Saat usia 26 tahun, saya pertama kali memberanikan diri untuk coming out. Saat itu masih jamannya orang-orang chatting di MIRC, saya menemukan beberapa komunitas chatting dengan nama #gay, GAM (gay asian male) dan GIM (gay Indonesian Male), di saluran efnet. Melalui internet dan kemjuan teknologi, saya menemukan banyak orang seperti saya. Saya menemukan dunia saya dan tidak merasa sendirian.
Dari satu percakapan yang satu dengan yang lain, akhirnya saya mulai memberanikan bertemu dengan salah satu dari mereka. Kami bertemu di Citraland. Sebelum bertemu dengan mereka, saya dihantui oleh perasaan takut dan khawatir. Pikiran saya dipenuhi dengan hal-hal buruk tentang mereka. Namun saya beranikan diri untuk tetap bertemu.
Saat usia 26 tahun, saya pertama kali memberanikan diri untuk coming out.
Setelah bertemu dan bertukar pengalaman, saya menemukan tidak ada yang aneh. Ia sama seperti orang-orang lainnya yang biasa saya temui di tempat-tempat umum lainnya. Kepada merekalah saya membuka diri saya yang sebenarnya. Sejak saat itu, saya membuka diri kepada teman-teman chatting.
***
Lalu mulai masanya saya memberanikan diri untuk coming out kepada teman-teman di kantor. Saat itu saya masih bekerja di sebuah production house dan memiliki atasan seorang warga Australia. Kepada dia lah saya pertama membuka jati diri saya. Kebetulan, dia memiliki wibawa seorang kakak dan itulah yang membuat saya nyaman. Dia terbiasa dengan keterbukaan, keterusterangan, dan diskusi. Saya mengatakan apa adanya tentang identitas saya. Dia menyambut dengan terbuka dan hangat, tanpa perlakuan yang berbeda dengan karyawan lainnya. Saya diterima dengan baik. Rasanya lega sekali. Satu lagi babak baru dalam hidup saya dimulai. Setelah saya membuka diri kepadanya, kemudian saya menanyakan apakah saya harus membuka diri saya kepada teman-teman lain di kantor. Dia mengatakan bahwa saya tidak usah merasa malu akan diri saya dan tidak ada yang harus saya tutupi kepada teman-teman kerja. Namun, kebanyakan rekankerja saya adalah orang-orang Indonesia. Tidak semuanya terbiasa dengan jati diri saya. Saat itu di Indonesia, LGBT masih tabu dan sangat jarang didiskusikan.
Saya masih merasa ada ketakutan. Saya tidak mau identitas dan jati diri saya menjadi bahan lelucon di kantor. Saya sudah merasa cukup ditertawakan. Lalu saya menanyakan apakah mungkin atasan saya menjamin bahwa saya tidak akan diintimidasi oleh teman-teman kerja yang menganggap saya aneh? Lalu dia mengatakan, jika kejadian seperti itu terjadi di kantor, saya harus melaporkan kepadanya.
Saya tidak mau identitas dan jati diri saya menjadi bahan lelucon di kantor. Saya sudah merasa cukup ditertawakan.
Saat saya memberanikan coming out kepada teman-teman di kantor, berbagai tanggapan muncul. Stigma akan LGBT direkatkan kepada saya. Beberapa teman saya menganggap gay itu suka berganti-ganti pasangan, lalu ada yang berpendapat bahwa gay itu akan mendekati semua cowok yang ada di sekitarnya, tidak peduli apakah cowok tersebut gay atau bukan. Padahal, semua itu tergantung orangnya juga. Suka gonta-ganti pasangan juga terjadi di lingkungan non-LGBT kan? Kalau dipikir kembali sekarang, saya tertawa saja akan stigma-stigma tersebut. Saya menerima diri saya secara utuh, saya tidak memiliki alasan untuk merasa malu karena dilahirkan berbeda.
