Ketika masuk universitas, saya memberanikan diri melela kepada salah satu sahabat saya. Ketika itu, saya sudah mengetahui bahwa ia memiliki orientasi seksual yang sama. Alasan saya memilih melela kepadanya adalah karena latar belakangnya. Saya yakin, karena memiliki orientasi seksual yang sama, ia dapat mengerti situasi dan perasaan yang saya rasakan.
“Kayaknya gue juga suka sama cowok, deh” ujar saya saat itu kepadanya.
Mendengar itu, ia mengatakan bahwa ia mengerti perasaan saya. Namun, ia juga mengatakan agar saya memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada agama. Di situ saya tidak banyak menanggapi, bisa mengatakan identitas saya kepada orang lain saja rasanya saya sudah lega.
***
Nasihat untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada agama sering saya terima. Namun, langkah ini tidak mengubah fitrah saya. Mendekatkan diri kepada agama dan memperbanyak ibadah tidak akan mengubah saya menjadi seorang heteroseksual, melainkan akan membuat saya menjadi seorang homoseksual yang religius. Seksualitas bukanlah sesuatu yang bisa diubah.
Saya pun merasa sudah menjadi seorang Muslim yang cukup taat. Buat saya, tidak ada salahnya ketika seorang gay ingin beragama dan menunaikan ibadahnya. Namun, menurut saya, beribadah dan beragama haruslah seimbang. Memperdalam ilmu pengetahuan juga merupakan ibadah. Agama tanpa ilmu pengetahuan akan lemah.
Nasihat untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada agama sering saya terima.
Kebetulan, di universitas saya, terdapat organisasi Suport Group and Resource Center on Sexuality Studies, University of Indonesia (SGRC-UI). Dalam organisasi ini, saya menemukan teman-teman lain yang memiliki minat membahas seksualitas dalam koridor ilmiah. Kelompok ini menyediakan sumber-sumber penelitian tentang seksualitas. Saya membacanya semua dan mulai memahami situasi diri saya. Di SGRC-UI saya pun bertemu orang-orang yang mampu menjelaskan kebingungan yang sempat saya alami tentang jati diri saya.
Banyak orang yang menyangka bahwa seseorang ‘menjadi’ gay karena dipengaruhi oleh lingkungannya, tetapi rasanya, anggapan itu terkesan terburu-buru dan tidak memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Seperti faktor genetik dan biologis, misalnya. Saya hidup di lingkungan yang sangat heteroseksual dan tidak memiliki trauma apa pun akan seksualitas saya, tetapi saya tetap menjadi seorang yang berbeda karena saya dilahirkan memiliki orientasi seksual yang berbeda pula. Bagi banyak kasus, seseorang ‘menjadi’ gay karena ia sudah paham dan menerima jati dirinya yang berbeda dengan orang lain.
Mendekatkan diri kepada agama dan memperbanyak ibadah tidak akan mengubah saya menjadi seorang heteroseksual, melainkan akan membuat saya menjadi seorang homoseksual yang religius.
Pemahaman akan seksualitas membuat saya sadar bahwa tidak ada yang salah dengan diri saya. Setelah memahami keadaan saya dengan lengkap, saya jadi semakin berani melela kepada lingkungan yang lebih besar lagi, yakni kepada sahabat dekat dan teman-teman saya di fakultas.
***
Saya kini adalah mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama satu semester pertama, saya memiliki teman-teman dekat yang tidak menyukai golongan orang-orang yang terlahir berbeda. Kami satu kelompok pertemanan. Teman-teman saya ini tidak tahu siapa saya dan saya harus mendengar komentar-komentar negatif tentang mereka yang terlahir berbeda. Saya sempat merasa takut. Saya mempertanyakan bagaimana posisi saya di mata teman-teman saya. Saya takut dianggap sampah oleh teman-teman ketika saya melela kepada mereka.
Agama tanpa ilmu pengetahuan akan lemah.
Hal ini membuat saya membuat jarak dengan mereka. Saya semakin menutup diri dan mulai menjauh dari mereka. Sampai akhirnya, untuk mempertahankan persahabatan kami, saya harus mengutarakan kejujuran tentang diri saya. Ketika saya memutuskan melela kepada mereka, saya sudah mendapatkan informasi yang cukup mengenai seksualitas. Ada baiknya melela kepada satu orang terlebih dahulu, bukan sekalian. Saya kemudian mengajak salah satu dari mereka untuk bicara berdua dengan saya.
Awalnya ia tidak percaya. Kemudian ia bertanya, “Loe nggak pernah naksir sama gue kan?”
