Pengalaman satu transpuan dengan transpuan lainnya berbeda. Sedari kecil saya tidak pernah gemar bermain boneka atau masak-masakan. Hanya saja, ketika usia 4 tahun, saya menyadari bahwa saya harus mengenakan seragam yang sama seperti kakak laki-laki saya; padahal saya sempat mengira akan mengenakan seragam seperti kakak perempuan saya. Ketika ternyata harus mengenakan bukan model seragam yang saya inginkan, saya kecewa.
Mengenakan baju laki-laki rasanya aneh sekali. Buat saya, rasanya seperti mengenakan baju terbalik dan basah pula. Rasanya tidak nyaman dan “lengket”. Namun, saat itu ibu saya mengatakan kalau anak laki-laki tidak boleh mengenakan pakaian seperti anak perempuan. Saya menuruti kata ibu dan mencoba mengenakan baju seragam laki-laki. Namun, ya, rasanya aneh. Bayangkan Anda harus mengenakan baju terbalik dan basah seharian. Itulah yang saya rasakan.
Sedari kecil saya tidak pernah gemar bermain boneka atau masak-masakan.
Saya meneruskan pendidikan SMA di sekolah khusus laki-laki, Kolese Kanisius di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Di situ saya dihadapi oleh dunia remaja yang ‘sangat laki-laki’ karena tidak ada murid perempuan. Saya berpikir mungkin ini adalah cara Tuhan untuk membuat saya seperti laki-laki. Tidak mudah diterima di Kolase Kanisius, dan saya berhasil masuk. Untuk bisa bergaul dengan teman-teman, saya pun mencoba berkelakuan maskulin, meniru teman-teman saya, tetapi hanya bisa bertahan satu bulan. Saya tidak merasa seperti diri saya sendiri dan teman-teman saya sepertinya bisa melihat itu. Akhirnya saya mencoba menjadi diri saya sendiri dan itu tidak mudah di lingkungan yang sangat maskulin.
Bullying atau intimidasi fisik atau sosial menjadi bagian yang kerap terjadi di dunia maskulin. Ini salah. Teman-teman gay di sekolah cenderung menerima bullying fisik, seperti diinjak kemaluannya perlahan, seperti menginjak gas mobil, lalu ada yang disembunyikan sepatunya kemudian dilempar ke atap sekolah, dan sejenisnya. Namun, untuk siswa feminin seperti saya, bullying yang saya terima adalah bullying sosial. Contoh bullying sosial adalah: tidak dipilih dalam kerja kelompok atau regu olahraga, sulit mendapatkan teman, dan tidak mungkin menjadi ketua kelas. Saya berharap bullying di sekolah sudah semakin berkurang, baik fisik maupun sosial. Di sekolah saya, lelaki feminin tidak sedikit, tetapi laki-laki feminin yang melihat dirinya sebagai perempuan mungkin hanya ada saya dan satu orang kakak kelas saya.
Selama SMA di Kolese Kanisius, toilet bukanlah ruangan yang ramah buat saya. Ketika pelajaran olahraga, saya merasa risih ketika harus berganti pakaian dengan teman-teman. Saya selalu menunggu mereka selesai atau lebih baik pindah ganti baju di kamar mandi yang lantainya berbeda dengan mereka.
***
Transisi saya menjadi perempuan mulai saya lakukan ketika kuliah. Buat trans, melela tidak harus disampaikan secara verbal, tetapi lebih dengan penampilan. Saya masuk Fakultas Psikologi UI dan di semester 4 saya mulai mengkonsumsi pil hormon. Hasilnya, bentuk tubuh saya mulai berubah dan tidak mungkin mengenakan pakaian laki-laki. Rasanya seperti “mendapatkan badan baru” dan saya bahagia sekali. Bagian dari kebahagiaan itu adalah mengenakan pakaian serba-seksi dan ketat. Ini mungkin juga terjadi di beberapa trans lain ketika masa-masa awal transisi. Kami melihat ini sebagai “masa euforia”.
Ketika pelajaran olahraga, saya merasa risih ketika harus berganti pakaian dengan teman-teman.
