Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mendukung LGBT di Indonesia. Alasannya ada beberapa. Pertama, saya percaya akan kesetaraan manusia di mata hukum dan di mata manusia lain. Manusia sebaiknya diperlakukan dengan rasa hormat yang sama, terlepas dari apa agama, ras, dan orientasi seksualnya. Mereka berhak atas rasa aman dan hidup bebas dari rasa takut, apalagi intimidasi dari aparat pemerintah yang didasari oleh ketakutan tidak beralasan dan kebodohan.
Alasan kedua mudah saja. Karena saya lebih senang melihat orang bahagia daripada hidup penuh dengan ketakutan. Senyum manusia lebih baik dari wajah muram penuh dengan kesedihan. Penerimaan kepada kelompok minoritas rentan yang mudah disalahartikan adalah penting untuk kebahagiaan mereka. Ini mungkin pernyataan yang kurang populer, tetapi tidak semua kebenaran itu harus mendulang pamor di masyarakat umum.
Mereka berhak atas rasa aman dan hidup bebas dari rasa takut, apalagi intimidasi dari aparat pemerintah.
Membina hubungan baik dengan LGBT membuat saya menyadari bahwa kebahagiaan adalah sebuah hal yang sangat subjektif. Apa yang membuat saya bahagia, bukan berarti sama dengan kebahagian teman-teman lesbian, gay, dan transgender saya. Saya jadi sadar bahwa kebahagian itu punya banyak bentuk dan rupa.
Oleh karena itu, saya sangat menyayangkan mereka yang menutup pintu bagi teman-teman minoritas. Apalagi mengajak orang-orang untuk memusuhi LGBT tanpa memiliki pengalaman dan informasi yang lengkap tentang mereka.
Banyak orang yang kurang nyaman bergaul dengan LGBT karena takut ditaksir dan mereka tidak tahu cara menanganinya gimana. Jadi, artinya, masalahnya ada di mereka, bukan di LGBT. Buat saya, biasakan adil dari awal. Misalnya, saya bisa berteman baik dengan teman-teman lesbian saya karena dari awal saya sudah menyampaikan siapa saya dan apabila ada hal lain muncul di antara kami, langkah apa yang akan diambil. Ketika ada hal-hal yang tidak nyaman buat saya juga langsung saya sampaikan baik-baik saat itu juga. Tidak perlu menunggu, apalagi membicarakan mereka di belakang.
Ini mungkin pernyataan yang kurang populer, tetapi tidak semua kebenaran itu harus mendulang pamor di masyarakat umum.
Saya juga nyaman berteman dengan teman-teman gay. Mereka lucu dan penuh dengan tawa. Ada yang pintar, tetapi ada juga yang terkadang bikin saya gemas. Buat saya, gay yang sehat adalah mereka yang sudah terpapar informasi seksualitas dan identitas gender. Dengan begitu mereka bisa dengan nyaman bicara tentang seksualitas tanpa terkesan vulgar dan porno.
Ada suatu ketika kami membicarakan penis. Saya kaget setengah mati ketika ada gay yang menganggap enteng masalah penis. Saya menganggap ukuran dan kekerasan adalah sama pentingnya. Ternyata ada gay yang tidak terlalu mempermasalahkan ini karena gaya bercinta mereka tidak harus sama dengan saya.
Banyak orang yang kurang nyaman bergaul dengan LGBT karena takut ditaksir dan mereka tidak tahu cara menanganinya gimana.
Saya masih ingat obrolan dengan salah satu teman gay yang kebetulan zodiaknya sama dengan saya: Cancer. Kami bersepakat kalau penis orang Palembang, orang Dayak, dan orang Batak adalah bentuk kearifan lokal yang layak dibanggakan. Menurut saya, terdapat hubungan antara budaya lokal seseorang dengan gaya memperlakukan pasangan di ruang tertutup. Orang Manado unggul masalah stamina. Orang Sunda, Padang, dan Betawi agak mirip tetapi saya enggan menyebutkan mana yang lebih baik di sini. Percakapan-percakapan ini adalah percakapan yang mungkin hanya bisa dibicarakan kepada teman gay saya yang sudah terpapar informasi tentang seksualitas sehingga bisa membicarakan hal-hal yang dianggap tabu dengan rasional, penuh wawasan, bahkan terkadang bisa jadi jenaka. Apabila saya membicarakan ini ke teman-teman saya yang masih awam memandang seksualitas dan kegiatan seksual, saya khawatir penghakiman yang akan muncul dari mereka.
***
Lentisa Soraya Martodihardjo lahir pada tanggal 15 Juli 1984. Setelah lulus dari SMA 62 Jakarta Timur, ia diterima di dua universitas negeri tetapi lebih memilih meneruskan pendidikan di FISIP Universitas Indonesia, jurusan Ilmu Komunikasi Politik. Namun, ternyata kuliah di Universitas Indonesia tidak menyenangkan untuknya. Ia kemudian pindah dan meneruskan ilmu akutansi di Universitas Gunadarma. Lenti–begitu ia dipanggil oleh para temannya–menguasai alat musik gitar dan piano. Ia sempat membentuk kelompok musik pada tahun 2007 dan kini beberapa kali tampil untuk acara pernikahan.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
One Response to “Lenti dan Kearifan Lokal khas Indonesia”
July 5, 2019
Hidayat Nur WahidAku minta tanda tamgan di bukumu dong, aku fans beratmu sejak 1998