Semenjak masih ada di bangku taman kanak-kanak, saya memiliki komposisi teman yang seimbang antara laki-laki maupun perempuan. Saya bermain apa saja dengan mereka, dari mulai olahraga dengan teman pria, sampai bermain karet dengan sahabat perempuan. Saya tidak bisa dikatakan hanya bermain dengan teman perempuan saja di sekolah. Namun saat duduk di bangku SD saya dipertemukan dengan seorang wali kelas yang membuat saya betah memandangnya lebih lama dibanding guru lain. Ia baik dengan murid-murid, sabar, dan ketika ia tersenyum bisa membuat saya ikutan tersenyum juga.
Ketika beranjak dewasa, saya lumayan aktif membaca forum-forum internet mengenai orang-orang dengan kecenderungan sama seperti saya. Mungkin mirip seperti Kaskus, tetapi forum ini khusus membahas seluk-beluk kehidupan dari kacamata kelompok minoritas seperti saya; dari mulai membahas budaya pop, fashion, apa yang lagi trend, sampai kumpulan cerita pendek dan tip pacaran sehat juga ada di sana. Di forum seperti inilah saya bisa mendapatkan informasi jujur, tanpa harus ditutup-tutupi, tentang orang-orang seperti saya yang tidak mungkin didapatkan di saluran media-media kanon.
Semenjak masih ada di bangku taman kanak-kanak, saya memiliki komposisi teman yang seimbang antara laki-laki maupun perempuan
Sayangnya, konten LGBT di media-media kanon seringkali dibuat seperti skandal. Padahal jika pelakunya diganti antara pasangan laki-laki dan perempuan, harusnya menjadi konten yang biasa saja. Apa yang kami lakukan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pasangan laki-laki dan perempuan. Mungkin unsur sensasi yang kerap dilekatkan pada orang seperti saya dilakukan oleh media untuk kepentingan bisnis. Berita-berita sensasional yang sesuai, bahkan memperkuat persepsi dan stigma masyarakat awam terhadap kelompok minoritas lebih digemari dibanding konten yang menyajikan fakta sebaliknya. Media yang harusnya memberikan pencerahan malah memberikan apa yang orang awam ingin dengar, dengan konsekuensi menciptakan kebencian dan jurang antara masyarakat minoritas dengan kelompok lainnya. Konten yang digemari dan memancing emosi, dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga diperbincangkan, diakses, dan diklik yang kemudian datanya diberikan kepada pengiklan dengan klaim “Berita kami berdampak di masyarakat.” Dengan begitu iklan mengalir deras, wartawannya dapat gajian tiap bulan dan pemimpin redaksinya bisa jalan-jalan ke luar negeri.
Untungnya sekarang kita hidup di dunia yang tidak hanya mengandalkan media kanon. Masih ada media digital yang menjanjikan segudang informasi lain yang dapat memberi manfaat apabila kita tahu gimana dan di mana mencarinya. Forum diskusi yang saya sempat singgung di atas membantu saya memahami siapa saya, bagaimana menjalani hidup yang sehat di tengah pemahaman masyarakat yang awam tentang orang-orang seperti saya, dan yang paling penting forum diskusi membuat saya merasa saya tidak sendirian. Buat saya yang tidak suka bergaul, bahkan cendrung canggung bila berada di keramaian, saya bisa langsung membaca untaian konten di forum tersebut. Tanpa harus mengenal nama asli dan wajah mereka, saya menikmati tulisan, pendapat, dan keberadaan mereka dapat saya rasakan. Dalam forum ini pun saya menemukan kekasih pertama saya. Seorang laki-laki yang saya sukai pada 2013.
Forum yang saya ikuti secara berkala kerap menyelenggarakan pertemuan offline, namanya “Boyz Gathering”. Pertemuan bisa berupa berkunjung ke museum, ngopi-ngopi sore, makan di Jalan Sabang, atau piknik di Monas yang diikuti 30 sampai 50 orang. Di situlah kami bisa bertemu dengan sosok-sosok di belakang tulisan yang kerap kami baca di forum tersebut. Ada salah satu peserta acara yang menarik perhatian saya. Usianya hanya terpaut beberapa tahun di atas saya. Wajahnya lucu, nggak harus berotot tapi berpotensi menjadi atletis saat itu.
Saya bermain apa saja dengan mereka, dari mulai olahraga dengan teman pria, sampai bermain karet dengan sahabat perempuan.
Saat itu kami mencari lokasi salat di Masjid Istiqlal dan itulah awal mula kedekatan kami. Di pertemuan-pertemuan selanjutnya kami semakin dekat dan di saat yang tidak saya sangka, di rumah teman kami, saat berduaan, sedang ngobrol ngalor-ngidul, eh, ciuman pertama saya terjadi dengannya. Semenjak saat itu kita seakan resmi menjadi sepasang kekasih.
Usia hubungan kami kira-kira berjalan satu tahun. Tidak lama, tetapi tidak juga sebentar. Kalau ditanya kenapa putus, mungkin karena situasi hubungan kami yang menjadi sulit untuk bertemu. Sampai saat ini hubungan kita baik sebagai teman. Masih suka ngobrol singkat di media sosial tentang kehidupan saya dan dia yang seorang guru matematika.