Biasanya, masa euforia ini tidak berlangsung lama. Karena sempat berpakaian seksi, teman-teman saya mengingatkan kalau jadi perempuan juga tidak perlu harus begitu. Buat saya ini adalah bentuk pertemanan yang baik, karena mereka tidak meminta saya untuk berhenti mengenakan pakaian perempuan, tetapi agar saya lebih cermat memilih pakaian perempuan yang saya kenakan. Lalu ketika di perjalanan menuju kampus, saya melihat wanita yang mengenakan pakaian seksi dan super-ketat dan saya berpikir tidak ingin menjadi wanita seperti itu. Tidak ada yang salah dengan mengenakan pakaian seksi di tempat yang tepat dan orangnya nyaman, tetapi ternyata saya tidak nyaman dan saya rasa di situlah saya menemukan penutup masa euforia saya. Pakaian-pakaian yang tidak provokatif mulai sering saya kenakan ke kampus.
***
Menjalankan pendidikan sebagai seorang trans tidak mudah. Jika di bangku sekolah saya disulitkan dengan suasana kamar mandi dan bullying sosial, di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, saya pun harus menghadapi dosen-dosen yang tidak ramah terhadap orang-orang seperti saya. Saya kerap didatangi dosen untuk diminta lebih religius, diminta sering-sering puasa, dan mendekatkan diri ke agama yang terkadang saya menanyakan apa korelasinya dengan kemampuan saya belajar di kelas? Saya bisa saja menjadi transgender yang religius, tetapi apa hubungannya? Saya kuliah psikologi, bukan teologi.
Saya pernah didatangi seorang dosen yang ingin saya berhenti mengenakan pakaian perempuan. “Banyak orang yang tidak suka,” katanya. Namun ketika saya menanyakan siapa yang tidak suka ia hanya menjawab bahwa ia menangkap ini dari cara orang-orang lain melihat saya. Saya sempat tersinggung karena bukankah dalam hidup banyak hal-hal yang tidak kita sukai adalah hal yang biasa? Namun, sebagai orang waras, saya memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan, apalagi melawan. Padahal saya sempat ingin mengatakan bahwa di kampus saya juga banyak yang mengenakan cadar, dan terkadang mereka pun dianggap aneh, tetapi kenapa tidak ada dosen yang mendatangi dan meminta mereka untuk mengubah penampilan? Mengapa saya yang menerima perlakuan seperti ini?
Menjalankan pendidikan sebagai seorang trans tidak mudah.
Ada pula dosen yang menjegal langkah akademis saya dengan harapan saya harus berubah. Ia mengatakan saya punya potensi, tetapi untuk meneruskan ke jurusan yang saya inginkan ia menginginkan saya untuk berubah. Ternyata nilai baik tidak cukup karena menurut dosen saya, “Kamu punya potensi tapi kalau kamu terus seperti ini, kami tidak bisa menerima kamu.”
Ketika ujian skripsi pun saya hampir dilarang masuk ruang sidang. Beberapa dosen secara terang-terangan mempertanyakan kenapa saya diberikan izin masuk ke ruangan. Untungnya, salah satu dosen mengatakan bahwa “Saya di sini untuk menguji penelitian Kevin, bukan untuk menguji pakaiannya.” Saya berterima kasih kepada mereka yang bisa membuka pikiran dan memperlakukan saya layaknya mahasiswi yang lain di tengah banyak tekanan dari mereka yang tidak suka dengan saya.
Menjelang akhir masa perkuliahan pun saya masih dipersulit. Ketika yudisium acara kelulusan, saya tidak boleh masuk ruangan kelulusan karena saya mengenakan pakaian perempuan, padahal pakaian itu sengaja dijahitkan oleh teman saya untuk acara kelulusan. Saya hanya bisa masuk kalau saya mengganti baju saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak melawan, pulang, dan tidak menghadiri acara seremonial tersebut.
Ada pula dosen yang menjegal langkah akademis saya dengan harapan saya harus berubah.
