Saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seseorang yang romantis atau sentimentil seperti ayah saya. Malah, saya melihat diri saya sebagai seseorang yang pragmatis. Alasan saya coming out ke orang tua saya pun sangat pragmatis: saya ingin leluasa pacaran di rumah.
Ceritanya begini. Pertama kali berada dalam hubungan serius dengan seorang wanita, saya masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Usia kekasih saya saat itu lebih tua beberapa tahun dari saya. Suatu ketika, ia sedang melalui hari yang kurang baik di pekerjaannya, dan kami memutuskan untuk membicarakannya.
Sayangnya, jaman itu masih belum banyak tempat-tempat nyaman bagi kami bisa berdua dan berbincang. Oleh karena itu kami memutuskan untuk berbincang di dalam mobil saja. Ketika melewati daerah perumahan Dharmawangsa, saya memberhentikan mobil. Kebetulan di situ areanya cukup nyaman dan sunyi, sehingga kami bisa berbicara lebih leluasa.
Namun, ketika berdua bersamanya di dalam mobil, tiba-tiba kaca mobil saya digedor. Seorang polisi ternyata menghampiri kami. Padahal kami tidak melakukan apa-apa, hanya berbicang karena kekasih saya sedang mengalami hari yang buruk. Saya menjawab gedoran itu dengan membuka kaca mobil dan polisi tersebut memandang kami berdua.
Saya bisa melihat raut wajah sang polisi terkejut. Mungkin, ia mengharapkan mobil berisi sepasang kekasih laki-laki dan perempuan dengan pakaian yang sudah setengah terbuka. Malahan, isi mobil adalah dua wanita, saya dengan kekasih saya, dengan pakaian yang masih rapi tersemat pada tempat yang seharusnya. Wajahnya bingung dan tiba-tiba menjadi gugup.
Wajah polisi itu semakin bingung sampai akhirnya ia bertanya apakah kami pacaran?
Lalu polisi bertanya apa yang kami lakukan di area ini, di dalam mobil? Ya, saya katakan bahwa kami hanya ngobrol. Saya merasa tidak harus menerangkan kehidupan pribadi saya, tetapi keadaan mendorong saya untuk melakukan sebaliknya. Wajah polisi itu semakin bingung sampai akhirnya ia bertanya apakah kami pacaran? Saya berikan jawaban yang sebenarnya: iya, kami pacaran.
Mendengar jawaban saya, ia mengatakan apa yang saya jalani sekarang tidak normal. Ia berbicara panjang. Ia juga mengatakan identitas saya adalah sebuah penyakit yang harus disembuhkan. Saya kesal mendengarnya. Sebagai mahasiswa psikologi, di awal perkuliahan, para mahasiswa sudah dihadapkan dengan pertanyaan, “What is normal?” dan salah satu diskusi utamanya adalah tentang homoseksualitas. Homoseksual sudah dikeluarkan dari buku Diagnostic Statistical Manual semenjak tahun 1973. Buku itu adalah panduan utama untuk para psikolog dan psikiater dalam menggolongkan sebuah keadaan dianggap gangguan psikologis atau bukan.
Sudah jelas bahwa saya sedang dihadapkan pada seseorang yang tidak mengetahui informasi tersebut. Namun, apakah ini saat yang tepat untuk memberikan kuliah Pengantar Psikologi Umum 1 kepada polisi tersebut? Saya rasa tidak. Saya hanya butuh menjadi sedikit lebih cerdas untuk membiarkan ini berlalu.
Pengalaman saya digedor polisi hanya semata-mata karena ingin berbincang dengan kekasih saya bukanlah peristiwa yang menyenangkan. Hal ini bisa sampai terjadi karena memang tidak ada tempat bagi saya, dan orang-orang seperti saya, untuk menjadi nyaman dan bisa menjadi diri sendiri.
Semenjak saat itu, saya merasa pacaran paling nyaman (sekaligus paling murah) adalah di rumah sendiri. Di rumah saya bisa menonton televisi bersama, mendengarkan musik, dan nyaman ngobrol berdua. Rasanya hidup akan jauh lebih sederhana seperti itu. Mengajak kekasih saya ke rumah, artinya saya harus mengatakan yang sejujurnya kepada keluarga saya di rumah.
***
Saya masih duduk di bangku kuliah tingkat tiga ketika membuka identitas saya kepada ayah saya. Kejadian ini terjadi tanpa direncanakan. Awalnya bermula ketika saya hendak meminjam notebook ayah saya (saat itu kami masih menyebutnya laptop). Saya pinjam laptop-nya bersama dengan tasnya. Saat membuka tas tersebut, di dalam salah satu kantongnya, saya menemukan sepucuk surat cinta. Saat itu ayah saya sudah menikah dengan ibu saya dan surat ini diberikan bukan dari ibu saya.
Saya gusar membacanya. Kegusaran ini tidak langsung saya sampaikan kepada ayah saya. Saya berpikir cukup matang apakah saya harus mengkonfrontasinya, dan kalau iya, bagaimana cara melakukannya dengan cerdas? Akhirnya saya menemukan jalan yang sifatnya 2-in-1.