Saya hanya tertawa dan menganggap itu hanyalah sebuah bercandaan. Yang penting, ia mengatakan bahwa ia tidak akan menjauhi saya. Ia tetap bersedia menjadi tempat saya bercerita dan bertukar pikiran. Ia mengatakan bahwa tidak akan ada yang berubah.
“Jangan takut, Dimas,” katanya.
Setelah itu kita jadi semakin dekat. Sebagai pria yang banyak digemari wanita, saya agak kagum dengan keringanan hati teman saya tetap berteman dengan saya. Dia pun banyak bertanya tentang hidup saya. Dia bertanya apakah saya sudah punya pacar atau belum. Dia peduli, namanya juga sahabat.
Ada baiknya melela kepada satu orang terlebih dahulu, bukan sekalian.
Awalnya hanya kepadanya saya berani mengutarakan identitas saya yang sebenarnya, sementara saya masih menjaga jarak dengan teman-teman yang lain.
Mereka pun mulai merasakan bahwa saya semakin menjauh. Sampai akhirnya mereka berkumpul dan membicarakannya dengan dengan saya. Kami berlima saat itu. Mereka menanyakan mengapa saya semakin menjauh.
Sebelum menjawab pertanyaan mereka, saya menyampaikan keinginan saya untuk tidak dihakimi setelah saya mengungkapkan alasannya. Pemahaman ilmiah saya mengenai seksualitas sangat membantu proses melela. Saya menjelaskan mengenai skala kinsey yang bisa digunakan sebagai pemahaman dasar melihat seksualitas. Saya juga menceritakan konsep gender bread kepada mereka. Setelah merasa nyaman dengan situasi pembicaraan, saya akhirnya mengutarakan alasan mengapa saya menjaga jarak dengan mereka. Saya mengungkapkan siapa saya dan ketakutan yang saya rasakan.
Awalnya mereka terkejut. Namun, reaksi mereka di luar dugaan saya. Mereka yang awalnya paling homofobik, paling takut dengan homoseksual, ternyata adalah orang-orang yang paling ramah dengan saya.
“Nggak masalah, Dimas. Justru di sinilah fungsi kita buat loe. Kita adalah teman-teman loe yang akan memberikan support buat loe. Kami minta maaf jika pernah memberikan komentar negatif tentang orientasi seksual loe…” kata salah seorang dari mereka.
Sampai sekarang mereka masih menjadi sahabat saya. Kami masih janjian untuk mengambil beberapa mata kuliah yang sama dan mengikuti kelas bersama. Tidak ada perubahan tingkah laku mereka kepada saya. Bahkan, ketika saya bercerita bahwa saya memiliki pacar baru, mereka semangat mendengarkannya, sama seperti anggota lain yang bercerita baru mendapatkan pacar.
***
Walaupun saya sudah mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat saya, tetapi saya merasa ancaman dan tekanan dari masyarakat luas masih tetap ada. Terkadang saya masih merasa marah dan takut jika membaca bagaimana media-media memberitakan orang-orang seperti saya. Contohnya, ketika pemberitaan tentang “Meningkatnya Jumlah Gay di Depok,” misalnya, banyak terlihat kebelumpahaman penulis berita dalam mengemas isu seksualitas. Saya merasa jumlahnya tidak bertambah, melainkan kami mulai menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan diri kami dan mulai terbuka. Namun, di dalam penulisan tersebut, orang-orang seperti saya dianggap seperti predator yang bisa menyukai semua lelaki. Saya marah dan tersinggung membacanya.
Mereka yang awalnya paling homofobik, paling takut dengan homoseksual, ternyata adalah orang-orang yang paling ramah dengan saya.
Padahal, kita sama saja dengan laki-laki lain lain yang punya preferensi ketertarikan. Lelaki heteroseksual pun juga tidak mungkin menyukai semua perempuan di depan mereka. Begitu juga kami. Bukan karena kami seorang homoseksual, lantas kami jadi menyukai semua lelaki yang ada di depan kami.
***
Saya berasal dari Kota Padang. Terlahir berbeda di kota kecil tidaklah mudah, seringkali saya mendengar hal-hal negatif tentang orang-orang seperti saya. Kebanyakan orang-orang di sekitar saya menyayangkan orang-orang yang terlahir berbeda tidak bisa menikmati wanita. Lalu, saya pun pernah mengenal salah seorang teman saya yang melela sewaktu di bangku sekolah. Semenjak saat itu ia dikucilkan, dari kelas 10 sampai lulus SMA. Banyak orang yang membicarakan dia di belakang. Jika ia memiliki seorang teman pria, teman pria tersebut langsung memancing gosip di kalangan teman-temannya. Orang-orang pun menjadi takut berteman dengannya. Kini ia meneruskan pendidikan ke Jerman.