Didatangi dosen untuk diinterogasi, diperlakukan tidak adil, sampai dijegal langkah akademisnya, adalah hal-hal yang saya terima selama di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sampai saat ini saya belum mendapatkan permintaan maaf atas pengalaman yang diberikan selama saya berkuliah di Universitas Indonesia. Berbeda dengan pengalaman saya meneruskan pendidikan pascasarjana di UK, di Univesitas Aberdeen, tekanan yang saya terima adalah sepenuhnya akademis, seperti belasan buku yang harus saya baca untuk satu mata kuliah atau jumlah karangan ilmiah yang luar biasa banyak harus saya selesaikan untuk menuntaskan perkuliahan. Di Universitas Aberdeen saya tidak pernah ditekan, didiskriminasi, apalagi dipersulit karena saya seorang transpuan, tidak seperti di Universitas Indonesia. Namun, tentu juga ada dosen dan teman-teman di Universitas Indonesia yang baik yang membantu saya bertahan sampai menyelesaikan kuliah saya. Tanpa mereka, belum tentu saya bisa menyelesaikan studi saya.
***
Sewaktu masih kuliah, ibu saya menemukan pakaian-pakaian wanita saya. Ini terjadi ketika ibu saya beres-beres rumah. Lalu ibu saya bertanya, “Ini pakaian siapa?” Namun saat itu saya katakan itu pakaian saya waktu sedang bermain sandiwara di kegiatan kampus. Saya merasa belum siap menyampaikan ke ibu saya saat itu dan memilih untuk tidak membicarakannya. Saya kira melela untuk seorang trans bersifat lebih non-verbal dibanding teman-teman gay atau lesbian. Mungkin karena kebanyakan dari kami tidak mengetahui bagaimana cara menceritakannya dengan tepat. Mungkin, jika sudah banyak cerita-cerita pengalaman trans diteribitkan, kami jadi punya gambaran bagaimana cara menceritakan pengalaman kami.
Untuk saat itu, tetap mengenakan pakaian perempuan adalah cara saya melela di keluarga ataupun lingkungan sekitar. Ibu saya pun enggan membicarakannya. Saya merasa ada kekhawatiran ibu menyinggung perasaan saya jika ia menanyakannya dan saya menghargai itu.
Ibu mengingatkan saya agar selalu mengenakan jaket untuk keamanan saya di luar rumah. Di samping itu sesekali ibu suka mengatakan “Kamu cantik loh kalau pakai ini,” adalah lebih dari cukup buat saya. Saya tidak pernah meminta apa-apa dari ibu saya. Ibu ingin anaknya cantik membuat saya bahagia. Terima kasih, Mama.
Saya yakin tidak mudah memiliki seorang anak trans seperti saya. Namun ibu saya tidak pernah menunjukkan hal lain selain kasih sayang. Ketika nama saya disebut di doa keluarga secara terang-terangan sebagai “anak domba yang hilang”, ibu dan tante saya marah kenapa saya harus disudutkan di depan orang banyak.
Untuk saat itu, tetap mengenakan pakaian perempuan adalah cara saya melela di keluarga ataupun lingkungan sekitar
Saya berterima kasih kepada ibu saya karena telah memberikan dukungan kepada saya, terlebih lagi telah membiayai kuliah saya. Saya sadar, meneruskan sekolah di sekolah swasta dan kuliah di Universitas Indonesia biayanya tidak murah. Apalagi jika anaknya adalah seorang trans seperti saya. Ibu tidak pernah berhenti membiayai sekolah saya walau saya sempat mendengar kakak saya mengatakan, “Buat apa menghabiskan uang untuk pendidikan Kevin kalau akhirnya ia akan hidup dan bekerja di jalanan?”
Di situ saya sempat menangis. Apakah orang-orang seperti saya tidak pantas mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak? Teryata ibu saya mendengar saya menangis dan menghampiri saya. Ia mengusap airmata saya dan meminta saya untuk tidak mendengarkan perkataan kakak saya. “Fokuslah sama pendidikanmu, selesaikan sekolah. Kalau kamu sekolahnya benar pasti hasilnya juga benar” kata ibu.
