Artikel ini adalah tanggapan artikel “Urgensi ‘Coming Out’ Bagi Visibilitas LGBTIQ di Indonesia” di website Magdalene yang ditulis oleh salah satu Hero di melela.org, Budi Winawan. Ke depannya saya akan menyebut LGBTIQ sebagai ‘gay’ saja demi kenikmatan membaca.
Pada dasarnya, artikel tersebut berbicara tentang persekusi kaum gay di Indonesia, dan upaya untuk menghentikan persekusi tersebut adalah membuat eksistensi kaum gay lebih terlihat dengan coming out (selanjutnya saya gunakan istilah ‘melela’ yang lebih Indonesia).
Saya sendiri adalah seseorang yang melela. Saya memutuskan melakukan ini ketika saya masih berkuliah. Ada beberapa alasan mengapa saya melakukannya, dua internal dan satu eksternal. Alasan internal pertama: saya lelah berpura-pura. Teman-teman pasti sangat familiar dengan ini. Kepura-puraan adalah teman sejati kita ketika masih malu karena kita berbeda. Dari mulai bangun tidur, kita terlatih mengarang narasi mengenai diri kita sendiri yang sebenarnya fiksi, tapi menyenangkan untuk sensibilitas orang lain. Kegiatan itu menurut saya menguras energi. Saya selalu lelah di akhir hari karena seharian berpura-pura, dan saya pikir saya tidak akan bisa menjalani hidup seperti itu selama-lamanya.
Ada beberapa alasan mengapa saya melakukannya, dua internal dan satu eksternal. Alasan internal pertama: saya lelah berpura-pura. Teman-teman pasti sangat familiar dengan ini.
Alasan internal kedua adalah alasan yang menurut saya tidak bisa begitu saja diterapkan kepada orang lain: saya orangnya ‘clear-cut‘. Ini bukan bilang saya sudah disunat, tetapi saya mau bilang bahwa saya tidak bisa hidup dalam nuansa setengah-setengah. Kalau saya A, sementara menurut asumsi saya masyarakat lebih nyaman jika saya B, saya tidak akan pernah bisa belajar untuk berjalan di antara A dan B.
Suatu ketika, saya akan memilih salah satunya, supaya saya tidak limbung. Tapi tentu saja tidak semua orang bisa melakukan ini, dan saya tidak menyatakan ini adalah sikap yang paling benar dan pasti berhasil untuk semua orang. Jika ada yang bisa dan nyaman melakukannya, good for them….
Alasan eksternalnya adalah lingkungan. Ini juga yang menurut saya tidak dimiliki semua orang. Di kota Bandung yang orang-orangnya lebih terbuka, saya memiliki teman-teman yang tidak menghakimi saya, apapun posisi mereka mengenai homoseksualitas sebelum (atau selama) berinteraksi dengan saya. Sangat disayangkan bahwa tidak semua teman-teman gay dianugerahi lingkungan seperti ini.
Tapi tentu saja tidak semua orang bisa melakukan ini, dan saya tidak menyatakan ini adalah sikap yang paling benar dan pasti berhasil untuk semua orang. Jika ada yang bisa dan nyaman melakukannya, good for them….
Lalu, visibilitas homoseksualitas… artikel yang ditulis Saudara Budi Winawan memberi kesan bahwa persekusi terhadap gay adalah hasil dari kurangnya visibilitas kaum ini di masyarakat, tetapi sayangnya, artikel gagal menyajikan unsur kausalitas yang valid.
Menurut saya, tidak semua melela terjadi dalam konteks yang sama, dan belum tentu ‘call to action‘ seperti yang diampaikan dalam artikel tersebut positif untuk semua kaum gay sebagai komunitas.
Namun, melela bisa jadi sangat positif untuk orang per orang. Bagi saya sendiri, melela rasanya seperti melepaskan beban yang satu, agar kita siap mengangkat beban yang lain: fokus pada prestasi, memajukan keadaan diri, mencari apa sebenarnya minat dan bakat kita dan apa yang bisa kita lakukan di dunia ini agar berguna bagi diri sendiri dan sekeliling kita tanpa pusing memikirkan “ngencengin baut”, pura-pura ˜belum ketemu cewek yang cocok, atau salto dari pertanyaan “Kapan menikah?” yang suka dilontarkan kepada pria mapan, ganteng, seperti saya dan Budi Winawan.
Kepura-puraan adalah teman sejati kita ketika masih malu karena kita berbeda. Dari mulai bangun tidur, kita terlatih mengarang narasi mengenai diri kita sendiri yang sebenarnya fiksi, tapi menyenangkan untuk sensibilitas orang lain. Kegiatan itu menurut saya menguras energi. Saya selalu lelah di akhir hari karena seharian berpura-pura.
Tapi kembali lagi, menurut saya yang tidak mungkin bebas-salah, visibilitas tidak sama dengan berkurangnya persekusi. Ada kemungkinan persekusi malah akan lebih kencang. Apakah setiap kita siap untuk itu? Kalau saya sendiri sih tidak siap sebenarnya, tapi ini pilihan yang menurut saya paling menenangkan dan empowering, apapun efeknya nanti. Setidaknya nanti di akhir hidup nanti saya bisa tenang bahwa sepanjang hidup saya, saya setidaknya selalu jujur pada satu orang: saya sendiri.
Setiap orang hidup sesuai dengan apa yang mereka rasakan paling cocok untuk mereka sendiri, selama tidak merugikan orang lain. Ya, termasuk mereka yang homofobia dan menganggap homoseksualitas adalah pilihan yang salah. Tapi ada faktor lain: melela perlu diiringi dengan citra diri yang baik juga. Masih banyak gay yang menganggap orientasi mereka itu ‘salah’, sebuah ‘penyakit’ yang harus disembuhkan. Melela menurut saya harusnya adalah sebuah awal, betul, tapi juga kulminasi dari ‘knowing thyself‘ yang sudah matang dari individu tersebut. Itu penting. Melela sambil terus menganggap homoseksualitas itu “salah” akan sia-sia.
Kalau kata Tyrion Lannister dari A Song of Ice and Fire, “Jangan pernah lupa kamu siapa, karena dunia pun tidak akan melupakannya. Identitasmu bisa menjadi kekuatan, sekaligus kelemahanmu. Persenjatakan dirimu dengan kekuatan identitas, niscaya dunia tidak bisa menyakitimu karenanya”.
Apakah setiap kita siap untuk itu? Kalau saya sendiri sih tidak siap sebenarnya, tapi ini pilihan yang menurut saya paling menenangkan dan empowering, apapun efeknya nanti. Setidaknya nanti di akhir hidup nanti saya bisa tenang bahwa sepanjang hidup saya, saya setidaknya selalu jujur pada satu orang: saya sendiri.
Yori Frisa Papilaya lahir di Bandung, 7 Januari 1984. Pria gagah lulusan Institut Teknologi Bandung ini memiliki kegemaran membaca komik dan menonton film. Ia adalah Ketua Pasar Komik Bandung 2019 dan terpilih sebagai Artist of the Year di kesempatan yang sama. Yori gemar menggambar dan salah satu komik kesukaannya adalah Komik Sailor Moon, khususnya Sailor Saturnus. Sapa Yori di akun Twitter @Yoriapriori dan Instagram @Jor.mngndr.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela atau menceritakan bagaimana lingkungan Anda mampu menerima Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigation di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigation di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti, “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi”.
No Responses to “Alasan Yori Melela”