Situasi tersebut membuat saya memilih bungkam akan fitrah saya. Di kota kelahiran saya, kecenderungan saya untuk merasa tertekan secara sosial sangatlah besar. Kampung halaman saya tidak bisa saya anggap sebagai sebuah ‘rumah tempat saya pulang’ karena saya tidak bisa menjadi diri saya di sana. Saya harus berpura-pura menjadi orang lain.
Bukan karena kami seorang homoseksual, lantas kami jadi menyukai semua lelaki yang ada di depan kami.
Namun, setidaknya saya kini tidak harus berpura-pura di depan ibu saya. Saya rasa, ibu saya sebenarnya sudah mengetahui identitas saya sebelum saya secara resmi melela kepadanya. Sewaktu saya pulang ke Padang, tiba-tiba ibu masuk ke kamar saya.
“Dimas, ada yang mama mau tanyakan,” katanya.
Dari situ saya sudah mengetahui apa yang akan ibu saya tanyakan. Untungnya, saya sudah pernah melela sebelumnya dengan teman-teman di kampus. Saya punya pengalaman dan persiapan ketika ibu saya menanyakan kepada saya.
“Mama pasti mau menanyakan mengenai orientasi seksual Dimas, kan?” tanya saya kepada ibu.
Ibu saya diam. Ia tidak menyanggah. Saya menganggap reaksi ibu ini adalah konfirmasi akan apa yang ingin ia tanyakan, tetapi masih bingung bagaimana cara menanyakannya.
Saya kemudian meminta ibu untuk membiarkan saya menjelaskan apa yang saya ketahui mengenai orientasi seksual. Saya juga meminta ibu untuk baru memberi tanggapan setelah saya benar-benar selesai menyampaikan apa yang saya ketahui dan isi hati saya sebenarnya.
Saya pun mulai mengatakan apa yang saya ketahui tentang seksualitas dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh ibu saya. Lalu saya mengatakan bahwa saya tidak menyukai perempuan, saya memiliki orientasi menyukai laki-laki.
Alwanya, ibu menangis mendengar ini. Saya berusaha menguatkan hati ibu. Kebanyakan, reaksi pertama orangtua bukanlah reaksi yang sebenarnya. Saya yakin ibu saya mencintai saya karena saya akan selalu mencintai ibu saya. Saya menyatakan bahwa orientasi saya bukanlah salah siapa-siapa. Saya tetap menjadi anak ibu saya, sebagai Dimas, tidak ada perubahan dari saya sebelum atau sesudah mengatakan identitas saya.
Ibu saya juga sempat menyampaikan bahwa, “Mama mau Dimas seperti Dimas yang dahulu.”
Dengan perlahan, saya menjawab permintaan ibu. Saya menjelaskan bahwa Dimas sekarang adalah tetap Dimas yang dahulu. Ibu kini sudah mengetahui sesuatu hal tentang Dimas yang sebelumnya sudah ada, tetapi belum ibu ketahui dengan pasti. Saya tetap adalah anak yang sama.
Kebanyakan, reaksi pertama orangtua bukanlah reaksi yang sebenarnya.
Saya juga meyakinkan bahwa Dimas akan menjadi anak yang selalu bisa ibu saya banggakan. Saya mengatakan bahwa Dimas tetap bisa melakukan apa pun yang Dimas inginkan karena prestasi saya tidak ditentukan oleh orientasi seksual saya.
Saya menggenggam tangan ibu. Awalnya saya berusaha untuk tidak menangis dan berusaha kuat di depan ibu tetapi air mata cinta saya kepadanya tidak bisa berbohong. Saya mulai menitikkan air mata ketika menggenggam tangan Ibu.
Sambil menggenggam tangannya, saya mengatakan, “Dengan situasi Dimas seperti ini, bukan berarti Dimas langsung melakukan tindakan amoral. Mama tetap bisa membanggakan Dimas dan Dimas akan tetap melakukan sesuatu yang membuat mama bangga.”
Akhirnya mama berpesan kepada saya untuk menjaga pergaulan. Mama khawatir bahwa anaknya akan dikucilkan dan dibenci masyarakat yang belum paham. Saya meyakinkan bahwa di Jakarta berbeda dengan di Padang. Banyak orang yang mendukung Dimas di Jakarta dan saya akan baik-baik saja. Kami pun berpelukan.
Hubungan saya dan ibu saya sangat baik sampai sekarang. Tidak ada yang berubah dengan hubungan saya dengan ibu. Bahkan, hubungan kami sekarang semakin dekat karena saya merasa ibu menyayangi saya tanpa saya harus berpura-pura lagi. Kini, saya merasa ibu menyayangi Dimas sebagai Dimas yang lengkap.
