Nama saya Budi. Saya sekarang berusia 29 tahun dan berasal dari Jakarta. Saya anak ketiga dari empat bersaudara. Keluarga kami utuh dan saling mencintai satu sama lain. Sejak kecil saya menyadari perbedaan saya dari teman-teman sebaya, dan sejak kecil pula saya mulai jatuh hati. Pada awalnya semua tak terasa salah.
Namun seiring dengan perkembangan, saya mulai tidak bisa menerima diri saya sendiri. Tidak banyak contoh positif yang tampil di media massa. Orang-orang seperti saya sering dicemooh dan dikucilkan.
Orang-orang seperti saya sering dicemooh dan dikucilkan
Semasa belajar di tingkat SLTP dan SMU, setiap naik kelas saya menetapkan tenggat waktu untuk berhenti tertarik dengan teman-teman laki-laki. Namun ini berujung tanpa hasil berulang kali. Saya selalu berusaha untuk berprestasi di bidang akademis. Saya berharap prestasi saya dapat mengimbangi diskriminasi yang mungkin akan saya hadapi. Selepas tamat SMU, saya meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
***
Ketika usia 20 tahun, saya melanjutkan pendidikan ke Melbourne. Ketika di sanalah saya menonton film dokumenter mengenai pasangan seperti saya dari yang mendapatkan anak melalui pelayanan kelahiran surogasi di Amerika Serikat. Hati saya bergejolak. Ini adalah hal yang selalu saya dambakan. Saya ingin berkeluarga dan saya ingin berpasangan dengan seorang pria. Saya tak sanggup merasa bersalah kalau ada perempuan yang menikah dengan saya dan lalu merasa diperdaya.
Akhirnya saya melela ke teman terdekat saya yang perempuan. Dia bukan pacar saya, namun kami cukup dekat. Saya sayang kalau dia melewatkan kesempatan untuk dekat dengan pria lain untuk berpasangan, jika dia tidak mengetahui jati diri saya. Pengakuan saya mengejutkan dia. Namun dia mendukung saya dan sejak saat itu menjadi teman yang paling dekat semasa kuliah.
***
Saya beruntung mendapat pekerjaan yang mapan di Melbourne seusai kuliah. Dengan begitu, saya tidak terlalu bergantung pada orangtua untuk urusan finansial. Saya lalu bertekad untuk melela ke keluarga sebelum naik usia 25 tahun. Alasan utama saya atas tekad ini adalah saya tidak ingin terus menerus menutup diri dari keluarga yang saya cintai. Jika saya ingin benar-benar dekat dengan keluarga saya, mereka layak mengenal jati diri saya yang seutuhnya, termasuk mengenai pasangan hidup yang suatu saat akan saya bawa menjadi bagian keluarga besar.
Saya tak sanggup merasa bersalah kalau ada perempuan yang menikah dengan saya dan lalu merasa diperdaya
Dengan adanya tenggat waktu, saya tidak selalu menunda atau bahkan menghindari pengakuan ini. Saya berharap bahwa pada usia 25 tahun, orangtua saya akan memandang saya sebagai orang dewasa setara yang mampu menentukan jalan hidup yang terbaik.
Saya mendapatkan saran untuk melela satu per satu. Dengan demikian, saya bisa melihat reaksi yang lebih terbuka dari setiap orang, dibanding dengan melela ke beberapa orang sekaligus. Inilah mengapa saya melela ke anggota keluarga saya satu per satu.
***
Adik saya adalah anggota keluarga pertama yang saya ceritakan mengenai hal ini. Ia sedang mengunjungi saya di Melbourne untuk mempertimbangkan tempat menempuh pendidikan tingkat tinggi. Saya ingin adik saya mengetahui identitas saya sebelum memutuskan untuk kuliah dan tinggal bersama saya di Melbourne.
Suatu sore, saya bertanya, “De, bagaimana kalau aku menikah di Australia?”
“Gak masalah.”
“Bagaimana kalau aku menikah dengan orang Australia?”
“Gak masalah, asal jangan dengan sesama laki-laki.”
Dan saya terdiam.
Menyadari hal itu, adik saya melanjutkan; “Soalnya nanti aku gak dapet keponakan dari kamu”.
“Tapi kan aku bisa adopsi atau surogasi”.