Hubungan saya dengannyalah yang meyakinkan diri saya untuk membuka diri dengan orang lain. Pertama kali saya melela dan mengenalkan kekasih saya adalah kepada sahabat saya semenjak SMA. Ia teman perempuan saya yang sangat dekat dengan saya. Tidak sulit untuk membuka diri kepadanya. Mungkin, saya merasa ia sebenarnya juga sudah mengetahui jati diri saya yang sebenarnya. Dan benar saja, ketika pertama kali membuka diri saya kepadanya, ia tidak begitu kaget.
Kalau keluarga, situasi melela saya agak lebih sulit. Jujur saja, saya tidak bisa langsung berbicara kepada mereka bahwa saya berbeda. Rangkaian pemahaman keluarga saya terhadap jati diri saya bermula dari serangkaian insiden yang terjadi di rumah. Misalnya, saya biasa berkomunikasi dengan pacar melalui Blackberry Messanger. Percakapan kami cukup mesra seperti layaknya kekasih. Namun, ketika saya tertidur, abang saya membacanya dan memberitahu kedua orangtua saya.
Tidak lama kemudian kekasih saya mendadak ditelepon oleh keluarga saya, tetapi untung panggilan itu tidak dijawab. Sahabat saya pun juga ikutan dihubungi untuk ditanyakan perihal saya dan untungnya tidak dijawab pula. Mengetahui hal ini saya sudah merasa ada sesuatu yang terjadi di keluarga saya. Jika ini tentang jati diri saya mengapa keluaga saya tidak langsung menanyakannya kepada saya? Namun, saya tidak marah dan tidak menyalahkan keluarga saya atas apa yang mereka lakukan saat itu. Mungkin mereka hanya melakukan hal yang menurut mereka benar dan ingin memastikan kebenarannya sebelum bertanya kepada saya.
Saat itu kami mencari lokasi salat di Masjid Istiqlal dan itulah awal mula kedekatan kami. Di pertemuan-pertemuan selanjutnya kami semkin dekat […]
Dan benar saja, suatu ketika saya pulang kantor dan tiba-tiba keluarga saya sudah berkumpul lengkap bersama dua saudara saya. Saya tiga bersaudara, lelaki semua, dan saya anak terakhir. Di situlah pecah emosi mereka. Orangtua saya menangis dan mempertanyakan tentang jati diri saya. Saat itu saya hanya bisa diam. Saya tidak menyangkal tetapi tidak juga mengiyakan. Saya hanya membeku dan menunduk. Ibu saya yang saya kira mampu membantu saya di depan keluarga saya ternyata tidak melakukannya. Ayah sempat membuat saya bersumpah secara agama Islam. Saya melakukannya agar ini semua cepat berlalu dan memaafkan semuanya, termasuk diri saya sendiri.
Beberapa hari setelahnya saya menceritakan kejadian yang menimpa saya kepada organisasi Our Voice atau kini berganti nama menjadi Suara Kita yang kerap memberikan bantuan kepada komunitas LGBTIQ+ sejak 2007. Di situlah saya bertemu dengan Teguh yang banyak membantu saya mengenai bagaimana menghadapi situasi saya.
Setelah dan sebelum melela adalah dua kehidupan yang berbeda. Setelah melela saya merasa lebih damai. Tidak harus berpura-pura lagi dan tidak harus membohongi diri saya sendiri. Rasanya lega dan apabila masyarakat bisa membuka hati mereka terhadap orang-orang dengan selera yang berbeda, apa yang saya rasakan ini indah dan tidak merugikan orang lain. Tentu saja ada satu atau dua orang yang tiba-tiba memberikan saya ceramah keagamaan—yang menurut saya malah menjauhkan saya dengan agama saya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, saya semakin terlatih untuk menghadapi orang-orang seperti ini tanpa harus melawan balik dan menjadi benar dengan menyalahkan orang lain.
Denny Faj lahir pada 5 Februari 1992 di Jakarta. Ia menamatkan bangku sekolah di SMA 23 Tomang Jakarta Barat jurusan IPS, “Kalau ada jurusan bahasa mungkin bakal milih bahasa,” katanya. Selepas lulus SMA, ia meneruskan pendidikan IT di salah satu perguruan tinggi swasta. Namun, kecintaannya pada dunia olahraga membuatnya meninggalkan pekerjaan perkantoran di bidang IT dan fokus menjadi pelatih olahraga. Saat ini ia aktif menjadi pelatih lari dan instruktur olahraga STRONG Nation. Ia pun telah mendapatkan sertifikasi untuk melatih olahraga HIIT (High Intensity Interval Training). Di waktu luang, ia gemar menghabiskan waktu menjelajah kafe-kafe penjaja kopi sambil membuka laptop dan mencari inspirasi, “Kopi Tuku kopinya enak, manis, dan lembut; kalau pun Starbucks sukanya Java Chip Coffee. Djournal Coffee juga tempatnya enak, kalau kopinya, Batavia Coffee saya suka,” ujar pemenang Jakarta Marathon 5K 2017 ini. Sapa Denny di akun X @Dennyours.
No Responses to “Kisah Cinta Pertama Denny dan Memaafkan Keluarga”