Saya percaya manusia dilahirkan berbeda dan memiliki keunikannya masing-masing. Saya pun sedari kecil sudah merasa bahwa diri saya berbeda. Saya masih ingat sewaktu di taman kanak-kanak, saya dan teman-teman harus berfoto mengenakan seragam. Namun, saya malah mengenakan seragam saya dengan topi dimiringkan. Dan itu membuat saya nyaman. Di mata orang lain saya aneh, tetapi itu membuat saya nyaman.
Saya rasa tidak masalah ketika keanehan seseorang tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Berpenampilan aneh, selama dilakukan di acara yang tepat, orangnya nyaman, dan mengenakannya dengan percaya diri–adalah cara seseorang berekspresi. Sama seperti halnya di dunia fashion.
Namun, saya malah mengenakan seragam saya dengan topi dimiringkan. […] Di mata orang lain saya aneh, tetapi itu membuat saya nyaman.
Saya sempat bekerja di duna fashion bersama beberapa majalah terbesar di Indonesia, berawal dari Mahaka Media bersama Pak Erick Thohir, kemudian di Majalah Dewi di bawah perusahaan Femina Group. Di profesi ini, saya bertemu dengan insan-insan fashion yang bisa dengan leluasa mengekspresikan dirinya. Ada perempuan berdandan seperti laki-laki dan ada pula laki-laki berdandan seperti perempuan. Buat saya, dan dunia fashion Indonesia, itu adalah normal.
***
Namun, apa yang dianggap normal oleh sekelompok orang, bukan berarti dianggap normal bagi kelompok yang lain. Teman-teman yang dianggap berbeda sering dimarginalkan di masyarakat luas. Dimulai dengan panggilan-panggilan yang merendahkan seperti–maaf, bencong, banci, ngondek–atau jaman sekarang: boti. Tidak masalah ketika mereka nyaman dipanggil seperti itu, tetapi yang menurut saya jahat adalah ketika umpatan-umpatan itu terjadi di belakang mereka, di mana sekelompok orang bergosip menjatuhkan dan menertawakan orang yang mereka kenal hanya karena mereka berbeda.
Saya percaya gender dibentuk oleh masyarakat dan sifatnya tidak stabil. Apa yang dianggap maskulin sepuluh tahun lalu bisa dianggap feminin saat ini. Dahulu pria menangis dianggap cengeng, tetapi sekarang adalah bagian dari menjadi manusia.
Di dunia mode dan kecantikan, pria feminin dirayakan dan tidak dibelenggu. Ketika manusia dibiarkan menjadi dirinya sendiri, ia malah dengan mudah menjadi versi terbaiknya dan mampu lebih leluasa berkontribusi untuk lingkungannya. Sayangnya banyak dari mereka yang malah menghadapi kekerasan.
Apa yang dianggap maskulin sepuluh tahun lalu bisa dianggap feminin saat ini. Dahulu pria menangis dianggap cengeng, tetapi sekarang adalah bagian dari menjadi manusia.
Jika tadi di atas saya sudah bicara kekerasan verbal, kekerasan fisik juga kerap terjadi. Banyak dari mereka yang mendapatkan kekerasan dari orangtuanya. Ini sangatlah saya sayangkan karena akan menimbulkan luka batin yang harus diperbaiki dalam kurun waktu yang bisa menahun. Mungkin buat orangtua, kekerasan adalah bentuk kasih sayang dan cara mendidik yang ia percaya dapat mengubah jalan hidup anaknya. Namun, dampak dari kekerasan itu sudah pasti ada dan hasil ‘mengubah hidup’ seseorang belum tentu terwujud. Menggunakan kekerasan terhadap anak memiliki risiko yang sangat besar untuk dipertaruhkan.
***
Jika ada teman-teman LGBT yang sedang mengalami kekerasan verbal atau fisik, bertahanlah. Tidak semua anak mampu melawan atau lari dari situasi tersebut. Ibarat karakter ikan di film ‘Finding Nemo’ (2003), jadilah tokoh Dori yang terus berenang walaupun sedang terombang-ambing.
Mungkin buat orangtua, kekerasan adalah bentuk kasih sayang dan cara mendidik yang ia percaya dapat mengubah jalan hidup anaknya. Namun, […] Menggunakan kekerasan terhadap anak memiliki risiko yang sangat besar untuk dipertaruhkan.
Kalian tidak sendirian, kalian memiliki orang-orang lain yang mampu menerima keberbedaan kalian, dan kalian memiliki diri kalian sendiri di saat yang lain sedang berpaling.
***
Christine Evans lahir di Jakarta, 29 Januari 1988. Ia menamatkan pendidikan Sarjana Humaniora di bidang Linguistik-Leksikologi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Christine—begitu ia akrab disapa—kemudian mengejar gelar MBA di Paris, Prancis dan Shanghai, Tiongkok di bidang Global Fashion and Media dengan jalur beasiswa dari International Fashion Academy. Ia mendirikan perusahaan pertamanya di usia 23 tahun di bidang humas dan pemasaran digital. Saat ini ia berbasis di Bali dan sesekali pulang ke Jakarta. Di Bali, ia tinggal di Ubud dan mengelola perusahaan humas dan aktivasi jenama. Di waktu senggangnya, ia gemar melakukan yoga, lari, dan membaca buku filsafat.
Melela.org memberikan wadah pada insan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) serta non-LGBT untuk berbagi cerita, sekaligus meningkatkan pemahaman masyarakat akan kelompok minoritas di Indonesia. Di halaman PARENTS GUIDE, Anda dapat menemukan berbagai informasi yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua. Temukan menu PARENTS GUIDE di bagian atas laman ini atau baca di sini. Anda juga bisa meneruskan halaman PARENTS GUIDE ke orangtua yang membutuhkan.






















No Responses to “Christine Evans Menolak Mereka yang Berbeda Dimarginalkan”