Tuhan menciptakan setiap manusia mempunyai kelebihan masing-masing, yang saya tahu adalah apa yang saya rasakan. Dari pengalaman hidup saya, sebagai anak yang ditinggal orang tua sejak kecil dan harus bekerja sambil bersekolah sejak usia sekolah dasar, pastilah banyak sekali kejadian pahit getir pengalaman hidup dalam usaha menggapai cita-cita.
Dulu saya tidak pernah terpikir bisa bersekolah sampai program doktoral ke Tokyo, Jepang. Kesempatan untuk melanjutkan kuliah S1 adalah suatu hal yang mustahil bagi kondisi saya saat itu. Hidup mandiri saja tidaklah cukup untuk melewati berbagai ujian. Bermacam cara pun sudah dilakukan: Pendekatan kepada saudara yang dianggap mampu tapi mereka seolah-olah tidak mendengar, menuju ke tempat-tempat pendidikan agama (Madrasah-Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah) berharap bisa belajar dengan biaya yang terjangkau juga nihil, sampai mengajukan keringanan pendidikan ke pemerintah setempat pun tidak ada reaksi.
Sampai kemudian saya dipertemukan oleh orang-orang yang katanya kaum yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena orientasi seksualnya. Mereka adalah teman-teman saya dan mereka adalah LGBT. Justru merekalah yang mendorong saya untuk bersekolah kembali ketika saya sudah kehilangan asa dan harapan. Mencicil biaya pendidikan yang sudah dibayarkan terlebih dahulu dengan memotong gaji saya selama bekerja, adalah cara yang ditempuh untuk dapat menyelesaikan studi S1. Tidak mudah memang, apalagi saya juga harus membiayai sekolah adik bungsu, Tapi alhamdullilah kami berdua bisa menyelesaikan studi tepat waktu.
***
Setiap fase hidup selalu kami (saya dan keluarga) sukuri, apapun yang Tuhan berikan. Dan Tuhan turunkan rahmat-Nya melalui tangan-tangan mereka. Bahkan teman-teman LGBT saya masih memberikan dukungan sampai sekarang. Mereka mengulurkan tangan tanpa diminta ketika keluarga dan kerabat dekat berpura-pura tidak melihat. Mereka mendorong saya ketika semua birokrasi, instansi, dan lembaga menutup pintu. Teman-teman LGBT membesarkan hati dan memberikan semangat kepada saya ketika para pembesar–dengan berbagai seragam, pangkat dan jubah–malah meremehkan. Mereka melakukan semua tanpa pamrih, tanpa menuntut timbal balik, apalagi piagam. Kebaikan mereka cukup dibalas dengan kasih sayang kami sebagai penghargaan kepada sesama manusia. Bahkan, ini mereka lakukan bukan hanya kepada saya, tetapi kepada banyak generasi muda yang lelah di ujung asa. Teman-teman LGBT juga tidak pernah berusaha menarik saya dan teman-teman lain, untuk merubah orientasi kami. Kini saya dan teman-teman LGBT sudah bersahabat selama dua dasawarsa, dan saya yakin kami akan terus bersahabat.
Justru merekalah yang mendorong saya untuk bersekolah kembali ketika saya sudah kehilangan asa dan harapan.
Bisakah kita bekerja tanpa pamrih seperti mereka? Yang dari tangan-tangan mereka berapa puluh atau ratus orang, bisa makan dengan layak. Yang karena pembinaan dari mereka, banyak generasi terselamatkan pendidikannya, anak-anak jalanan dan seniman yang mendapatkan ruang berkarya. Dengan pembinaan dan pendidikan itulah banyak orang yang mampu untuk menafkahi keluarganya dengan layak, mengobati keluarga yang sakit, serta membahagiakan keluarga dengan kesederhanaan dan rasa sukur.
