Saya pertama kali melela kepada teman-teman klab nulis, pada tahun pertama saya kuliah. Di depan sebuah meja bundar yang riuh dengan percakapan, saya bilang bahwa ada hal yang ingin saya sampaikan.
Tiba-tiba salah satu teman langsung bertanya, “Elu gay, ya?” yang mungkin bermaksud bercanda.
“Iya,” jawab saya.
Percakapan mereda. Saya sudah tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya. Seingat saya, saya langsung pergi setelah menyampaikan hal tersebut!
***
Saya menyadari keinginan untuk mempunyai hubungan yang istimewa dengan teman laki-laki saya ketika SMP. Ada seorang teman yang menarik perhatian. Lama-lama namanya sering muncul di buku harian saya. Saya mencatat pembicaraan kami, setiap kejadian kelas yang berhubungan dengannya, dan bersenang hati ketika suatu hari dia bercanda dengan menirukan cara saya bicara. Saya merasa candaannya itu tidak jahat, tapi merupakan tanda keakraban.
Saya tidak pernah bilang kepada teman saya itu bahwa saya menyukainya. Saya merasa perasaan saya tidak wajar. Sebelumnya saya sering melihat dan pernah mengalami bagaimana sifat-sifat feminin dalam diri anak laki-laki dijadikan bahan ejekan yang menyakitkan. Pada waktu Bimbingan dan Konseling, selain menyampaikan bahaya kecanduan pornografi, guru kami juga menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan perilaku menyimpang. Saat itu, saya menyimpulkan perasaan saya harus dipendam. Lagipula saya juga tidak tahu apakah perasaan saya akan berlalu, atau akan terus saya rasakan.
Saya menyadari keinginan untuk mempunyai hubungan yang istimewa dengan teman laki-laki saya ketika SMP.
Semakin lama, saya menyadari bahwa dari waktu ke waktu, saya memang ‘menyukai’ laki-laki. (Saya bahkan tidak berani untuk menggunakan kata ‘cinta’. Saya tidak pernah menyatakan cinta atau mengirim surat cinta. Beberapa waktu kemudian, perasaan itu pudar, dan saya tidak tahu lagi apa yang saya rasakan itu cinta atau bukan.)
Namun, saya tidak pernah membicarakan mengenai perasaan saya kepada teman-teman, sehingga mengakibatkan hubungan saya dengan teman-teman jadi berjarak. Meskipun saya merasakan kebaikan hati mereka, saya tidak pernah bercerita hal yang paling mendasar tentang diri saya: apa dan siapa yang saya cintai. Saya takut disakiti karena hal yang saya cintai. Dan takut dianggap menyimpang. Saya menjaga jarak dan membangun tembok sebagai perlindungan dari orang-orang yang bisa menyakiti saya. Namun itu semua membuat saya kesepian. Ketika saya sendiri, saya dibayangi berbagai ketakutan tanpa tahu bagaimana cara menghadapinya. Sulit membayangkan kehidupan yang bebas dari ketakutan yang berhubungan dengan orientasi seksual saya. Saya sempat berharap untuk mengalami kecelakaan agar membebaskan saya dari hidup penuh rasa takut pada usia yang relatif muda.
Hal yang membantu saya melewati masa itu adalah menemukan potret tentang kehidupan homoseksual yang dapat saya kenali. Saya menonton serial televisi Six Feet Under dan berkenalan dengan tokoh David Fisher. Si David yang juga gay dan yang juga kesulitan menyampaikan hal paling mendasar dirinya kepada keluarganya. Jalan cerita David tidak pernah mengecilkan kesedihan yang dirasakan seorang gay, dan tidak menghindari hal-hal yang membahagiakannya. Menyimak lima musim serial Six Feet Under, penonton bakalan menyimak bagaimana David menerima dirinya sendiri, memperoleh penerimaan dan kasih sayang dari keluarganya, dan menjalin hubungan jangka panjang dengan orang yang dicintainya.
Saya sering melihat dan pernah mengalami bagaimana sifat-sifat feminin dalam diri anak laki-laki dijadikan bahan ejekan yang menyakitkan.