Coming out membantu diri saya dan orang-orang di sekitar saya untuk memahami keberbedaan. Sebelum membuka jatidiri, saya mengalami banyak intimidasi, ejekan, dan lelucon yang menyingung. Tetapi setelah coming out, perlakuan negatif malah jarang saya alami.
***
Saat hubungan saya dan pasangan saya sudah menginjak usia delapan tahun, saya memberanikan diri untuk bicara kepada keluarga saya. Saya adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Pertama kali coming out ke keluarga adalah kepada kakak laki-laki saya. Saat itu tahun 2007, saya sudah mendirikan perusahaan sendiri dan beliau saya undang datang ke kantor saya.
Saya memilih berbicara di kantor saya sendiri karena tempat tersebut adalah teritori saya. Jadi, jika ada apa-apa terjadi, itu akan terjadi di teritori yang bisa saya kontrol. Benar saja. Ketika saya membuka jati diri saya, kakak marah besar. Meja dan kursi di kantor diamuknya. Barang-barang dilempar. Saya kaget, tetapi merasa harus menyikapi dengan kepala dingin.
Saya menerima diri saya secara utuh, saya tidak memiliki alasan untuk merasa malu karena dilahirkan berbeda.
Saya tidak ingin terpancing kemarahannya. Sebuah aksi tidak harus disikapi dengan reaksi yang sama. Saat itu saya berpikir tindakannya disebabkan oleh rasa kaget. Saya biarkan kemarahannya muncul dan habis. Ketika kakak sudah tenang, saya mulai membereskan ruangan perlahan dan kami duduk kembali berbicara.
“Bagaimana pun ini adalah hidupku. Aku ingin diterima,” kata saya. Saat itu saya juga berpesan kepadanya, mohon jangan katakan ini kepada Bapak dan Ibu. Biar saya saja yang menyampaikan kepada mereka dengan langsung.
Tidak lama kemudian, Bapak dan Ibu saya undang ke Jakarta. Orangtua saya berasal dan tinggal di Surabaya. Mereka mempunyai warung dan berjualan nasi untuk menghidupi anak-anaknya. Selama di Jakarta, Ibu tinggal di rumah yang dihuni saya bersama pasangan saya. Saat itu kami bertiga duduk di satu meja. Di situlah saya mengatakan bahwa saya dan pasangan saya adalah sepasang kekasih. Kami mencintai satu sama lain.
Orangtua saya berasal dan tinggal di Surabaya. Mereka mempunyai warung dan berjualan nasi untuk menghidupi anak-anaknya.
Saya sempat takut reaksi Ibu akan sama dengan kakak saya, penuh dengan amarah dan emosi. Namun, itu tidak terbukti. Ibu diam dan, dari raut wajahnya, ia tampak berusaha memahami keadaan. Memahami situasi, memahami saya, dan memahami hubungan yang saya jalani. Melihat latar belakang Ibu, rasanya, pasti sulit bagi Ibu untuk memahami hubungan yang saya jalani.
Tidak banyak yang Ibu katakan dan tunjukkan. Mungkin karena kami adalah orang Jawa yang tidak terlalu banyak menunjukkan perasaan dan emosi. Satu-satunya pertanyaan yang Ibu tanyakan kepada saya adalah, “Lalu, yang jadi perempuannya siapa?”
Dengan sabar, saya menerangkan kepada Ibu mengenai hubungan saya dan pasangan saya. Hubungan kami tidak bisa dilihat seperti kita melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan yang saya jalani tidak ada yang perempuan, dua-duanya laki-laki. Saya ingin Ibu dapat memahami hubungan saya dan kehidupan gay secara garis besar. Ibu kembali diam. Lalu Ibu katakan ia akan bicara hal ini dengan Bapak.
Tidak lama kemudian, Ibu pulang ke Surabaya dan mengatakan perihal ini ke Bapak. Saya dan pasangan pun langsung dipanggil untuk menemui Bapak dan bertolak ke Surabaya untuk membicarakan hal ini. Ini adalah kali pertama saya harus membicarakan ini mengenai identitas saya di luar daerah yang menjadi teritori saya….