Melalui percakapan itu, saya menyampaikan bahwa ada beberapa cara bagi orang-orang seperti saya untuk mendapatkan anak. Saya pun ingin memiliki keluarga seperti orangtua kami, walaupun berbeda, dan mungkin harus menetap jauh dari tanah air di mana keluarga besar saya berada.
Keesokan paginya hubungan kami berjalan seperti biasa. Menurutnya, hal ini tidak merubah persaudaraan kita, dan dia ingin keluarga kita dekat satu sama lain. Ia pun mengatakan kepada orangtua kami untuk meneruskan pendidikan dan tinggal bersama saya di Melbourne.
***
Melela kepada mama lebih rumit daripada melela ke adik saya. Kami datang dari generasi yang bebeda, dengan akses informasi dan media yang berbeda. Generasi saya mendapat akses informasi dari sumber yang lebih beragam dari generasi sebelumnya. Perbedaan ini mempengaruhi kesenjangan dalam pemikiran dan pandangan dunia.
Saya mendapatkan saran untuk melela satu per satu.
Di televisi Indonesia, masih jarang ada pencitraan positif orang-orang seperti saya. Kalaupun ada, kebanyakan contohnya bersifat negatif. Di program hiburan, pria gay yang feminin dijadikan bahan tertawaan dan dicibir. Di program berita, kaum gay yang diliput adalah kriminal yang berbahaya. Masih sulit menemukan citra positif dan berimbang di media massa tradisional Indonesia, seperti televisi, misalnya.
***
Saya memiliki DVD serial TV “Modern Family”. Kisah ini menggambarkan sebuah keluarga besar yang dekat walaupun masing-masing keluarga memiliki bentuk yang berbeda. Salah satu bagian keluarga besar itu adalah pasangan gay yang mengadopsi anak, yang diterima oleh keluarga besarnya. Inilah bentuk keluarga besar yang saya inginkan untuk keluarga besar saya nantinya.
Sewaktu Mama mengunjungi saya dan adik di Melbourne untuk beberapa bulan, saya memutar serial “Modern Family” dan nonton bersamanya. Saya ingin melihat pandangan Mama mengenai keluarga besar yang mencakup sepasang pria gay dan anak adopsi, seperti yang diceritakan dalam serial itu.
Mama sempat berkata “Wah! Memang kiamat sudah dekat. Semakin banyak orang yang gay”, tetapi ia tetap menonton serial tersebut sampai selesai.
Ungkapan Mama sempat membuat saya khawatir. Saya ingin menjelaskan bahwa orang-orang seperti saya sudah selalu ada sejak dulu, namun saat ini kita hidup di jaman yang lebih maju. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan contoh jalan hidup yang berbeda yang sebelumnya tidak terangkat untuk tampil ke permukaan.
Di televisi Indonesia, masih jarang ada pencitraan positif orang-orang seperti saya.
Di kesempatan yang berbeda, saya menunjukan Mama album foto sepasang teman gay saya asal Singapura yang melakukan upacara komitmen di Melbourne, setelah 9 tahun berpasangan. Saya lalu mengatakan kepada Mama bahwa hal seperti itulah yang saya inginkan untuk masa depan saya.
Mama hanya terdiam.
Lalu Mama melayangkan perhatiannya ke televisi dan membesarkan volume suara.
Saya khawatir dengan perasaan Mama.
Kami sempat terdiam beberapa saat sampai akhirnya saya memberanikan bertanya.
“Mama, are you okay?” tanya saya.
“How can I be okay after what you have just said to me?” jawab Mama. Setelah itu Mama mematikan televisi dan sujud berdoa di kamar.
Hari-hari berikutnya, Mama tidak banyak berbicara kepada saya. Saya pun membiarkan mama karena berpikir mungkin ini yang terbaik buat mama saat ini. Mungkin Mama perlu waktu untuk bisa memproses informasi ini. Saya hanya berharap Mama bisa segera menerima kenyataan diri saya, dan tetap mencintai saya.
***
Beberapa hari kemudian, Papa datang ke Melbourne mengunjungi kami. Kita juga mengikuti ajang lari Melbourne Marathon, yang kebetulan diadakan tepat satu hari sebelum hari ulang tahun saya. Saya terus berpikir dan membulatkan tekad untuk melela ke Papa sepanjang berlari 42.2 kilometer itu. Papa juga ikut berlari di jarak setengah maraton 21.1 kilometer.
