Dimarjinalkan bukan hal baru dalam hidup saya. Sebagai seorang anak yang lahir dari keluarga Tionghoa, di Indonesia, biaya hidup kami dua kali lipat dari masyarakat pribumi. Kami harus membayar pajak dua kali lipat dan uang sekolah saya pun dua kali lipat, berbeda dengan siswa lain. Itulah yang terjadi di Indonesia sewaktu saya kecil. Kini, saya merasa dibeda-bedakan karena banyak masyarakat menganggap saya sakit. Saya tidak suka dengan pemakaian kata ‘sakit’ untuk orang-orang seperti saya. Mereka merasa bahwa gay adalah penyakit yang harus disembuhkan, padahal sebenarnya tidak. Saya tidak sakit. Saya normal. Penggunaan kata ‘sakit; untuk orang seperti saya adalah kejam.
Saya tidak sakit. Saya normal. Penggunaan kata ‘sakit’ untuk orang seperti saja adalah kejam.
Saya sedih masyarakat yang menggunakan kata ‘sakit’ tidak pernah memikirkan masak-masak konsekuensi yang bisa ditimbulkannya, apalagi jika itu ditujukan pada LGBT remaja. Anggapan ini bisa membuat seseorang tumbuh dengan rasa percaya diri yang rendah dan mudah diintimidasi. Terkadang orang bisa merasa menang jika sudah berhasil mengintimidasi. Mereka berharap bisa menjadi benar dengan menyalahkan orang lain. Padahal, itu bukanlah satu-satunya cara jika memang ingin terlihat ‘benar’.
***
Pertama kali memiliki kekasih seorang pria ketika saya bersekolah di Amerika Serikat. Saya meneruskan pendidikan ke sana setelah lulus dari SMA di Medan. Bersama kekasih saya, saya merasa nyaman. Rasanya tidak ada beban. Bersamanya, saya tidak harus berpura-pura, tidak harus mengenakan topeng.
Menjadi gay adalah kenyataan yang sudah saya temui dari kecil, sebelum saya pergi meneruskan sekolah ke Amerika Serikat. Pada saat itu saya masih tidak tahu bagaimana memberitahukan hal ini kepada teman-teman saya, tetapi saya juga tidak menutupinya kepada mereka. Rasanya teman-teman pun juga tahu, karena saya hampir setiap minggu menghabiskan waktu dengan satu orang yang sama.
Ketika masih sekolah di Amerika, saya merasakan adanya dorongan untuk memberitahukan seseorang mengenai hal ini. Saya ingin menemukan seseorang yang dekat dengan saya untuk berbagi kisah suka dan duka. Saya berpikir untuk memberitahukan kakak perempuan saya. Dari semua anggota keluarga, ialah sosok yang paling dekat dengan saya. Butuh beberapa saat untuk meyakinkan kembali diri saya akan apa yang hendak saya sampaikan kepada kakak saya. Saya sempat menelponnya beberapa kali dan ingin memberitahunya tetapi batal, sampai akhirnya kakak saya bertanya kepada saya, “What’s going on? What’s going on? Do you want to tell me something?”
Di saat itulah saya merasa kedekatan dengan kakak saya. Jika kita dekat dengan seseorang, orang tersebut bisa membaca jika ada hal yang ingin disampaikan, dan kakak saya merasakan hal ini. Ia bisa merasakan ada hal yang ingin saya sampaikan. Akhirnya saya menjawab pertanyaannya.
Menjadi gay adalah kenyataan yang sudah saya temui dari kecil, sebelum saya pergi meneruskan sekolah ke Amerika Serikat.
Saya mengatakan padanya bahwa saya seorang gay. Reaksi pertama yang muncul cukup dapat dipahami. Ia takut masyarakat belum siap menerima keberadaan orang-orang seperti saya. Dalam percakapan itu, ia sempat meminta saya untuk berubah. Saya rasa itu adalah permintaan yang tidak mungkin saya penuhi. Saya bahkan menjawab dengan setengah bercanda kepada kakak saya, “Jika kamu bisa mengubah diri menjadi seorang lesbian, mungkin saya juga bisa tertarik kepada seorang wanita.”
Saya tidak pernah berpikir untuk menjalani hidup menikah dengan wanita. Saya seorang gay, dan apabila saya tetap memaksakan menikah dengan wanita, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Saya tidak ingin membangun keluarga dengan landasan kebohongan. Apalagi jika saya memiliki anak dengannya. Apa yang harus saya katakan pada anak saya? Haruskah saya berbohong padanya?Anak-anak memiliki persepsi yang kuat. Anak-anak bisa tahu apakah orangtuanya sedang bertengkar, walaupun orangtuanya tidak memberitahukannya. Anak-anak pun bisa mengetahui suasana hati orangtuanya sebelum orangtuanya sendiri menyadari bagaimana suasana hatinya! Jika kita harus berbohong kepada anak kita, artinya anak akan diajarkan berbohong, dan ia akan belajar untuk berbohong kepada orang lain.
***
Anthony Tjokro menamatkan pendidikannya di California State University, Los Angeles, Amerika Serikat. Ia meraih dua gelar sarjana di bidang perkembangan anak dan biologi. Setelah hidup di Amerika Serikat selama 29 tahun, ia memutuskan kembali ke Indonesia. Saat ini ia sedang membangun bisnisnya di bidang ritel kertas. Anthony Tjokro bisa dihubungi melalui contact@melela.org.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Kirimkan kisah Anda ke alamat e-mail contact@melela.org. Baca langkah-langlah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Anthony Menolak Dianggap ‘Sakit’”