***
Masih teringat jelas dalam ingatan saya, kejadian gempa Jogja, di Sabtu pagi, 27 Mei 2006. Tiga jam pertama pasca-gempa, dengan menggunakan mobil dan disupiri seorang teman, kami melaju secepat mungkin ke rumah sahabat saya itu, berharap bantuan untuk menghubungkan kepada kenalan dokter atau fasilitas kesehatan karena banyak korban luka di daerah Imogiri. Saya meminta bantuan berupa selimut, obat-obatan, lampu darurat, terpal atau apa saja yang bisa berguna bagi korban gempa. Saat itu, di rumahnya sudah banyak wisatawan yang berkumpul dan mengungsi karena ketakutan berada di hotel yang sebagian roboh. Kebetulan sekali salah satu dari mereka adalah seorang dokter yang sedang berlibur bersama anak dan istrinya, dan mempunyai kebiasaan membawa peralatan bedah saat melakukan perjalanan. Dia bersedia membantu kami asalkan diijinkan membawa serta anak dan istrinya ke lokasi, karena dia tidak mau berpisah dengan keluarganya dalam kondisi darurat tersebut. Saya pun menyetujui, bahkan para wisman lain pun menawarkan diri menjadi relawan untuk membantu kami.
Teman-teman LGBT membesarkan hati dan memberikan semangat kepada saya ketika para pembesar–dengan berbagai seragam, pangkat dan jubah–malah meremehkan.
Jadilah semobil penuh sesak para wisman, ditambah lagi satu mobil menyusul, kami berangkat ke lokasi gempa. Mendengar ada dokter di lokasi kami, warga yang terluka pun berduyun-duyun berdatangan. Yang luka ringan ditangani relawan, yang terluka parah, bocor kepala, sobek kulit, sampai patah tulang ditangani oleh dokter.
Saya tidak ingat persis berapa orang yang kami tangani hari pertama itu, yang jelas, saat maghrib dan gelap tidak ada lampu, dokter mengoperasi menggunakan cahaya lampu senter. Malam itu, hujan turun sangat lebat. Kami semua tidak ada yang tidur. Potongan-potongan terpal yang dijadikan atap tidak cukup untuk kami semua. Air hujan pun tumpah ruah di sela-selanya. Keesokan harinya, bantuan dari teman-teman LGBT di Jakarta pun berdatangan. Dengan menggunakan mobil bak, mereka mengantarkan berbagai obat-obatan, selimut, dan terutama makanan. Area tenda kami termasuk beruntung, mempunyai dapur umum, dan tersedia cukup makanan untuk seluruh anggota di lokasi penampungan. Saat itu belum ada NGO yang beroperasi, bantuan pemerintah pun masih minim. Saat teman-teman LGBT Jogja dan Jakarta mengirimkan bantuan lagi, kami pun berinisiatif untuk membagikan dan mendistribusikan bantuan makanan sampai selimut ke pelosok-pelosok gunung. Lokasi-lokasi ini sama sekali belum tersentuh bantuan.
Teman-teman LGBT juga tidak pernah berusaha menarik saya dan teman-teman lain, untuk merubah orientasi kami.
Sebenarnya masih panjang lagi episode tentang emergency response pasca-gempa ini, mungkin terlalu panjang untuk ceritakan. Bayangkan, jika waktu itu, teman-teman LGBT ini tidak membantu saat emergency response, berapa nyawa lagi yang tidak tertolong akibat pendarahan dan luka tetanus yang tidak segera tertangani? Dari ratusan orang yang tertolong itu, salah satunya ada seorang anak yang kemudian tumbuh sehat, bersekolah menggapai cita-cita dan bisa membantu orang tua. Jika ada seorang bapak yang terselamatkan karena bantuan teman-teman LGBT, dia bisa sembuh, kemudian bekerja kembali untuk menghidupi keluarga. Jika ia seorang ibu, dia bisa sehat kembali dan mengurus keluarga sehingga anak-anaknya tidak terbengkalai pendidikannya, dan seterusnya. Andaikan dibuat testimoni, mungkin ratusan bahkan ribuan rangkaian kebaikan yang sudah dibuat. Rantai amal jariah inilah yang tidak berhenti mengalir kepada mereka yang dicap sebagai kaum yang “dinistakan”.
Saat teman-teman LGBT Jogja dan Jakarta mengirimkan bantuan lagi, kami pun berinisiatif untuk membagikan dan mendistribusikan bantuan makanan sampai selimut ke pelosok-pelosok gunung.