***
Dimas Mahendra lahir pada 30 Agustus 1996. Setelah lulus dari SMA 1 Padang, Dimas meneruskan pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kini, ia menjadi salah satu pengurus di SGRC UI (Support Group and Reseach Center on Sexuality Studies). Sewaktu masih di bangku sekolah, ia pernah menjadi pembicara di acara Fully Residential School International Symposium. Dalam acara tersebut, Dimas berbicara mengenai kebudayaan di depan perwakilan 16 negara. Sapa Dimas dalam akun Twitter dan Ask.FM @Dimdim_sudim.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langlah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
20 Responses to “Pemahaman Seksualitas yang Tepat Banyak Membantu Dimas ketika Melela”
December 8, 2015
ESalah satu hal yang menjadi permasalahan di Indonesia adalah minimnya toleransi, dan diskriminasi terhadap kaum minoritas.
Saya tahu dan mengerti rasanya didiskriminasi (tau juga rasanya mendiskriminasi org lain), krn saya hidup sejak kecil dalam lingkungan yg seperti itu.
Lingkungan di mana org tua, guru, dan masyarakat mengatakan bhw…
“Eh jangan deket2 sm dia, nanti lo ketularan! ”
“Eh jangan deket2 sm orang cina! Eh jangan nonton starworld, tontonan kristen!”
“Jangan bergaul sama org yang blablabla”
Jangan ini, jangan itu.
Pandangan saya terkait perbedaan (baik itu seksualitas, agama, dll) sama seperti kakak. Saya punya mimpi, mimpi di mana kita sebagai masyarakat Indonesia, hidup bersama-sama dengan sejahtera, bahagia, aman, dan nyaman, tanpa beban sosial.
Dan saya yakin, mimpi itu akan dapat terwujud. Ya, sedikit lagi bisa, kok. Kita hanya perlu berjuang bersama-sama melawan pandangan eksklusivitas dan diskriminasi tsb.
Btw, jangan khawatir tentang identitas kakak. Saya, mewalili seluruh angkatan saya (PsikoUI2015) akan MENDUKUNG PENUH untuk menghapuskan isu-isu diskriminasi seperti ini.
Jangan sungkan2 untuk meminta tolong kepada kami jika kakak ada masalah, kami adik tingkat kakak akan selalu mendukung kakak.
Sincerely, Ketua Angkatan 2015.
December 9, 2015
HHey there buddy,
When i saw this article, i can finally feel relief.
Relieved to know that you’ve sorted things out with your friends, your family, and most importantly, with yourself.
To be completely honest, i, myself have no complete understanding of whatever you are going through so i can’t say “i know how you feel bro” (yah engga mungkin ada yg bisa paham 100% perasaan orang lain sih haha)
As a friend, i want you to be happy. And for you to be happy is for you be able to come terms with yourself and eventually, love yourself.
It may take time for the people out of your circle to understand, but it’s okay.
Keep your head up high and keep up the spirit. Keep on finding more answers to your condition. Hopefully, sooner or later, you will find youself at the end of the road and find the ultimate truth.
Until then, i will stand right behind you to give support whenever you need it 🙂
P.s please do talk to me about your issues sometime and share your knowledge with me, kay? Because even i, am still one of those ignorant people who still lack knowledge of people who share the same situation as you.
With much love,
H
December 10, 2015
jessicaHi, kak! Aku baca artikel kakak barusan terus aku lega.. aku ngerti kok sama perasaan kakak yang apa yang kakak alami di cerita tersebut… Semangat terus yaaa kak! I hope you can be happy, aku selalu dukung kakak dalam keadaan apapun… kalo ada masalah apapun, kakak boleh cerita ke aku kok..
December 10, 2015
A, from cumiI always support u kok dim 🙂
December 10, 2015
Ceh ko bagus. kusuka. lov c
December 14, 2015
Ferena DebinevaHi Dimas, it takes courage, and process to finally coming out. Coming out is a long-process, and you’re one step ahead. Congratulations <3
I'm proud of you, and will always do. Your bravery inspires lots of people! How cool is that!
And for E, thank you so much. Now I can clearly say, this is one of the rarest moment that I can really be proud of my own faculty.
It really is an honor to know you personally, Dimas.
Tons of hugs!
Ferena Debineva
Founder & Chairperson of SGRC UI, and…
your friend 🙂
December 16, 2015
retnoSemua terlahir sama sebagai bayi yg suci..
