Pengalaman bertemu dengan seseorang gay terjadi pada saat saya masih SMA di Kota Malang. Saya memiliki sahabat baik yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yg tidak biasanya tentang dirinya: “Saya ingin ngomong sesuatu yang mungkin membuat kamu nggak nyaman,” ujar teman saya.
“Ngomong apa?” tanya saya.
Di situlah ia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang gay. Ia seorang pria yang menyukai pria lain. Saya katakan bahwa saya tidak merasa risih. Saya nyaman dengan kondisinya dan tetap berteman dengannya. Dalam kesehariannya, ia adalah anak yang baik. Saya pernah membelanya di saat seorang murid di sekolah kami menghinanya dengan sebutan, maaf, banci. Istilah ini merendahkan sekali. Saya malahan merasa risih jika seorang yang sebenarnya baik, tetapi harus dipinggirkan oleh lingkungan sekitarnya hanya semata-mata karena pembawaan dirinya.
Saya katakan bahwa saya tidak merasa risih. Saya nyaman dengan kondisinya dan tetap berteman dengannya.
Saat teman saya mengatakan identitasnya kepada saya, tidak banyak yang bisa saya katakan kepadanya. Karena masih SMA, saya belum mengetahui tentang ilmu kedokteran. Namun, kami tetap berteman baik. Kami tetap sering ngobrol bareng dan terkadang ia main ke rumah saya. Persahabatan kami bisa dibilang solid.
Setelah mulai mempelajari ilmu kedokteran, saya mendapatkan begitu banyak fakta medis mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Ternyata, kita ini semua terlahir abu-abu, dan bukan hitam-putih. Sayangnya, lingkungan dan budaya kita tidak diperkenalkan dengan situasi ini dengan baik.
Semenjak kecil, kita diperkenalkan melihat hal segala sesuatu secara dua sisi, dikotomis. Ya, kalau nggak, hitam, ya putih. Kalau nggak benar, ya salah. Kalau nggak lelaki, ya perempuan. Padahal, segala sesuatu seharusnya dilihat dengan kacamata spektrum, karena alam semesta ini memang abu-abu. Yang dimaksud dengan spektrum adalah melihat adanya kategori-kategori lain di kedua ujung yang paling ekstrem. Misalnya, jika kedua ujung ekstrem adalah hitam dan putih, di antara kedua ujung tersebut ada yang hitam keputih-putihan alias abu-abu yg hampir hitam, ada yang putih kehitam-hitaman alias abu-abu yang mendekati putih, ada pula yang abu-abu di tengah-tengah.
Saya pernah membelanya di saat seorang murid di sekolah kami menghinanya dengan sebutan, maaf, banci. Istilah ini merendahkan sekali.
Masalahnya, ketika turun ke masyarakat, kita hanya mengenal lelaki dan perempuan saja, terbiasa dengan pemikiran dikotomis, sehingga kita tidak dapat menyikapi orang-orang yang memiliki kecenderungan berada di antaranya dengan baik. Ini salah. Bayangkan jika kita dikenalkan melihat segala sesuatunya sebagai spektrum sedari kecil, pasti kita akan jauh lebih rileks melihat keunikan-keunikan manusia.
***
Di saat saya mulai kenal ilmu psikiatri, ilmu kejiwaan, dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi kedua tahun 1984, di situ dijelaskan bahwa gay hanyalah dianggap penyakit kejiwaan apabila orang yang berkaitan mengalami depresi. Artinya, jika harus ‘disembuhkan’, yang disembuhkan bukan orientasi seksualnya, melainkan depresinya. Pedoman itu secara berkala disempurnakan sejalan dengan perkembangan ilmiah dunia kedokteran.
