Semenjak masih duduk di bangku TK, saya sudah merasakan diri saya berbeda. Saya bisa membedakan mana pria yang berpenampilan menarik walau saat itu belum tahu apa namanya. Di sisi lain saya pun sempat mempertanyakan kenapa saya memiliki perasaan ini.
Pertama kali memiliki kekasih ketika saya duduk di bangku kuliah, ketika mendapatkan beasiswa mode di Singapura. Saat itu usia saya sekitar 25 tahun. Namun, hubungan kami tidak bertahan lama karena setelah lulus saya harus kembali ke Indonesia sementara ia tetap di Singapura.
Pengalaman memiliki kekasih di Singapura membuat saya mulai membuka diri untuk berpacaran dengan orang Indonesia sepulangnya ke Tanah Air. Sempat saya mengenalkan kekasih saya kepada keluarga walau sebagai teman, tetapi rasanya keluarga saya tau bahwa kami lebih dari teman.
Tidak ada penolakan atau sikap diskriminasi dari keluarga karena mungkin dari kecil mereka sudah bisa menilai perilaku saya yang berbeda dari anak-anak laki lainnya. Justru mereka senang jika saya ada yang menemani.
***
Saya sempat merasakan kesepian dan tidak ada yang bisa memahami saya. Secara emosional saya rapuh, apalagi ketika remaja. Saya sempat ingin bunuh diri saat SMP. Saat itu saya merasa sendiri, berbeda, dan kerap menerima intimidasi di sekolah. Saya mengalami perundungan bukan dari siswa pria, melainkan dari siswa wanita di sekolah saya. Perkataan mereka melukai hati saya. Tidak ada orang terdekat yang bisa diajak bicara tanpa ketakutan untuk dihakimi.
Saya mempertanyakan mengapa saya berbeda dari teman-teman saya? Tidak jarang saya sempat menangis jika memikirkan hal tersebut. Namun, pelan-pelan saya mulai menerima diri saya. Mungkin memang tuhan menciptakan saya berbeda, dan karena keberbedaan inilah saya istimewa dibanding yang lain. Dengan bakat yang diberikan tuhan, walau saya sering dirundung, tetapi bakat itu telah memberikan saya keahlian untuk menciptakan busana misalnya. Saya mendapatkan beasiswa belajar mode dan menjadi desainer sampai hari ini.
Saya sempat merasakan kesepian dan tidak ada yang bisa memahami saya. Secara emosional saya rapuh, apalagi ketika remaja. Saya sempat ingin bunuh diri saat SMP. Saat itu saya merasa sendiri, berbeda, dan kerap menerima intimidasi di sekolah.
Mungkin saya tidak suka bermain bola seperti laki-laki lain dan cenderung bermain dengan kain serta rona warna, tetapi bakat saya ini mampu saya jadikan mata pencaharian, membuka kesempatan mencoba profesi lain, dan membuat saya menjadi manusia mandiri yang berguna buat orang lain.
Lalu kenapa saya tidak menikah dengan wanita? Menjadi desainer kan tidak harus gay. Mungkin memang benar. Orientasi seksual dan ekspresi gender memang dua hal yang berbeda, tetapi saya merasa tidak jujur dengan diri saya ketika harus memaksa diri berpacaran dengan wanita. Saya tidak pernah memiliki kekasih wanita dan tidak pernah ingin. Dari awal pacaran, kekasih saya adalah seorang pria.
***
Pernah suatu kali kekasih saya diajak liburan bersama keluarga. Semua ponakan saya bisa dengan santai bermain dengannya tanpa dianggap aneh. Orangtua dan saudara saya pun tidak pernah mempermasalahkan ketika kekasih saya hadir dalam acara keluarga.
Saya rasa pendekatan yang lumayan mujarab ketika kekasih saya berperan aktif membantu urusan keluarga. Seperti menemani ponakan, atau mengantarkan anggota keluarga lain ke tempat tujuan ketika tidak ada yang bisa. Dari situ mungkin keluarga saya melihat ada nilai lain yang bisa ditawarkan ke dalam keluarga walaupun bentuk hubungan saya berbeda dengan saudara-saudara saya yang lain.
***
Saya datang dari keluarga Betawi yang lumayan religius. Ditambah lagi, generasi saya bukanlah generasi yang bisa dengan mudah menemukan kalimat yang tepat untuk menyampaikan situasi saya kepada orang lain. Namun, kini LGBT tidak harus merasa sendirian; informasi tentang minoritas seksual dan keberagaman gender pun sudah tersedia jika kita tahu ke mana harus mencari. Banyak komunitas dan kegiatan positif yang bisa dilakukan, walau tekanan pun juga pastinya selalu ada.
Terkadang kita memang harus memberanikan diri untuk hidup jujur. Ketika sudah melela, hidup menjadi lebih mudah dalam artian kita tidak harus hidup dalam kepura-puraan. Keputusan untuk menjadi jujur ini membawa hidup saya lebih sehat karena memberi pengaruh baik terhadap keputusan-keputusan lain dalam hidup saya.
Hidup sebagai gay di Indonesia memang masih jauh dari adil. Kita harus bekerja dua kali lebih keras untuk mendapatkan pengakuan setengah dari orang lain. Ketidakadilan ini memacu kita untuk menjadi cerdas, kreatif, unggul, dan unik. Kita tetap bisa meninggalkan kesan baik walaupun kita memiliki orientasi dan perilaku yang berbeda. Jangan pernah berhenti belajar dan hindari menjadi sombong untuk menutupi ketidakpercayadirian kita.
***
Icwan Thoha lahir pada 10 Maret 1971. Saat ini ia aktif sebagai dosen mode di beberapa sekolah tinggi di Jakarta dan kota lain di Indonesia. Ia menamatkan pendidikan mode di La Salle Singapura melalui jalur beasiswa. Alumni SMA 4 Gambir Jakarta Pusat ini memulai karier di bidang mode menjadi pengarah gaya di Majalah Hai bersama Kompas Gramedia, lalu menelurkan lini pakaian dengan namanya sendiri sampai saat ini. Ia pun sempat mendirikan agensi model Platinum yang mengorbitkan beberapa bintang seperti Vino Bastian dan Fedi Nuril. Sapa Ichwan di akun instagram @Ichwanthoha.
Melela.org memberikan wadah pada insan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) serta non-LGBT untuk berbagi cerita, sekaligus meningkatkan pemahaman masyarakat akan kelompok minoritas di Indonesia. Meneruskan semangat inklusivitas yang diusung website ini, melela.org memberikan bantuan kepada orangtua terkait dengan keberagaman orientasi seksual anak dan ekspresi gender. Di halaman PARENTS GUIDE, Anda dapat menemukan berbagai informasi yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua. Temukan menu PARENTS GUIDE di bagian “Navigation” yang terletak bagian atas laman ini atau klik di sini.
No Responses to “Ichwan Thoha Sempat Berpikir Bunuh Diri”