Sore itu, setelah lari maraton, saya terbangun dari istirahat di sofa. Papa sedang menonton televisi. Saya masih kesulitan untuk memulai melela ke Papa. Serial “Modern Family” sedang disiarkan jam 7:30, lalu diikuti serial “The New Normal”, yang juga menceritakan kehidupan pasangan gay, pada jam 8 malam. Tinggal 4 jam lagi sebelum ulangtahun saya yang ke-25. Semuanya bagaikan petunjuk bahwa inilah saat yang tepat.
Namun saya masih kesulitan, apalagi reaksi Mama sebelumnya tidak terlalu positif.
Lalu Papa memulai, “Kamu kenapa masih belum mau pulang ke Indonesia? Di sana, bisa buka usaha sama Papa, dan biaya hidup juga lebih terjangkau.”
“Pa, aku juga mau suatu saat berkeluarga.”
“Berkeluarga juga di sana lebih mudah.”
“Bukan begitu, Pa.”
“Kecuali kamu suka kerja di sini dan kamu ada alasan lain”
“Pa, aku ingin berkeluarga dan bisanya di sini. Aku gay…”
Saya memperhatikan reaksinya. Rasanya Mama sudah memberitahukan terlebih dahulu karena Papa tidak nampak terkejut dengan apa yang saya katakan.
“Kamu tahunya bagaimana?”
“Yah, sebagai laki-laki sih gampang tahunya. Kan tandanya jelas.”
“Kamu tahu sejak kapan?”
“Sejak kecil memang sudah begitu, Pa. Dari remaja juga tertariknya sama laki-laki dan nggak sama perempuan.”
“Masih bisa berubah, nggak?”
“Nggak bisa Pa. Udah coba usaha lebih dari 10 tahun. Kalaupun bisa, lalu menikah dengan perempuan, kasihan perempuannya, Pa.”
“Yaudah. Ini kan bukan kamu juga yang pilih.”
Saya terdiam.
“Papa cuma mau kamu hidup bahagia. Cocok sama pasangan. Jangan salah pilih. Jangan sampai dapat yang kasar atau jahat ke kamu.”
Setelah itu, Papa banyak bertanya mengenai pengalamanku. Aku belum pernah berhubungan dengan laki-laki sebelum itu walaupun ketertarikanku jelas orientasinya.
Lalu aku bertanya, “Pa, Papa kan pengusaha, dan Papa bekerja dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Bagaimana perasaan Papa kalau semua orang tahu anak Papa gay?”
Papa mejawab, “Yah, Papa sudah umur 62 tahun. Mungkin hidup tinggal 15 tahun lagi. Kalau kuat 20 tahun lagi. Papa nggak akan bawa nama atau harta ke kubur. Papa cuma mau dekat dengan keluarga, dan Papa bahagia kamu bisa curhat sama Papa.”
Saya sangat terharu dengan jawaban Papa. Papa memprioritaskan kedekatan hubungan keluarga di atas apa yang mungkin orang lain pikirkan.
“Asal jangan kena narkoba”, tambah Papa.
Dan saya tertawa setelah sebelumnya berlinang air mata.
“Tenang aja, Pa. Nggak bakal ikut-ikutan narkoba.”
***
Setelah melela kepada orangtua saya, saya merasa lega sekali. Hubungan dengan keluarga saya lebih jujur. Saya tidak takut tidak dianggap anak lagi. Kalaupun ada perubahan, hubungan saya menjadi lebih dekat dengan keluarga. Hubungan saya dengan mereka membuat saya lebih bertanggungjawab akan hidup saya.
Menyadari bahwa representasi positif LGBT di media Indonesia masih minim, saya memutuskan untuk mewakili Indonesia di ajang Mr Gay World 2017. Ajang ini adalah kesempatan untuk menambah contoh positif dan berimbang agar kaum gay muda di Indonesia dapat lebih mudah menerima dirinya sendiri dan memaksimalkan potensi diri mereka.
Setelah melela kepada orangtua saya, saya merasa lega sekali.
Saya bukanlah manusia sempurna, namun berjati diri seorang gay bukanlah suatu kecacatan. Pencitraan positif kelompok minoritas gay dari Indonesia juga bukanlah suatu hal yang bisa saya emban seorang diri. Karena itu, saya ingin juga menggunakan kesempatan ini untuk berterimakasih dan menampilkan tokoh-tokoh positif lainnya yang telah berjuang di Indonesia.
Saya juga ingin meneruskan kesempatan ini untuk perwakilan dari Indonesia pada ajang Mr Gay World tahun berikutnya. Hubungi saya di laman Facebook untuk informasi lebih lanjut.