Biasakah kita sejenak melepaskan segala atribut di badan kita? Dan hanya meletakkan tubuh ini sejajar sebagai sesama manusia? Bisakah kita membedakan, bahwa antara penjahat dan LGBT tidaklah sama? Tentu saja kita harus menjaga, mendidik dan melindungi keluarga kita dari segala kejahatan dan berlaku sesuai norma-norma yang kita anut.
Pasti akan ada segelintir LGBT yang melakukan kejahatan, seperti halnya lebih banyak juga heteroseksual melakukan kejahatan. Kejahatan bisa datang dari mana saja, bukan karena disebabkan komunitas LGBT. Kejahatan tetaplah kejahatan, walau pelakunya menggenggam tasbih atau rosario.
Bisakah kita, yang katanya lebih beriman dari LGBT, membuka mata dan hati, meringankan langkah, mengulurkan tangan, ketika banyak permasalahan sosial terjadi di sekitar kita? Tanpa alasan lelah dan sibuk mengejar karir dan pemenuhan kebutuhan pribadi, yang tidak ada skala nya? Kemudian memakai jurus memakai kacamata kuda dan berpura-pura lupa.
***
Sekali lagi saya tidak berhak menghakimi manusia lain. Yang saya tahu, setiap manusia yang berbudi-luhur menebarkan kebaikan akan memberikan manfaat bagi orang banyak. Setiap manusia bisa menjadi manusia yang berbudi luhur, apa pun agama, ras dan orientasi seksualnya. Teman-teman LGBT saya adalah manusia-manusia yang saya sayangi, sebagaimana Tuhan yang Maha Penyayang memberikan kasih-Nya kepada saya melalui perantara mereka.
Pasti akan ada segelintir LGBT yang melakukan kejahatan, seperti halnya lebih banyak juga heteroseksual melakukan kejahatan
Saya bukanlah orang suci, saya tidak berhak menghakimi, Karena saya belum tentu lebih baik dari mereka.
***
Teruntuk: teman-teman (LGBT) saya di Jogjakarta dan Jakarta, terimakasih untuk cinta kalian kepada kami–kepada sesama manusia–kepada kemanusiaan. Saya yakin Tuhan saya mempunyai timbangan yang lebih adil, untuk meletakkan setiap biji zarah kebaikan yang kalian tanam. And for a very good friend of mine, Mie, who inspires me and people around her.
***
Nurjanah lahir pada 25 Juni 1975. Ia menamatkan kuliah sarjana di Universitas Janabadra Yogyakarta, lalu menamatkan pendidikan magister di Universitas Syiah Kuala Aceh, dan kini sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Tokyo Metropolitan University, Jepang. Saat ini, wanita penggemar tokoh Cak Nun dan mengidolakan Nabi Muhammad ini tercatat sebagai anggota Humanitarian OpenStreetMap Team, sebuah organisasi internasional untuk penanganan bencana alam dan krisis. Korespondensi dengan Nurjanah dapat melalui e-mail contact@melela.org dengan judul “OUR STORY:Nurjanah”
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
6 Responses to “Nurjanah, “LGBT Menyelamatkan Pendidikanku””
February 6, 2016
Cecepsaya sampai berkaca2 membaca ini.
February 21, 2016
YudhiCeritanya indah sekali. Saya sampe terharu membacanya.
Terima kasih sudah berbagi pengalamannya, semoga studi Sdri Nurjanah lancar sampai akhir, dan makin banyak orang berpikiran terbuka dan progresif seperti beliau. 🙂
February 22, 2016
Dickyluar biasa…. salut (y)
February 22, 2016
daltonmerinding ..haru…hingga berkaca kaca.tulisan nya jujur dan tulus.
February 23, 2016
nielabener mba kaum LGBT itu bukan teroris,kaum LGBT itu gak semua propaganda kok,ini kan hal pribadi seseorang gak merugikan negara sama skali.
January 24, 2020
DwiSaya pernah mengalami hal yg sama dg situasi itu mbak Nur, bersinggungan dg teman2 LGBT di masa2 perjuangan hidup di perantauan.Ahhh melo bgt kalau ingat jaman di Prawirotaman Yogyakarta.Saya bangga melihat mbak Nur yg tambah sukses di negeri sakura.Peluk jauh