Masa kecil saya dihabiskan di kota Jember, Jawa Timur. Di kota kecil ini, sudah ada pengamen-pengamen transgender yang mencari nafkah dengan bernyanyi keliling kota. Saya kerap melihat mereka berjalan melintasi satu gang di daerah padat penduduk, atau bernyanyi di pinggir jalan, lalu mengetuk pintu rumah warga dengan harapan menghibur dan mendapatkan sedikit uang untuk menyambung hidup.
Tidak jarang saya melihat mereka digoda oleh sekelompok anak-anak yang mengikuti langkah mereka, bertepuk tangan, menyorak-suarakan “Bencong… bencong…” tetapi para pengamen itu terus berjalan.
Kekerasan fisik dan intimidasi langsung yang kerap mereka lalui berawal dari pergunjingan yang dilandasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman.
Penampilan para transgender ini selalu total; dengan tata rias yang maksimal dan tata rambut fenomenal untuk ukuran sebuah kota kecil. Saya kagum atas keberanian mereka mengekspresikan diri. Namun, saya juga kerap mendengar orang-orang dewasa menggunjingkan seniman atau seseorang lain yang gay.
Saya beberapa kali melihat dan mendengar pergunjingan ini terjadi, tetapi saya pun tidak melakukan apa-apa. Saat itu, saya melihat kegiatan menggunjingkan mereka yang dianggap aneh adalah hal yang biasa, sama seperti ketika saya melihat pengamen transgender dirundung oleh anak-anak kecil. Padahal, kekerasan fisik dan intimidasi langsung yang kerap mereka lalui berawal dari pergunjingan yang dilandasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman. Andai saya bisa membalik waktu, saya tidak akan tinggal diam melihat pengamen transgender disoraki anak-anak kecil.
***
Ketika saya pindah ke Jakarta, berhasil menamatkan kuliah di jurusan hukum, dan mulai magang di suatu organisasi sosial, saya dipertemukan dengan seorang transgender pada sebuah acara. Salah satu perwakilan dari yayasan tersebut diminta menceritakan kisah hidupnya kepada para undangan.
Ia mengeluarkan selembar kertas berisi pengalaman hidupnya yang akan ia bacakan. Namun, baru di kalimat-kalimat awal, ia terhenti karena tidak sanggup. Suaranya mulai bergetar. Kami pun menyaksikan bahwa–bagi sebagian orang–menceritakan kisah hidupnya saja artinya membuka kembali sebuah trauma mendalam.
Ia kemudian mengatakan tidak sanggup meneruskan membacakan kisah hidupnya. Saat itu, panitia meminta kesediaan saya untuk membantu membacakan kisah hidup mbak tersebut. Lalu saya memulai membacakan kisahnya…
Ia sedari kecil sudah feminin, tetapi ayahnya malah menyiksanya, memarahinya, bahkan berulangkali memukulnya karena ia berbeda dari anak-anak laki lain di lingkungannya.
Di usia SMP, ia diusir dari rumah karena tidak bisa berubah seperti keinginan orangtuanya. Kemudian, ia tinggal di rumah sepupunya, tetapi diperlakukan seperti pekerja rumah tangga. Ketika lulus SMP ia harus mencari biaya sendiri untuk meneruskan ke tingkat SMA. Di usia itulah ia terpaksa bekerja sebagai pekerja seks untuk bisa membayar uang sekolah.
Kami pun menyaksikan bahwa–bagi sebagian orang–menceritakan kisah hidupnya saja artinya membuka kembali sebuah trauma mendalam.
Saya tidak bisa membayangkan hal ini bisa terjadi kepada seorang manusia di jaman sekarang. Apa jadinya jika seseorang harus tinggal, hidup, dan menghadapi orang yang membenci dirinya setiap hari? Apa rasanya jika orang yang kerap menyiksa kita adalah orangtua kita sendiri? Seberapa sakitnya harus melayani pria-pria yang tidak ia cintai untuk bisa mendapatkan uang sekolah? Sejak itu satu kalimat muncul di pikiran saya: transgender yang selama ini jadi bahan olokan atau sorakan, mereka juga manusia yang punya perasaan seperti manusia lainnya.
Membaca kisahnya membuka mata saya akan ketidakadilan yang terjadi hanya karena sekelompok manusia merasa takut, tidak nyaman, dan menolak untuk mengerti tentang mereka yang berbeda. Andai saja ia memiliki pertolongan saat itu. Andai saja ia tidak harus melewati ini semua sendirian.
***
Teman-teman LGBT di mana pun kalian berada. Saya menyadari bahwa di saat-saat sulit hidup kalian, mencari sahabat adalah langkah yang bijak. Bahkan, akan lebih baik jika kalian mulai membangun kelompok dukungan kalian sebelum saat-saat sulit datang menghampiri. Kelompok dukungan ini bisa datang dari mana saja, tidak harus keluarga kandung. Mereka yang bisa menerima kalian apa adanya, memberikan harapan, bantuan, dan kasih sayang adalah keluarga baru kalian.
Apa rasanya jika orang yang kerap menyiksa kita adalah orangtua kita sendiri?
Jika kalian merasa sulit menemukan sahabat, ada organisasi-organisasi yang bisa dimintai pertolongan saat kalian membutuhkan. Organisasi ini bisa berbentuk komunitas, lembaga psikolog atau lembaga bantuan hukum. Cobalah mencari informasi mengenai mereka dengan harapan kalian bisa dihubungkan dengan orang-orang yang siap membantu permasalahan yang dialami. Salah satunya adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memiliki lima belas kantor di Indonesia. Selain bisa membantu masalah hukum, mereka bisa membantu menghubungkan teman-teman kepada komunitas yang akan lebih tepat membantu.
Untuk teman-teman non-LGBT, semoga kalian berkesempatan mendapatkan teman LGBT yang membuka wawasan baru. Sungguh membuka hati dan pikiran kita setelah mendengar kisah hidup dan pengalaman teman-teman LGBT. Bertanya dengan sopan akan jauh lebih membahagiakan teman LGBT dan kita sendiri dibanding menghakimi atau merisak sebelum memahami.
***
Jane Aileen Tedjaseputra lahir di Jember, tahun 1987. Wanita berzodiak Leo ini menamatkan pendidikan sarjana di Universitas Atma Jaya Jakarta jurusan hukum pada 2009 dan pada 2014, Jane–begitu ia akrab disapa–mendapatkan penghargaan beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris untuk meneruskan pendidikan pascasarjananya di University of Essex jurusan Hukum HAM dan Humaniter Internasional. Ia adalah penggemar Star Wars dan ia mengisi waktu luangnya dengan menonton Game of Thrones. Sapa Jane melalui akun Twitter @Janeaileen
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
One Response to “Jane Aileen Menyambung Cerita”
July 9, 2020
AlexferryProviciat , sukses selalu dan terus menginspirasi orang untuk lebih baik, salute untuk sis Jane