Mohon dukung saya melalui voting. Anda bisa memasukan satu pilihan kepada kontestan yang anda dukung setiap 24 jam sekali. Terima kasih.
***
Budi Alamsyah lahir di Jakarta tahun 1987. Saat ini ia bekerja sebagai analis di sebuah perusahaan asuransi di London. Ia menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan predikat cum laude dan melanjutkan ke University of Melbourne jurusan Akutansi dan Keuangan. Sapa pria yang gemar berlari maraton ini di Facebook Fanpage-nya.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi. Informasi yang disediakan di halaman ini gratis tetapi terdapat layanan berbayar jika Anda membutuhkan bantuan lebih lanjut.
13 Responses to “Kisah Melela Budi, Perwakilan Indonesia di Mr. Gay World 2017”
May 5, 2017
Frengky Francisco GantareSaya seorang gay, tapi saya tidak tahu cara melela sama keluarga saya apa lagi sama orang tua saya. Soalnya mama papa saya sangat keras dalam mendidik saya dan saudara2 saya. Mohon saran buat dari teman2 semua. Terima kasih, Thank you so much
May 7, 2017
AdminHi Frengky Francisco Gantare, terima kasih atas komennya. Tujuan melela adalah menjalani hidup yang lebih bahagia, tetapi, melela adalah pilihan. Tidak semua LGBT harus melela untuk menjalani hidup yang bahagia. Melela.org tidak menyarankan seseorang melela sebelum dirinya benar-benar siap, tetapi kami menyediakan beberapa langkah-langkah praktis melela yang bisa kamu dapatkan di halaman FAQ yang terdapat di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Atau kamu bisa klik http://melela.org/faq/ Salam.
May 29, 2017
Andy wijayaapakah kalau ada acara bisa undang saya karena saya ingin lebih mengetahui lebih dalam mengenai LGBT terima kasih sebelumnya
May 18, 2017
BablofilThanks, great article.
May 23, 2017
Yudfacebook kk apa ?
aku mau tanya2…
July 14, 2017
AnonymousKadang gw bingung, gimana ya punya temen yg sama spt kita? Apa mungkin belum ketemu aja kali ya sayanya. Jujur aja saya msh sma & di lingkungan yg mungkin kalau tau ada seorang gay di sekitarnya bakal dijauhi. Bingung aja sih, kadang merasa kesepian kalau mau cerita ke siapa. Di mall sih liat2 org yang kayak saya banyak, mau menyapa malu. Hehe. Kdg sedih harus bertingkah seperti cowok normal padahal.. tau sendirilah.
October 24, 2017
RyanI’m gay too.. Ortu jg udah tau i’m gay waktu aq kecelakaan gara-gara putus sama mantan.. Gak tau kenapa tiba-tiba aq melela n ngomong begitu aja.. Shock pasti tapi ortuku gak marah, gak ngusir, n gak membeda-bedakan anaknya.. Cuman lebih protektif sedikit iya.. terkadang sih masih suka bilang “kalau bisa, berusaha untuk berubah lah”..
November 19, 2017
Amsterdammers ^^vHi Budi.
We met once in Amsterdam when we viewed a similar house in Zuid-Oost. Proud of you! And good luck with your work. I am of course still around Amsterdam, would be happy to have a coffee with you.
December 6, 2017
JatiSemangat ya, Kak Budi. Kamu memang luar biasa. \(^o^)/
January 24, 2018
RAMterlahir di keluarga yang agamanya kental membuat saya tidak memiliki keberanian untuk bercerita kepada keluarga, apalagi orang tua. Mungkin hidup saya akan terus begini, mati dengan rasa kesepian. Jujur pada diri sendiri saja tidak bisa.
June 30, 2018
GoodpeopleSama, w bingung mau gimana kalo udah kaya gini. Keluarga w mendidik keras, apalagi w hampir ketauan kalo w orientasinya berbeda sampe ngerasa kaya dikucilkan dari teman sekelas
December 27, 2019
AnonymousKo budi boleh minta kontak nya ? Ada beberapa hal yg mau saya tanya..
January 7, 2020
Melela.orgHi Anonymous,
Kamu bisa mengirim emai ke kami lalu kami teruskan ke Budi ya. Alamat email kami ada di halaman berikut: https://melela.org/share-your-story/
Terima kasih
Admin.