Saya mulai mengenal sosok LGBT ketika mulai masuk ke dunia majalah, lebih tepatnya ketika menangani majalah Cosmopolitan, dan majalah Gadis. Saya melihat mereka adalah sosok yang sangat berbakat dan gapai melakukan pekerjaan mereka. Ada banyak hal yang sebenarnya saya inginkan tapi tidak saya miliki. Misalnya, teman-teman LGBT di kantor saya punya mata yang lebih jeli dan punya persepsi yang lebih objektif dalam melihat perempuan. Bahkan, lebih objektif dari karyawan-karyawan kebanyakan. Misalnya, kalau seorang pengarah gaya yang gay, ia bisa mendandani perempuan menjadi indah dan nyaman. Tidak semua pengarah gaya bisa membuat seorang model atau bintang nyaman di depan kamera; kebanyakan, pengarah gaya yang gay bisa melakukan itu. Ketika subjek foto merasa nyaman dengan gaya, tampilan, atau pakaian yang ia kenakan, ia akan merasanya nyaman di depan kamera, sehingga menghasilkan foto yang indah dan jujur.
Semenjak saat itu, ketika saya harus memilih anggota tim, saya tidak membedakan mana LGBT atau bukan; yang terpenting adalah kompetensi dalam tim. Pengalaman saya bekerja di majalah memperkenalkan saya kepada teman-teman LGBT, dan pengalaman inilah yang menyadarkan saya akan keunikan dan potensi diri mereka. LGBT atau bukan, mereka adalah aset dalam tim kerja. Saya tidak masalah jika mengetahui salah satu tim saya gay, lesbian, bahkan transjender. Namun, yang saya sedihkan adalah mereka suka malu akan identitas dan keadaan mereka. Inilah salah satu yang membuat mereka tidak begitu bersinar di dalam tim, menurut saya.
Saya memiliki teman yang saya dan teman-teman lain tahu bahwa ia adalah seorang gay. Kami berteman cukup lama, semenjak kami berdua belum menjadi pimpinan sampai sekarang kami berdua sudah ‘pensiun’ jadi pimpinan; jadi bisa dibayangkan dong seberapa lama persahabatan kami?
Kami tahu bahwa dia pernah menjalin hubungan asmara dengan pria lain, tetapi tidak pernah membicarakannya kepada kami. Buat saya, ia lebih dari sekadar teman kerja, dan saya berharap ia bisa bercerita terhadap kami. Namun, itu tidak pernah dilakukan walau hubungan pertemanan kita sudah cukup uzur. Menurut saya, LGBT di Indonesia sebaiknya sudah mulai bisa terbuka dan menerima keadaaannya yang berbeda dengan orang lain. Hal ini penting karena menyangkut kesehatan mental dan jiwa yang waras. Dari hidup teman saya yang juga sudah lumayan ‘uzur’ ini, kerahasiaaan membuat ia malah membenci LGBT lain. Malah, terkadang ketidaksukaannya bukan berdasarkan pemikiran yang matang. Saya berharap teman saya ini sudah mulai bisa bercerita agar luka batin yang dimilikinya perlahan bisa sembuh.
Selama pandemi Covid-19 2021, saya diminta untuk mengajar teman-teman Lesbian, Biseksual, dan Transgender Queer (LBTQ) dalam sebuah kelas penulisan. Selama mengajar dan berinteraksi dengan mereka, saya merasa bahwa mereka memiliki suara yang terbungkam. Oleh karena itulah, suara yang terbungkam itu dituliskan dalam sebuah kelas menulis. Jadi semacam terapi. Namun, saya merasa, menulis untuk diri sendiri adalah tingkat penulisan yang paling mendasar. Seiring dengan perkembangan keahlian menulis, seorang penulis akan mulai bisa menulis untuk orang lain, LGBT atau bukan.