Saya malahan merasa risih jika seorang yang sebenarnya baik, tetapi harus dipinggirkan oleh lingkungan sekitarnya hanya semata-mata karena pembawaan dirinya
Jadi, isinya akan selalu relevan dan dapat digunakan oleh semua dokter di Indonesia dan seluruh dunia. Kini, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa sudah memasuki edisi keempat, dan gay, lesbian, biseksual, atau transgender sudah benar-benar bersih dari anggapan penyakit yang harus disembuhkan. Karena memang bukan penyakit. Tidak ada salahnya dengan manusia yang terlahir gay, lesbian, biseksual, atau transgender. Dari kacamata dunia kedokteran, tidak ada yang harus disembuhkan karena LGBT bukanlah penyakit. Jadi, kalau ada dokter yang masih menganggap LGBT sebagai penyakit yang harus disembuhkan, saya bingung panduannya apa? Bukan dokter yang bilang begitu. Sebagai dokter kita harus selalu relevan dengan perkembangan, jangan ketinggalan jaman.
Mengapa manusia bisa dilahirkan memiliki orientasi yang berbeda, sebagai bagian dari identitasnya? Identitas diri manusia didasarkan pada konstelasi otaknya, atau susunan saraf pada otaknya. Otak adalah organ pertama yang terbentuk saat manusia masih menjadi janin. Saat otak ini mulai berkembang di dalam janin, banyak faktor yang mempengaruhi, seperti asupan ibunya, hormon bawaan orangtua, hormon bayinya sendiri, faktor genetik, dan sebagainya. Semua faktor-faktor ini mempengaruhi bentuk konstelasi sirkuit-sirkuit otak janin nanti akan seperti apa. Orang yang suka senyum memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan orang yang gampang menangis. Dua orang kembar pun akan berbeda konstelasi otaknya. Konstelasi otak juga menentukan orientasi seksual.
Kini, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa sudah memasuki edisi keempat, dan gay, lesbian, biseksual, atau transgender sudah benar-benar bersih dari anggapan penyakit yang harus disembuhkan.
Sebenarnya, orientasi seksual sama halnya dengan orientasi selera terhadap rasa. Ada orang yang suka manis. Ada orang yang suka asin. Ada pula yang suka dua-duanya. Menurut ilmu saraf, masing-masing orang memiliki konstelasi otak yang berbeda. Orang yang suka asin, memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan orang yang suka manis. Begitu juga dengan orientasi seksual. Seorang pria yang menyukai pria memiliki konstelasi otak yang berbeda dengan pria yang menyukai wanita. Ini hanyalah masalah variasi normal dari otak manusia.
Mengatakan pria yang menyukai pria tidak normal sama saja mengatakan orang yang menyukai makanan manis itu tidak normal. Ini, kan, nggak adil. Kenapa nggak boleh?
***
Kita harus melihat jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual sebagai tiga hal yang terpisah, karena ketiga hal tersebut dikontrol oleh sirkuit otak yg berbeda.
Sebenarnya, orientasi seksual sama halnya dengan orientasi selera terhadap rasa. Ada orang yang suka manis. Ada orang yang suka asin.
Dengan melihat melalui pemahaman spektrum, kita bisa mendapatkan keberadaan orang-orang yang memiliki jenis kelamin laki-laki, bergender maskulin, tetapi orientasi seksualnya menyukai laki-laki juga. Ada pula yg memiliki jenis kelamin laki-laki, memiliki gender yang feminim, tetapi menyukai wanita. Jadi, kita tidak bisa mengatakan laki-laki yang feminin pasti gay atau lelaki yang gay pasti feminin.
Dunia itu tidak dikotomis. Misalnya, kalau jenis kelaminnya laki-laki, gendernya harus maskulin, dan harus menyukai wanita. Manusia tidak sederhana itu. Mulailah melihat segala sesuatu dengan kacamata spektrum. Terlahir sebagai gay, lesbian, biseksual, atau transgender bukanlah sebuah pilihan. Ini adalah keadaan yang sudah terbentuk sejak sebelum lahir. Dan seandainya pun itu dianggap pilihan, juga bukan masalah. Maksudnya begini: menjadi dianggap pilihan karena tergantung dari bagaimana manusia tersebut menyikapinya. Misalnya ada orang yang memiliki kecenderungan menyukai lelaki dan perempuan, tetapi ia tetap memilih untuk menyukai perempuan saja walaupun ketertarikannya terhadap laki-laki jauh lebih besar. Ini, ya, nggak papa. Sama seperti orang bisa bermain musik gitar atau drum, ia bisa memilih bermain gitar saja. Ya, nggak papa, kan? Pertanyaannya adalah, “Apakah ia bahagia?”
