Aku dahulu adalah seorang penganut agama Kristen yang fanatik dan intoleran. Aku menghakimi dan menyumpahi kaum homoseksual, menganggap mereka sebagai pembelot ajaran Tuhan. Saat itu aku berpikir bahwa homoseksual adalah penyakit yang dapat disembuhkan melalui pertobatan serta konseling di gereja.
Semua pemikiran sempit dan sesat itu berubah saat aku kuliah. Di semester pertama perkuliahan, aku bergabung dengan klub debat bahasa Inggris di kampus. Di klub debat itu aku belajar untuk berpikir tajam dan dihadapkan dengan berbagai macam isu, mulai dari isu politik, ekonomi hingga isu Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender (LGBT). Aku pun mulai rajin membaca jurnal-jurnal tentang hak asasi, konsep kebebasan, isu LGBT, gender dan sebagainya. Aku menjadi sadar bahwa pemikiranku yang dahulu itu disebabkan karena aku tidak membuka diri terhadap informasi pengimbang sehingga tidak ada ruang bagiku untuk memvalidasi keabsahan informasi atau ajaran LBGT yang selalu dipersepsikan negatif itu.
Di klub debat itu aku belajar untuk berpikir tajam dan dihadapkan dengan berbagai macam isu, mulai dari isu politik, ekonomi hingga isu Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender (LGBT).
Di klub dan perlombaan debat aku berinteraksi dengan banyak teman LGBT. Arena debat dipenuhi dengan orang-orang cerdas, kritis dan berpikiran terbuka. Nilai-nilai itulah yang menjadikan sirkuit debat sebagai ruang berinteraksi yang menyajikan penerimaan dan kebebasan yang bertanggungjawab bagi semua orang, termasuk LGBT.
***
Semangatku mendukung LGBT kubawa hingga ke kelas dan pergaulan. Antusiasmeku ini rupanya diperhatikan oleh beberapa temanku yang selama ini mengunci rapat-rapat identitas seksual mereka. Aku masih ingat, suatu malam di sebuah kafe, sahabatku melela padaku. Aku senang dan bangga sekali pada keberaniannya. Namun rasa suka itu segera menjadi hambar ketika ia menceritakan tentang hidupnya yang tertekan karena hidup dalam kepalsuan, depresi karena tidak mampu berekspresi diri secara utuh dan rasa takut diusir dari rumah apabila melela pada keluarga sedangkan ia belum independen secara finansial. Malam itu aku sadar bahwa banyak orang LGBT di luar lingkaran debatku yang masih belum memiliki lingkungan pendukung. Aku tidak ingin dukungan yang harusnya mereka dapatkan eksklusif tersedia di arena debat semata. Aku pun mulai menjangkau teman-teman LGBT yang merasa sendiri tanpa dukungan. Aku berusaha menjadi sanctuary bagi mereka yang berkenan. Tentu, tidak serta-merta aku melenyapkan beban mereka tapi setidaknya aku bisa berbagi ruang dimana mereka bisa bercerita dengan rasa aman, didengar serta dihargai.
***
Tahun lalu aku mendengar berita pembatalan acara diskusi LGBT di kampus Universitas Brawijaya, alma materku. Aku menghubungi ketua BEM pelaksana acara dan aku bantu menghubungkan dia dengan aktivitis pendukung hak-hak LGBT di Jawa Timur, yang merupakan mitra dari rekan kerjaku. Yang kulakukan ini tidaklah besar tetapi aku harap langkah kecil ini bisa memunculkan secercah senyum dan memupuk semangat teman-teman LGBT untuk bersama-sama berjuang melawan perlakuan represif.
Aku masih ingat, suatu malam di sebuah kafe, sahabatku melela padaku. Aku senang dan bangga sekali pada keberaniannya.
Beberapa temanku sempat berasumsi bahwa aku adalah lesbian karena aku terlihat begitu semangat mendukung LGBT. Pernyataan mereka sungguh membuatku kesal sekaligus sedih. Bukan karena asumsi lesbian, tetapi karena masih ada orang yang berpikir sesempit itu. Apakah seseorang harus menjadi homoseksual dulu untuk bisa memahami bahwa LGBT adalah manusia yang pantas mendapatkan hak untuk hidup dan berekspresi? Apakah seseorang harus menjadi Muslim dulu untuk bisa memahami bahwa penganut agama Islam berhak mendapatkan kebebasan melaksanakan salat? Apakah seseorang harus menjadi penduduk kulit hitam dulu untuk bisa memahami bahwa kulit hitam berhak mendapatkan kebebasannya dari perbudakan? Tentu tidak! Seseorang hanya perlu menjadi manusia yang berakal budi untuk memahami bahwa tiap manusia, apapun kepercayaannya, warna kulitnya, orientasi seksualnya,–selama tidak merusak hak orang lain–berhak mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan hidupnya, mencapai kebahagiaannya dengan cara yang mereka ingini.
***
Queentries Regar menamatkan pendidikannya di Universitas Brawijaya jurusan Hubungan Internasional pada 2014 dengan segudang prestasi. Wanita yang hobi membaca ini sempat menjadi 2nd Runner Up Indonesia Varsities English Debate ITB 2013 dan mewakilkan universitasnya di World University Debate Championship Chennai 2014. Ia lulus sebagai peringkat 3 lulusan terbaik FISIP Brawijaya November 2014 (cumlaude). Sapa Queentries melalui akun twitter @cuincuin.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Queentries Regar Dahulu Fanatik dan Intoleran”