Sejak kecil saya sudah merasakan ketertarikan pada laki-laki. Awalnya saya tidak merasa itu aneh. Bahkan, sewaktu masih di bangku SD, saya pernah membahas ketertarikan saya yang berbeda dengan teman-teman pria saya. Pernah suatu ketika saya dan teman-teman sekelas diam-diam melihat isi majalah dewasa ketika belajar kelompok. Semua teman laki-laki saya membahas wanita-wanita dalam majalah tersebut. Saya tidak. Itulah kali pertama saya mengetahui bahwa saya memiliki orientasi ketertarikan yang berbeda.
“Kalian sukanya sama yang itu? Kok aku lebih suka yang ini ya?” Tanya saya polos sambil menunjuk laki-laki dalam suatu halaman.
Reaksi teman-teman saya saat itu hanya, “Oh, masa sih?”
Semuanya terasa wajar. Saya pun tetap suka iseng merayu dan menggoda teman-teman perempuan ketika bersama teman-teman pria saya. Itu saya lakukan karena, meski tidak benar-benar tertarik dengan wanita, kegiatan itu saya pahami sebagai “ritual” yang memang biasa dilakukan sekelompok anak laki-laki ketika sedang berkumpul, dan saya adalah bagian dari kelompok itu.
***
Memasuki SMP, saya masuk ke jenjang baru kedewasaan. Di masa puncak pubertas ini banyak hal baru yang masuk ke dalam diri saya. Kerangka pikir yang semakin terpengaruh pandangan umum masyarakat secara signifikan mengubah cara saya melihat ketertarikan saya pada laki-laki. Saya mulai mengenal bahwa kondisi manusia sebagai homoseksual adalah “salah”. Ini membawa serta semua stigma negatif yang menempel pada pemahaman homoseksual dan diri saya. Seolah-olah semua stigma negatif tersebut dilimpahkan ke pundak saya.
Saya pun tetap suka iseng merayu dan menggoda teman-teman perempuan ketika bersama teman-teman pria saya.
Saya jadi merasa kurang. Saya merasa seperti produk gagal. Saya sangat membenci ketertarikan yang sebelumnya terasa alami ini. Saya pun mulai memikirkan untuk bisa “berubah”. Banyak usaha saya coba. Misalnya, saya sebisa mungkin menghindari hal-hal yang dianggap feminin. Saya menjadi kritikus yang keras bagi diri saya sendiri. Sering saya menghukum diri sendiri karena saya pikir saya telah berkata atau bertindak “homo.” Saya pun merasa “tidak normal” karena saya tidak menyukai olahraga sepakbola seperti teman-teman pria saya yang lain. Padahal, sebagai pencinta olah raga yang sejak SD, saya selalu mendapat nilai bagus dalam kebugaran jasmani – ketika SMA saya merupakan ketua kegiatan ekstrakurikuler bola voli dan di saat yang sama aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler pencak silat, plus berenang setidaknya seminggu sekali. Namun, hanya lantaran tidak menyukai sepakbola, saya merasa tidak jantan.
Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar saya “disembuhkan” dari ketertarikan yang sempat saya pahami sebagai dosa besar ini. Doa semakin saya teriakkan ketika pertama kali merasakan cinta pada sahabat laki-laki saya. Bersamanya merupakan saat-saat paling indah sekaligus menyiksa bagi saya. Itu seperti menyangkal apa yang dengan dalam dirasakan diri saya kala itu. Bahkan saya pun sempat memacari perempuan, yang sempat saya lakukan dalam rangka “penyembuhan” namun justru berakhir dengan perasaan bersalah karena telah mempermainkan perasaan gadis itu.
***
Memasuki SMA, saya mulai akrab dengan Internet. Suatu ketika rasa penasaran menghasut saya untuk melihat gambar-gambar porno dalam rangka usaha saya menjadi “normal”. Alangkah terkejutnya saya melihat hasil pencarian yang tidak hanya menyertakan adegan dewasa antara lelaki dengan wanita, tetapi juga adegan laki-laki dengan laki-laki. Saya tidak mempercayai apa yang saya lihat saat itu. Sebelumnya tidak pernah terpikirkan bahwa laki-laki bisa melakukannya dengan laki-laki lain! Ketabuan telah mengeliminasi kemungkinan itu dari pikiran saya. Saya terperanjat sekaligus penuh gairah. Ternyata saya tidak sendiri! Berkat pornografi saya menjadi tahu bahwa seksualitas itu dinikmati, baik itu untuk heteroseksual ataupun orang-orang seperti saya.
Saya jadi merasa kurang. Saya merasa seperti produk gagal.
Saya tentu tidak menyarankan pornografi sebagai sarana pendidikan seksualitas. Tanpa kedewasaan yang matang, pornografi dikhawatirkan mendorong pengaksesnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dalam jangka waktu panjang. Pendidikan mengenai seksualitas sebaiknya datang dari pihak yang bertanggung jawab, seperti keluarga, kader kesehatan, atau guru di sekolah.