Saat itu ayah sedang berada di perpustakaan di rumah kami, lantai dua. Di depannya saya mengkritik karena ia tidak jujur akan hal yang ia lakukan. Saya tanya, mengapa ia sulit sekali untuk jujur? Saya katakan, “Jujur itu tidak sulit, buktinya, saya bisa mengakui bahwa diri saya adalah seorang lesbian.”
Raut wajahnya berubah kaget ketika saya mengucapkan kalimat tersebut. Saya tidak yakin alasan kaget ayah saya apakah karena ia mengetahui saya seorang lesbian, atau karena surat cintanya terungkap oleh puterinya; tetapi itulah kali pertama saya menyatakan mengenai identitas diri saya kepada ayah saya.
Saya masih duduk di bangku kuliah tingkat tiga ketika membuka identitas saya kepada ayah saya. Kejadian ini terjadi tanpa direncanakan.
Ayah saya seorang yang sentimental, tetapi saya dibesarkan di keluarga yang jarang menunjukkan emosi. Jika makan malam bersama keluarga kami, di atas meja, kami tidak pernah membicarakan perasaan hati, misalnya dengan bertanya, “How’s your day?” Kebanyakan remah-remah obrolan berisi percakapan mengenai apa yang sedang terjadi di dunia.
Oleh karena itu, di keluarga kami, rasa kasih dan sayang tidak pernah disampaikan dengan penuh warna atau bumbu. Menurut saya, orang tua saya adalah orang tua yang baik, walau mungkin mereka akan sulit jadi pasangan suami istri teladan. Merekalah yang menamkan nilai-nilai hidup yang sampai sekarang masih saya jalankan. Misalnya pernah suatu ketika, saya menanyakan apakah mereka bangga memiliki anak seperti saya karena di sekolah, saya selalu berprestasi dan mendapat juara kelas. Menjawab pertanyaan saya, mereka mengatakan, “Jika kamu mendapatkan juara dan prestasi, kamu harus melakukannya untuk diri kamu. Bukan untuk orang lain. Lagi pula, dengan kemampuan kamu ya sudah seharusnya lah dapat nilai bagus.”
Semenjak saya mengatakan tentang diri saya ke ayah, tidak banyak percakapan mendalam mengenai hal ini. Ia segera beranjak ke luar bersama ibu saya untuk makan selepas saya membuka identitas saya kepadanya. Tidak lama setelah itu mereka berdua harus pergi ke luar negeri. Mereka meninggalkan sebuah surat dan buku berjudul Oranges Are Not The Only Fruit karangan Jeanette Winterson untuk saya. Saya menemukan surat dan buku dari mereka ketika baru pulang kuliah. Di surat itu mereka menyatakan bahwa mereka bisa menerima diri saya dan semuanya baik-baik saja….
***
Semenjak coming out, saya merasa lebih sehat dan lebih bahagia. Tidak hanya di rumah, semua teman-teman di kantor dan klien juga mengetahui tentang identitas saya. Bahkan, di perkerjaan, bos internasional nomor satu pun menjadikan saya sebagai salah satu contoh presentasinya ketika ia harus berbicara mengenai keberanian di sebuah konferensi periklanan di Singapura.
Setelah coming out, saya bisa lebih leluasa mengajak kekasih saya ke rumah dan bertemu dengan keluarga saya. Ketika bertemu ayah dan ibu saya pun, mereka berdua selalu ramah terhadap kekasih saya. Itu sudah cukup buat saya.
Orang yang sudah terbuka akan identitasnya tidak pantas merasa lebih tinggi daripada mereka yang belum.
Membuka diri kepada orang lain bukan hal sulit bagi saya. I always had it easy. Mungkin karena saya bekerja di bidang periklanan. Industri periklanan selalu memiliki tempat untuk orang-orang seperti saya. Despite the industry itself, I always make myself so good in what I do, it becomes others’ loss if they don’t want to have me in their business.
Namun, saya sadar terdapat beberapa orang yang mengalami pergolakan batin untuk berbicara mengenai identitasnya. Orang yang sudah terbuka akan identitasnya tidak pantas merasa lebih tinggi daripada mereka yang belum. Setiap orang punya jalannya masing-masing.
***
Paramita Mohamad kini berkiprah sebagai Chief Strategy Officer di agensi iklan internasional, Lowe. Mita—begitu ia akrab disapa—lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan sempat mengawali kariernya di biro riset Nielsen Indonesia. Ia juga sempat menetap di Paris, Prancis, saat bekerja di agensi Lowe Strateus. Kini, Mita bersama Nicky Yuventius menggagas akun twitter @nickymita guna membantu para insan LGBT agar tidak merasa sendirian. Mita dapat dihubungi melalui akun twitter pribadinya @sillysampi. Baca juga indahnya kisah penerimaan ayah kandung Mita, Goenawan Mohamad, di kolom Our Story.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
3 Responses to “Mudahnya Kejujuran À La Paramita Mohamad”
March 16, 2016
JanisHahaha Kak Mita lucu :)) Membuat senang orang yang baca.
August 4, 2023
Melela.orgKami juga senang kisah yang kami terbitkan membuat Janis senang membacanya.
Salam,
RD
August 23, 2021
kawesaya rasa GM akan lebih bahagia jika punya cucu, lalu meninang-nimang di taman dan lahir lagi puisi-puisi indah dari lidahnya.