Hubungan kami tidak bisa dilihat seperti kita melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan yang saya jalani tidak ada yang perempuan, dua-duanya laki-laki.
Sesampainya di Surabaya, Bapak menanyakan ke pasangan saya, “Kamu serius dengan Gunawan?” Lalu pasangan saya mengatakan bahwa dirinya serius menjalani hubungan ini dengan saya. Saya merasa gugup dengan jantung yang berdebar-debar tetapi tetap berusaha mengendalikan diri. Di luar dugaan, percakapan dengan Bapak berlangsung sangat lancar. Bapak saya ingin memastikan bahwa kami menjalani hubungan dengan serius dan bukanlah main-main. Setelah itu rasanya lega sekali. Rasa sayang Bapak dan Ibu kepada saya tidak berubah sama sekali.
Dari saat itu saya merasakan adanya dukungan dari keluarga. Dan sampai saat ini, hubungan antara kedua keluarga saya dan pasangan berjalan cukup baik. Kami kerap melakukan kegiatan bersama, yang mempertemukan keluarga saya dan pasangan saya. Setiap kali diundang ke Jakarta, mereka selalu datang dan menghabiskan waktu bersama.
***
Untuk membina hubungan komunikasi antarkeluarga, saya dan pasangan mempunyai strategi. Misalnya, jika ada hubungan komunikasi yang harus disampaikan kepada keluarga saya, misalnya undangan ke Jakarta atau menghabiskan akhir minggu bersama, pasangan saya yang akan maju ke keluarga saya. Begitu juga sebaliknya. Jika ada hal-hal yang ingin disampaikan kepada keluarga pasangan saya, saya yang harus lebih aktif ke keluarganya. Kami saling berbagi peran yang seimbang.
Orangtua saya suportif sekali dan saya semakin bangga akan orangtua saya. Mereka adalah bukti bahwa berpikiran terbuka bukanlah hal yang sulit. Tidak usah berpendidikan yang luar biasa untuk berpikiran terbuka dan menunjukkan kasih sayang tanpa syarat.
Sebelum saya coming out dan membuka diri, rasa kekhawatiran begitu banyak. Rasa ketakutan juga banyak. Saya takut akan reaksi dan perkataan orang jika mereka tahu mengenai diri saya yang sebenarnya. Dan ketakutan ini, semakin kita pikirkan, semakin besar rasanya. Namun, setelah coming out, banyak ketakutan itu yang tidak terbukti. Coming out menghilangkan kecemasan akan diri saya sendiri dan ketakuan apakah saya akan diterima atau tidak.
Tidak usah berpendidikan yang luar biasa untuk berpikiran terbuka dan menunjukkan kasih sayang tanpa syarat.
Dengan coming out, kita menghilangkan kecemasan di kedua belah pihak: pihak saya dan orang lain. Kecemasan yang muncul di pihak saya adalah kecemasan akan orang lain mengetahui identitas saya dan kecemasan yang muncul di pihak lain adalah kecemasan mereka menyakiti perasaan saya atau salah bicara. Dengan membuka jati diri dengan orang lain, percakapan bisa dilakukan dengan lebih mulus.
***
Gunawan Wibisono saat ini menetap di Jakarta dan telah membuka usaha di bidang jasa dan pariwisata. Saat ini Gunawan—begitu ia akrab disapa—telah meluaskan usahanya di Jakarta dan Bali. Di samping menjalankan usaha yang dirintisnya, ia juga menekuni diving, renang, yoga, dan gemar membaca. Beberapa penulis yang disukainya adalah Malcolm Gladwell, David Sedaris, dan Michael Crichton.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
One Response to “Gunawan Strategis Memilih Tempat”
March 14, 2016
outbound puncakEvery weekend i used to visit this web site, because i want enjoyment, since this this web site conations in fact
pleasant funny information too.