Saya mendapat manfaat menyimak cerita dari kebudayaan lain. Ketika menonton film, serial televisi, maupun membaca buku yang berasal dari belahan bumi yang lain, saya tersadar akan segala sesuatu yang mungkin terjadi. Bagi saya, Six Feet Under memberi harapan dan memunculkan keberanian untuk berdamai dengan diri saya. Saya mengenali potret kehidupan di dalamnya. Dalam keragaman budaya dan fisik manusia, kita juga dapat menemukan hal-hal yang bersifat universal. Menyimak cerita David, mulai tumbuh kepercayaan dalam diri saya, bahwa pada saatnya saya dapat menerima diri saya, mendapat kasih sayang dari orang-orang di sekitar saya, dan mencintai orang lain secara terbuka.
Saat itulah, saya memutuskan untuk mulai menceritakan hal mendasar tentang diri saya kepada orang-orang yang saya percayai. Saya percaya, saya baru membangun jembatan dengan orang lain jika sudah bercerita hal-hal yang saya cintai.
***
Sekarang saya geli jika ingat pengalaman pertama melela kepada teman-teman klab nulis. Waktu itu, saya bahkan tidak perlu bilang bahwa saya gay. Mereka adalah orang-orang pertama yang saya ceritai karena saya merasa nyaman berada di sekitar mereka. Kami sama-sama suka bercerita, membaca, dan mengekspresikan diri melalui tulisan. Saya percaya mereka telah mengenal saya menembus label yang ditempelkan orang lain kepada saya dan orang-orang lain yang juga mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari LGBT.
Dalam keragaman budaya dan fisik manusia, kita juga dapat menemukan hal-hal yang bersifat universal.
Lebih dari delapan tahun berlalu sejak saya pertama kali melela. Dulu saya pikir melela hanya dilakukan sekali, lalu selesai. Namun, rupanya tidak begitu. Semakin besar ruang kegiatan saya, semakin banyak orang yang saya jumpai, semakin sering juga saya menyatakan bahwa saya adalah laki-laki yang jatuh cinta kepada laki-laki.
Konon, kata ‘melela’ berarti menunjukkan jati diri secara elok. Semakin lama, saya merasa homoseksualitas adalah sebagian saja dari jati diri saya. Saya juga punya bagian-bagian lain yang terus berkembang. Saya senang ikut berbagai komunitas. Mulai dari komunitas penyuka sejarah, penonton film, sampai penggemar korespondensi via kartu pos. Saya pun suka menggambar. Setelah mendapatkan penerimaan dari teman-teman dekat, saya kembali memiliki cita-cita. Saya tersadarkan bahwa selama ini hal yang paling saya senangi adalah menulis dan membaca, saya bercita-cita bekerja di bidang penerbitan. Selepas lulus kuliah, cita-cita itu tercapai. Namun cita-cita, sebagaimana jati diri, adalah hal yang terus berkembang. Saat ini, saya bercita-cita mengerjakan buku yang yang membuat pembacanya mempertanyakan apa yang mungkin terjadi, serta mendorong dia lebih aktif dalam kehidupannya. Persis seperti bagaimana serial Six Feet Under berpengaruh dalam hidup saya.
***
Awal tahun ini, saya melela kepada ibu saya. Kami sedang makan di sebuah warung Soto Betawi. Topik pembicaraan kami awalnya tentang kematian. Bapak saya dan dua adiknya meninggal dalam usia yang relatif muda, semua karena penyakit jantung. Lalu Mama mengingat usianya sendiri, lantas mengatakan sebelum meninggal beliau ingin melihat saya menikah.
“Adek punya teman dekat, nggak?” tanya Mama. “Rencananya menikah di umur berapa?”
Selama ini saya kira Mama sudah tahu bahwa saya gay. Karena topik ini tidak pernah dibahas,kami terbiasa menghindari topik sulit. Saya juga tidak pernah bilang bahwa saya tidak akan menikah, karena siapa tahu, suatu hari saya bakalan bertemu dengan laki-laki yang baik dan menikahinya.
Saat Mama menanyakan kedua hal itu, akhirnya saya jawab, “Andika gay.”