Menyikapi pendidikan seksualitas pun juga harus kritis. Misalnya, saya mencoba lebih kritis dengan mencari tahu lebih lanjut apa itu kondom dan apa fungsinya, serta bahaya yang ditimbulkan oleh perilaku seks berisiko. Pemahaman ini mempersiapkan saya bukan agar melakukan hubungan seksual, melainkan mempersiapkan saya ketika saat yang tepat tiba. Saya juga banyak membaca tentang homoseksualitas itu sendiri dan sampai pada kesimpulan bahwa asosiasi-asosiasi kesehatan/psikologi dunia, bahkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tidak menganggap homoseksualitas sebagai penyakit sebagaimana saya percaya sebelumnya. Semua itu lambat laun mengantarkan saya pada penerimaan atas keadaan diri saya.
Sering saya menghukum diri sendiri karena saya pikir saya telah berkata atau bertindak “homo.”
Semakin saya merasa nyaman dengan seksualitas saya, semakin saya merasakan keinginan untuk memberitahukannya pada orang-orang terdekat saya. Saya pun memulainya dengan dua sahabat laki-laki saya di SMA. Ketika saya melela kepada mereka, awalnya mereka tidak percaya dan menganggap saya bergurau. Mereka kemudian mengambil nada serius dan memastikan jika apa yang baru saja mereka dengar itu benar. Saya pun membenarkannya dengan mantap. “Kamu tetap temanku, kok,” ujar salah satunya sambil meletakkan telapak tangannya di dada saya, berusaha menenangkan.
***
Di kampus saya sudah merasa jauh lebih nyaman dan mantap dengan seksualitas saya. Teman-teman telah saya beri tahu dan saya tidak berusaha menutup-nutupinya dari orang yang saya kenal selanjutnya. Walau begitu, saya tidak memungkiri bahwa rasa takut masih tetap ada, dan saya rasa akan terus ada. Itu wajar dan tidak perlu disesali. Yang terpenting adalah selalu berusaha jujur, menjadi diri sendiri, sebab kebahagiaan yang didapat dengan menjadi terbuka jauh melebihi rasa aman semu yang diciptakan ketakutan itu agar saya memilih bersembunyi. Melela memang tidak menjanjikan reaksi positif dari orang-orang di sekitar saya, tetapi dengan melela setidaknya saya tahu siapa yang menerima saya apa adanya dan mendukung serta mencintai saya.
Saya tidak menyarankan pornografi sebagai satu-satunya sarana pendidikan seksualitas.
Dukungan dan cintalah yang mengingatkan saya untuk mencurahkan perhatian pada orang-orang yang memperhatikan saya, bukan mereka yang berpaling dan membenci saya. Dukungan dan cinta itu mengajarkan saya untuk memahami apa yang mungkin dirasakan kelompok lain yang tertindas, sehingga membuat saya lebih sensitif melihat dinamika kehidupan dan memperlakukan orang lebih baik. Dukungan dan cinta itu pula yang mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa menjadi otentik adalah cara terbaik menjalani hidup, hingga saya pun memberanikan diri untuk akhirnya melela kepada keluarga saya – sebuah keputusan besar yang semakin menyadarkan saya pada pentingnya menjadikan keluarga bagian dari perjalanan hidup saya.
***
Tegar Ramadan terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi Terbaik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 2014. Di tahun yang sama, mahasiswa Program Studi Prancis ini mewakili Indonesia di Konferensi Asia Youth Leaders dan sebuah summer camp mahasiswa berbahasa Prancis di Vietnam, serta mengikuti pertukaran pelajar di Korea. Di awal tahun 2015, Tegar memenangkan lomba menulis internasional yang diselenggarakan oleh Espace francophone Auvergne dan Universitas Blaise Pascal, Prancis. Saat ini, laki-laki yang lahir pada 1 Maret 1993 ini tergabung dalam SGRC UI (Support Group and Reseach Center on Sexuality Studies). Korespondensi dengan Tegar bisa dilakukan melalui e-mail ke contact@melela.org dengan menyertakan judul e-mail “Tegar Ramadan”.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
4 Responses to “Kunci Kebahagiaan dalam Hidup Tegar Ramadan”
January 24, 2016
abikisah hidupnya koq sama persis dengn diriku. Hebat (y)
January 25, 2016
TyoLah kok bisa sama persis sih gar… Oh iya salam kenal sy tyo.mulai dr jurusan yg kita ambil sama tp saya sastra inggris sampai gak suka permainan sepak bola juga sama persis. Sy seneng banget bisa kenal dan tahu cerita kamu. Ternyata saya bukan satu satunya yg seperti itu..
Saya mah banyak ngebohongin diri, pura pura pacaran sama wanita pilihan ortu. Saya coba jalanin aja walau saya tahu saya melukai diri sendiri. Pernah pengen nekat coming out tp gak jadi soalnya masih takut dibully terlebih lagi keluarga saya pada religious semua. Tambah takut dan ragu buat coming out saya..
Huft… Jadi curhat nih saya. Yo wis intinya saya seneng banget sama situs ini yng udah jadi wadah curhatnya “orang spesial” kayak kita.
July 13, 2018
David SenjayaNasib Kita mirip. Lahir satu Maret 1995, lulusan terbaik Fisika ITB.
July 14, 2018
David SenjayaKisah hidup makhluk ini mirip. Terlahir 1 Maret 1995, lulusan terbaik Fisika ITB di 2018. May you be happy and be free.