuk dengan dunia perkuliahannya (semoga dia membaca postingan ini dan sadar bahwa salah satu sahabatnya sudah mulai merasa dilupakan, kwkwkwkwkw; dengan kata lain “Gue kangen sama lo woy!” kwkwkwkw).
***
Muhammad Aslan lahir pada tanggal 1 Juli 1998 di Polewali, Sulawesi Barat. Pria yang hobi menonton film dan televisi ini dipanggil Aslan oleh teman-temannya. Aslan menamatkan SMU di SMA Negeri 1 Polewali dan meneruskan pendidikan sarjana di Universitas Islam Makasar. Semenjak SD, ia sudah menorehkan prestasi, seperti Juara 2 Lomba Komputer tingkat kacamatan dan Juara 2 Lomba Teater tingkat kabupaten pada kelas 2 SMA. Ia menyukai beberapa film, seperti “Prayers for Bobby”, “Freedom Writers” dan penggemar buku berjudul “Will Grayson, Will Grayson”. Sapa Aslan di akun Instagram @Muh.aslan.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela atau menceritakan bagaimana Anda mampu menerima mereka yang berbeda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
One Response to “Cerita Aslan dan Homofobia”
September 9, 2018
bechim so proud edooooo ♥️