Saya rasa perkataan ini adalah pondasi yang menguatkan diri saya untuk terus sekolah dan tidak berujung di jalanan. Jika tidak ada pondasi kasih sayang yang kuat, mungkin pendidikan saya sudah gagal di tengah jalan karena saya tidak kuat menghadapi rintangan yang muncul di sekolah karena penampilan saya tidak sama dengan anak-anak lain.
Penerimaan orangtua membantu saya merasakan pengalaman pernah disayangi, sehingga menjadi pondasi yang kuat untuk menghadapi hambatan yang muncul di kehidupan. Banyak teman-teman trans yang mungkin tidak memiliki pondasi mental yang kuat, meninggalkan sekolah, dan hidup di jalanan karena ia tidak mendapatkan penerimaan dan kasih sayang dari orang-orang yang menurutnya penting.
Jika tidak ada pondasi kasih sayang yang kuat, mungkin pendidikan saya sudah gagal di tengah jalan
Di dunia psikologi, kita diajarkan bahwa manusia memiliki tugas perkembangan sosial, yang dalam setiap tahapan tersebut terdapat tugas perkembangan manusia. Ketika ada penolakan atas dirinya, hal ini akan membuat anak tidak mampu menjalankan tugas perkembangannya dengan baik. Apabila rumah tidak menjadi sumber utama rasa aman dan kasih sayang terhadap anak, hal ini akan berdampak pada keinginan untuk terus-menerus mencari rasa aman dan kasih sayang tersebut di tempat lain yang dipersepsikan anak dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
***
Terima kasih masih membaca kisah saya. Jika sebelumnya saya bercerita tentang keluarga dan pengalaman pendidikan, di bagian ini saya ingin menceritakan kisah saya dalam dunia pekerjaan. Mencari pekerjaan juga bukan hal yang mudah di Indonesia bagi seorang transpuan. Saya memiliki prinsip untuk selalu jujur dari awal, tetapi itulah yang malah menyulitkan saya untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, saya tetap mengatakan bahwa saya seorang peremuan trans di wawancara pekerjaan karena saya rasa kiprah kita di dunia pekerjaan akan lebih baik jika kita jujur kepada teman kerja dan perusahaan tempat bekerja. Dalam sebuah wawancara, saya malah ditanya kenapa saya tidak mengatakan saya adalah perempuan dan bohong saja? Saya tidak setuju. Dalam bekerja, orang punya integritas, dan itu dibangun dengan kejujuran.
Akhirnya saya berhasil diterima di sebuah biro konsultan psikologi yang memang sedang membutuhkan tenaga banyak. Di situasi seperti itu, ekspresi gender menjadi tidak terlalu dipermasalahkan. Melalui pekerjaan itulah saya mendapatkan kesempatan untuk banyak bekerja dengan pemerintah, mulai dari seleksi KPK “Indonesia Memanggil” sampai ke berbagai departemen kementrian. Saya bangga atas kiprah saya. Saya berharap terus diberikan kesempatan untuk berkiprah buat Indonesia dan lingkungan di mana pun saya bekerja.
Saya memiliki prinsip untuk selalu jujur dari awal, tetapi itulah yang malah menyulitkan saya untuk mendapatkan pekerjaan.
Dalam realita kita sekarang, teman-teman trans sulit untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan yang dapat mendukung perkembangan diri yang sehat. Di dunia pekerjaan, teman-teman trans memiliki segmen pekerjaan terbatas pada pekerja seks, pekerja salon, mengamen, dan penata rias.
Dalam konsep emotional labor, individu harus memproses perasaan dan ekspresinya untuk memenuhi kebutuhan emosional dalam pekerjaannya. Ketika kita menghubungkan konsep emotional labor dengan gender, terdapat pekerjaan yang secara stereotipikal membutuhkan emosi tertentu untuk memperlancar pekerjaan. Contoh, banyak pekerjaan guru TK diberikan kepada perempuan karena perilaku nurturing (mengasuh) secara stereotipikal diharapkan pada perempuan.