Nah, dalam kasus teman-teman minoritas, keterbungkaman suara seseorang akan lebih bermanfaat jika dibaca tidak hanya oleh diri sendiri atau teman-teman setipe, tetapi akan lebih baik jika diketahui oleh orang lain. Dengan begitu, pemahaman orang lain, dalam hal ini kelompok mayoritas atau non-LGBT, mengenai teman-teman minoritas akan lebih baik. Dan, untungnya, kita tinggal di Indonesia; bukan di Singapura apalagi Malaysia yang memiliki undang-undang kriminalisasi untuk orang-orang yang miliki fitrah berbeda. Di Indonesia, justru kita harus berbeda agar bisa saling-melengkapi.
Saya sadar, membuka diri terhadap orang lain tidak mudah. Menurut saya, ini diakibatkan dari kecil mereka sudah sering disalah-salahkan karena memiliki kecenderungan yang berbeda dari orangtuanya. Ada ketakutan dari orangtua untuk menerima anaknya memiliki kecenderungan yang berbeda. Padahal, dalam keluarga memang tidak seharusnya melulu sama. Misalnya, ayahnya suka makan pedas, ibunya bisa suka makan manis, lalu anaknya suka makan masam. Agak repot, memang, namun terkadang, manusia harus berbeda agar saling melengkapi—termasuk dalam ranah keluarga inti.
Saya bercerita ini adalah berdasarkan data. Dari konten penulisan mereka, 90% adalah tentang hubungan dengan orangtua mereka. Ada hal-hal yang mereka ingin sampaikan kepada orangtua tetapi tidak bisa karena berbagai alasan; ada yang karena segan, takut, bahkan trauma. Ada anak yang malah dipukul, diusir, ini sedih sekali. Semoga saya tidak menjadi orangtua yang seperti ini.
Mungkin ini bisa terjadi karena orangtua punya gagasan tersendiri tentang apa yang baik di benak orangtua yang tidak selalu selaras dengan apa yang dianggap baik oleh anak. Perlu ketulusan hati dan keberanian untuk bertemu di tengah, menyelaraskan persepsi akan apa yang dianggap ‘baik’ oleh orangtua dan anak. Ada pula alasan karena orangtua terlalu mendengarkan apa kata orang sampai-sampai lupa mendengarkan apa kata anak. Ini tidak menyoal LGBT saja, tetapi juga banyak orangtua yang malu ketika anak tidak diterima di universitas bergengsi, anak diterima di kelas IPS bukan IPA, jurusan yang ‘seakan-akan’ menjamin masa depan, dan sebagainya.
Dalam konteks teman-teman minoritas, anak suka takut ketika ia bercerita sedang jatuh cinta, menyukai alat dandan, atau hal yang dianggap ‘tidak semestinya’ walaupun itu sebenarnya tidak pasti melukai apalagi merugikan siapapun. Dalam banyak kesempatan, ketika itu tidak dilarang, ada banyak manfaat yang bisa diambil oleh anak. Misalnya, anak lebih bahagia dan dapat pula anak lebih mudah mengembangkan potensi dirinya sebagai manusia yang utuh.
Reda Gaudiamo aktif mengisi kelas menulis untuk berbagai kalangan, dari mulai anak-anak sampai dewasa, termasuk untuk teman-teman Gay dan kelompok LBTQ di Indonesia. Sejumlah buku fiksinya sudah diterbitkan di Indonesia dan UK. Reda Gaudiamo lahir pada 21 Agustus 1960, sebelum lulus Sastra Prancis Universitas Indonesia, ia sudah menulis di majalah Gadis bersama Femina Group, lalu sempat bekerja sebagai penulis untuk biro iklan multinasional, sebelum akhirnya kembali ke dunia media menelurkan Cosmopolitan Indonesia, Harper’s Bazaar Indonesia bersama MRA Media. Sapa Reda melalui akun instagram @Reda.gaudiamo.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan kisah Anda ke contact@melela.org. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story di menu navigasi, sebelah atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Reda Gaudiamo Merangkul Kelompok LBTQ”