Jika akhirnya berbeda itu krn suatu kondisi jiwa. Bunda mengerti apa yg nanda rasakan..
Bunda bs rasakan getar jiwa dan hati mamamu..krn bunda jg seorang ibu.semg mama mu senantiasa bangga padamu
Jaga diri baik baik nak…tetap ingat Allah swt. Semg esok adalah hari terbaikmu. Bunda jg seorang ibu dari seorang anak tunggal laki laki yg usianya satu tahun lbh tua dr ananda. Bunda hy bs berdoa ananda akan menemukan jln yg sangat indah..
January 21, 2016
NNhebat berani come out ke peer group daan diterima sangat baik oleh mereka.
January 21, 2016
IndhinaI would just hug u right after we meet later dim,for young man in that situation wouldnt be easy to deal ,had to living in the middle of citizen that find you are as the “different” one,but you just did it,u embrace it,u always keep your track into your path! Ttp semangat,ttp berprestasi dan keep it cool yaaa! Kamu bikin aku smakin smangat buat ngambil matakuliah minoritas di smt ini,supaya bisa lend a hand utk memeperjuangkan org org yg berada di situasi sepertimu ^^ you are not different,you are human also,always be whatever you want to be,either for good or bad you already now the whole risk by knowing there are still many people who always beside you yaaaaa <3
And!!! Surely need to arrange our appoinment later with cita also 😀
January 22, 2016
-Pujangga Padang-i got the same thing with u,
and im from Padang too,
yeah,
after graduate from my university, before im going to Jakarta,
i try to be an “open book” to my close friends, and also my mama of course (thats before i red this article),
and now,
i feel free but it doesnt mean that im an animal or something who ready to eat every single men in front of me,
and i’ll never do something like … u know what i mean,
i just need to be loved and they understand that i am human too,
so ,…
yeah, i got ur feelin dimas,
dont forget to Always share with Allah…
-Pujangga Padang-
March 19, 2017
DouglasAre u from diponegoro university bro?
I mean.. maybe i know u before
January 22, 2016
Daku pengen banget kenalan sama orang-orang seperti kakak. Mungkin karna pengen bgt punya sahabat yang bisa diajakin baper sekaligus melindungi. Hehe. Mumpung aku dari fakultas tetangga kenalan yuk kak 😀
Cheer up, kak. And always be yourself 🙂
January 24, 2016
dfAku kenal anak ini, gak nyangka sih, semoga yang terbaik aja buat kamu dimas
January 30, 2016
-adik sealmamaterHalo kak dim
Terkadang aku juga bingung, kenapa banyak orang yang menganggap sesuatu yang ‘jarang’ adalah hal yang salah.
Padahal mereka tidak merasakan dan mengalami hal tersebut.
Saat ditanya tentang hal yg berkaitan dengan homoseksual, mereka pasti berlebihan dan menganggap bahwa hal itu adalah sesuatu yang sangat salah. Padahal mungkin saja, bukan? Di masa depan mereka akan menjadi salah satu dari hal yang mereka benci.
Hehe
Btw
Sangat tersentuh dengan ceritamu, tentang bagaimana kak dim mengungkapkannya kepada Sang mama. Such a heart warming
I support you kakk, lets make this world even better with person like you.
😉
February 4, 2016
SetyaMakasih udah berbagi. Tak terasa air mata tiba” mau menetes. Saat kamu mengungkapkan ke ibu sangat menyentuh.
Salam. Setya
February 22, 2016
avycennaKita seangkatan, bahkan kamu mungkin tau dengan beberapa temanku yg juga di Smansa. Btw nice to meet you dims! I support and hope you are always happy. You got what you want, and i think it’s amazing cause you can coming out to people around you. Berbeda dengan aku yg masih harus menutup diri disini karena budaya yang menghakimi.
Note :
Kapan balik ke padang? kalau balik bilang yaa. Btw aku alumni sekolah “tetangga” (iykwim sekolah tetangga yang mana) ☺☺
October 12, 2016
jafarMakasih ya dimas ceritanya membuat sy merasa lebih lega,orientasi kita sama saya sekarang lagi dalam proses melela doakan sy semoga lancarya.
May 5, 2017
RickyHai Dimas…kamu gak sendiri. Kamu pasti bisa melewati semua dengan baik. Saya berdoa semoga kamu menjadi motivator anak muda di negeri ini
April 10, 2018
bobbySaya bahkan butuh waktu hingga 20 tahun untuk dapat diterima oleh orang tua saya, hahaha…
Saya bukan gay, saya transgender yang tidak melakukan penyesuaian fisik, hahaha… lebih sulit lagi dari antum antum.
May 9, 2020
padangIts ok for you to be happy!!