Dalam konteks trans, emotional labor yang terbentuk adalah sikap yang secara stereotipikal didorong oleh masyarakat. Contohnya, hanya diberikan kesempatan bekerja di bidang salon, dunia hiburan (ada yang berhasil menjadi selebritas atau penata rias, tetapi banyak yang harus menjadi penyanyi di jalan), dan pekerja seks. Jika pilihan pekerjaan hanya sebatas ini, sungguh amat disayangkan karena potensi teman-teman trans dibatasi oleh area kerja yang secara tradisional dianggap ‘ramah’ teman-teman trans. Sulit bagi teman-teman trans untuk bergerak ke area yang secara tradisional tidak dianggap ramah, seperti pekerjaan di bidang hukum, psikologi, kedokteran, ekonomi, dan lain-lain, karena emotional labor untuk teman-teman trans hanya terbatas di area yang itu-itu saja.
***
Sebagai transpuan, saya cukup beruntung melihat diri saya bukan sebagai masalah melainkan solusi di masyarakat karena kiprah saya. Ini menjadi mungkin karena saya mendapatkan kasih sayang yang cukup di rumah. Saya berharap ini tidak hanya terjadi pada saya tetapi juga pada anak-anak trans lain.
Dalam bekerja, orang punya integritas, dan itu dibangun dengan kejujuran.
Rasa aman dan kasih sayang orang tua dapat menjadi referensi bagi anak-anak trans untuk memahami bagaimana mengalami perasaan disayang, diterima dan memiliki rasa positif terhadap diri sendiri. Pengalaman disayangi menjadi referensi untuk anak memahami apa dan bagaimana disayangi dan dilindungi, sehingga tidak salah dalam mengidentifikasi perasaan lain yang dialami di luar rumah. Penerimaan orang tua dapat membantu anak-anak trans memiliki masa depan yang lebih baik.
Jika teman-teman trans lain mendapatkan perlakuan yang tidak baik, bahkan kejam dari pihak sekolah, kampus, masyarakat, atau bahkan pemerintah, percayalah bahwa ada orang-orang lain yang menyayangi kalian. Kekejaman berpangkal dari ketidaktahuan dan kemalasan orang untuk memikirkan kembali apa yang mereka tahu. Berpeganglah pada pengalaman dari orang-orang yang menerima dan memahami kalian. Percayalah jika ada satu pintu tertutup, pintu lain akan terbuka untuk kalian.
***
Kevin Halim menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan mendapatkan beasiswa Chevening dari Pemerintah UK untuk meneruskan kuliah pascasarjana di University of Aberdeen, Skotlandia, jurusan Sex, Gender, and Violence. Wanita berzodiak Libra ini hobi membaca buku-buku non-fiksi, seperti “Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia”, yang ditulis Yuval Noah Harari. Elizabeth Pisani adalah penulis favorit Kevin.Sapa Kevin melalui akun instagram @Kvn.hlm.
Di tahun 2019, Kevin menerbitkan buku panduan orangtua berjudul “Penerimaan: Kumpulan Cerita Penerimaan Orangtua Dengan Anak Transpuan” dalam dua bahasa. Buku ini berisi langkah-langkah penerimaan orangtua terhadap anak transgender. Untuk pembaca melela.org, Kevin Halim memberikan bukunya secara gratis. Anda dapat mengunduh buku tersebut dengan versi bahasa Indonesia di sini dan versi bahasa inggris di sini.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela atau menceritakan bagaimana lingkungan Anda mampu menerima Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
2 Responses to “Perjalanan Kevin Halim”
July 31, 2019
Irena TjiunataSalut. Semoga terus menjadi berkat Tuhan untuk orang-orang di sekelilingmu.
January 15, 2020
Michael LeeMemang tidak gampang apalagi di RI. Namun pelan2 pasti berhasil krn kebenaran itu lebih kuat drpd kejahatan.Kudhu selektif memilah2 lingkungan, siapa lawan bicara danwaktunya coming out. Ga mudah namun bkukannya mustahil.