Malamnya, saya mendengar Mama terisak. Saya merasa sangat sedih. Melela kepada Mama jauh lebih berat daripada kepada teman-teman, karena teman-teman nggak melahirkan dan membesarkan saya. Seluruh kebahagiaan dan kesedihan saya terjadi berkat orangtua saya, karena merekalah yang membuat saya berkesempatan untuk merasakan semua itu.
Mereka adalah orang-orang pertama yang saya ceritai karena saya merasa nyaman berada di sekitar mereka.
Keesokan paginya, Mama bilang lagi kalau beliau menyayangi saya. Saya merasa beruntung, karena sungguh-sungguh merasa disayangi. Sampai sekarang, kadang-kadang saya masih memikirkan soal itu. Saya percaya orangtua menurunkan sifat kepada anak yang dibesarkannya. Saya merasa mirip dengan Mama dalam hal suka bercerita, senang belajar hal baru, dan melakukan sesuatu dengan sepenuh hati.
***
Bagi saya, melela merupakan pilihan setiap orang, bukan keharusan. Setiap orang berhak menentukan apakah dia ingin berbagi sesuatu tentang dirinya atau tidak. Selama ini, saya merasa dampak kejujuran tidak pernah bisa ditebak. Seringkali dengan jujur kepada orang lain, seseorang membuka peluang dirinya untuk tersakiti. Karena kejujurannya bisa ditolak, bisa juga disalahpahami. Namun di sisi lain, ketika kejujuran diterima rasanya… perasaan terbaik yang pernah saya rasakan.
Keesokan paginya, Mama bilang lagi kalau beliau menyayangi saya. Saya merasa beruntung, karena sungguh-sungguh merasa disayangi.
Saya diterima karena menjadi diri sendiri, bukan karena memenuhi harapan orang lain. Inilah yang membuat saya terus melela kepada kenalan baru yang membuat saya nyaman. saya ingin membangun hubungan baik dengan mereka.
***
Semakin banyak orang yang menjadi teman dekat saya, semakin saya percaya pada dasarnya setiap orang ingin memiliki hidup yang bermakna. Setiap orang mungkin punya pemahaman yang berbeda tentang seperti apa hidup yang bermakna, tapi saya yakin masing-masing menghadapi kesulitannya. Kesulitan saya sebagai seorang gay, bukan satu-satunya kesulitan yang ada di dunia. Di belahan dunia yang satu banyak orang yang tinggal di medan perang. Di belahan dunia yang lain, teman-teman saya berjuang untuk mencicil rumah, menabung untuk membiayai pernikahan, berusaha mendapatkan anak, berobat untuk menyembuhkan penyakit yang dia derita, dll. Saya pun merasakan berbagai ketakutan: bagaimana jika saya berakhir sendirian? Bagaimana jika saya tidak pernah melakukan sesuatu yang berarti? Bagaimana jika kehidupan saya akan jauh berbeda dari keluarga dan teman-teman saya kebanyakan? Saya hidup dengan menghadapi ketakutan-ketakutan tersebut.
Saya merasa mirip dengan Mama dalam hal suka bercerita, senang belajar hal baru, dan melakukan sesuatu dengan sepenuh hati.
Meskipun cara masing-masing orang memaknai kehidupan berbeda, begitupun dengan kesulitan dan kekhawatiran masing-masing, saya menghargai perbedaan itu. Saya berusaha tidak mengecilkan makna hidup, kesulitan, dan kekhawatiran yang dihadapi teman-teman saya. Karena pada dasarnya kami semua sama.
***
Andika Budiman lahir di Jakarta, 26 November 1988. Sempat kuliah di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan. Sehari-hari bekerja sebagai editor di sebuah penerbit di Bandung. Andika senang jalan kaki, menulis, menggambar, dan berkorespondensi. Setiap Kamis malam menulis bersamaCouchsurfing Bandung Writer’s Club. Ia bisa disapa melalui Twitter: @namidoob atau di blog pribadinya, http://ngungsi.blogspot.com/
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
2 Responses to “Andika Bercerita tentang Harapan dan Ketakutannya”
July 1, 2016
Herdibagus..
July 1, 2016
Herdisuatu saat saya juga harus berani melela dengan kedua ortu saya..