Mengatakan pria yang menyukai pria tidak normal sama saja mengatakan orang yang menyukai makanan manis itu tidak normal.
Ini menjawab anggapan bahwa seseorang yang tadinya bukan gay, tetapi bisa menjadi gay lantaran banyak menghabiskan waktu dengan kalangan gay. Anggapan ini salah. Jika seseorang menjadi gay, itu karena ia memang sudah punya bakat menjadi gay.
Lingkungan hanya membantu memunculkan sosok manusia itu yang sebenarnya. Tapi kalau memang tidak memiliki bakat gay, mau memiliki teman-teman yang semuanya gay, juga nggak mungkin menjadi gay.
Terlahir sebagai gay, lesbian, biseksual, atau transgender bukanlah sebuah pilihan.
Ingin menjadi gay atau tidak, yang penting tidak ada pemaksaan di situ. Jika ada unsur pemaksaan, itu sudah melanggar moral. Prinsip dasar moralitas adalah kita memperlakukan orang sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Selama seseorang tidak menggangu orang banyak, kenapa harus dipermasalahkan?
***
Dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS akrab disapa Dokter Ryu Hasan oleh penggemarnya di media sosial Twitter. Beliau menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Airlangga di tahun 1985 dan meneruskan pendididkan spesialis bedah saraf di universitas yang sama. Kini, selain praktik di beberapa rumahsakit di Jakarta dan Tangerang, Doker Ryu juga masih aktif mengajar di Universitas Padjajaran dan beberapa universitas lain di luar negeri. Anda dapat menghubungi beliau melalui akun twitter @Ryuhasan.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan kisah Anda ke contact@melela.org. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
10 Responses to “Dr. Ryu Hasan, Sp.BS Ingin Semua Manusia Bahagia Menjadi Diri Sendiri”
January 23, 2016
PriskilaKereeen sekali dok …agree with u.
January 25, 2016
StephannyWah saya senang sekali mendepatkan penjelasan seksualitas berbasis ilmiah
January 25, 2016
Muhammad IlhamTerima kasih sudah berbagi pemahaman, Dok. Sangat membantu.
February 11, 2016
RiaTerima kasih, ternyata saya tidak sendiri yg mengganggap LGBT bukan penyakit. Saya sgt toleran terhadap LGBT. Karena Prinzip saya, kebahagiaan adalah hak Masing-masing orang.
February 15, 2016
AliotTerima kasih Dok, semoga orang2 diluar sana yang masih berpikiran bahwa LGBT itu penyakit bisa lebih berpikir lagi sebelum beropini.
October 11, 2016
jafarTemakasih banget ini sangat2 membatu saya
October 11, 2016
jafarSaya gay dulu saya benci diri sy sendiri tapi setelah saya tahu bahwa gay itu bukan penyakit ahirnya saya sadar dan bisa menerima diri sendiri dan tida mender lagi dengan orang lain saya merasa bebas dari sebuah ikatan yg bertahun2 membelenggu.
September 17, 2019
vintage house restaurantExcellent post. I was checking continuously this blog and I’m impressed!
Very useful info specifically the last part 🙂 I care for such info
much. I was seeking this certain information for a very
long time. Thank you and best of luck.
December 8, 2019
Yap Siauw Soen GieMaaf dok OOT
Saya salah seorang pasien dari Semarang yang operasi tgl. 12 September 2019 lalu.
Ada hal mendasar yang saya ingin tanyakan.
Bagaimana saya bisa menghubungi anda?
June 6, 2020
ayyartikel yang bagus