Secara ekspresi gender, saya sudah menyadari bahwa saya berbeda semenjak kecil, kira-kira ketika masih duduk di bangku kelas 2 atau 3 SD. Dari kecil saya sudah lebih nyaman bergaul dengan teman-teman wanita. Teman saya yang laki-laki tidak sebanyak teman wanita saya. Kedekatan saya pun jauh lebih mudah dengan teman-teman wanita.
Mungkin guru saya pada jaman itu masih belum tahu bahwa mempermainkan ekspresi gender sebagai bahan lelucon adalah bentuk perundungan.
Hal ini membuat saya dirundung oleh beberapa teman, bahkan guru. Perilaku saya dianggap feminin, sering dipanggil “Bencong” oleh teman saya; bahkan guru pun ikutan ambil bagian dalam perundungan ini. Ibu saya sampai ke sekolah untuk menyatakan keberatannya akan perilaku guru saya yang suka membuat lelucon atas gaya saya. Mungkin guru saya pada jaman itu masih belum tahu bahwa mempermainkan ekspresi gender sebagai bahan lelucon adalah bentuk perundungan. Tentunya beda dengan guru jaman sekarang yang sudah lebih melek dan peka terhadap hal-hal seperti ini. Walau saya yakin, masih ada guru-guru yang lumayan kaku dan konservatif di sekolah jaman sekarang.
Namun, karena ada pengalaman seperti itu, saya mengubah strategi bergaul. Ketika masuk SMA, saya menjadi mudah berteman dengan siswa laki-laki karena saya membantu mereka dalam mengerjakan tugas Bahasa Inggris. Bahkan ketika ulangan pun saya tidak ragu untuk memberitahu jawaban ulangan kepada mereka. Hal ini membuat saya mudah mendapatkan bantuan dari siswa pria, sehingga tidak ada yang berani menggangu saya.
***
Pertama kali jatuh cinta dengan seorang pria mungkin dengan teman sekelas ketika saya duduk di kelas 3 SMA. Kami sempat dekat seperti orang pacaran, bahkan kami sempat berciuman. Namun, kedekatan kami sangat rahasia dan tidak diteruskan. Kami juga tidak membahasnya terlalu detail. Mungkin karena kami berdua tidak tahu namanya apa. Rasa ketertarikan itu ada dan sangat alami; tidak ada rasa bersalah karena kami menjadi dekat tanpa paksaan dan emosi yang hadir adalah jujur tanpa ingin menyakiti orang lain.
Ketika duduk di bangku kuliah, saya mulai terpapar dengan informasi mengenai seksualitas dan jati diri saya yang sebenarnya. Namun, saat itu belum secanggih sekarang yang ada aplikasi. Saat itu kita benar-benar harus keluar dan mencari sosok yang kita suka. Dulu ada klub namanya Tanamur dan Moonlight. Bedanya, kalau di Tanamur, isinya orang-orang yang agak elit. Di lantau dua, pojok belakang, isinya gay model, sosialita, orang berada—dan di situ kita sadar bahwa tidak semua orang bisa bicara dengan mereka dengan mudah. Dinamika gay jaman dahulu amat kerasa hierarkinya, tidak seperti sekarang.
Rasa ketertarikan itu ada dan sangat alami; tidak ada rasa bersalah karena kami menjadi dekat tanpa paksaan dan emosi yang hadir adalah jujur tanpa ingin menyakiti orang lain.
Justru inilah yang saya rasakan bahwa dinamikan gay jaman sekarang jauh lebih nyaman dibanding jaman dulu. Sekarang, sosialita, artis, atau kalangan elit bisa dengan mudah nyambung ketika ketemu. Tidak ada rasa segan atau menjaga jarak, kecuali kalau memang orangnya introvert. Anak-anak jaman sekarang yang lumayan ngetop di Instagram seperti punya keahlian menjadi ramah dan mudah nyambung ketika diajak bicara. Jaman dulu, kalau kita ‘tidak satu kasta’, jangan harap mereka mau bicara sama kita.
***
Saat ini saya sedang tidak memiliki kekasih. Mungkin kurang lebih sudah tiga tahun melajang. Saya menginginkan pasangan yang lebih muda, jika boleh memilih. Alasannya mudah saja; karena saya sempat dekat dengan beberapa orang yang usianya tidak jauh berbeda dari saya tetapi entah kenapa generasi saya ini sudah tidak begitu update terhadap hal-hal yang sedang terjadi. Mungkin mereka adalah generasi been there done that, ya? Jadi, ketertarikan mereka terhadap isu-isu kontemporer juga minim lantaran mereka merasa sudah melihat semuanya. Padahal, kejadian yang sama kalau terjadi di konteks yang berbeda hasilnya bisa amat sangat berbeda. Kejelian itu yang terkadang tidak diperoleh ketika kita sudah merasa melihat semuanya.
Dekat dengan mereka yang usianya lebih muda menjadi lebih menarik karena mereka masih punya gairah akan kehidupan. Masih ingin mencoba dan memahami banyak hal.
Dekat dengan mereka yang usianya lebih muda menjadi lebih menarik karena mereka masih punya gairah akan kehidupan. Masih ingin mencoba dan memahami banyak hal. Walhasil, ngobrol dengan mereka pun bisa menjadi sangat berselera karena kita sama-sama bisa belajar tentang perspektif yang berbeda. Ada banyak hal yang saya pelajari ketika ngobrol dengan mereka yang usianya 10 tahun lebih muda dari saya. Namun, tantangan dekat dengan mereka yang usianya muda adalah kecenderungan untuk dimanfaatkan. Saya ikhlas ketika itu untuk kebaikan mereka dan melihatnya sebagai risiko dekat dengan pria yang usianya lebih muda.
Walau begitu, ada pula anak-anak muda yang independen dan sungkan kalau ada orang lain yang membantunya secara finansial. Jaman sekarang mencari uang tidak sulit ketika mereka kreatif dan tidak mudah putus asa. Saya percaya suatu saat saya akan menemukan sosok pasangan yang tepat.
***
Arifaldi Dasril lahir di Bandung 11 Oktober 1973. Ia menamatkan kuliah di Universitas Trisakti jurusan manajemen. Selepas tamat sarjana, ia meneruskan kuliah Masters of Commerce di University of Sydney lalu menyambung MBA di University of Technology Sydney. Pengalaman bekerja cukup panjang, setelah bekerja di salah satu brand perawatan dan kecantikan terkemuka dari Paris, ia juga sempat menjabat sebagai Editor gaya hidup di media cetak terbesar di Indonesia; kini, Arif—begitu ia akrab disapa—menjalankan tiga usaha biro komunikasi miliknya: Magnifique, Forte, dan Pulse Peak. Sapa Arif di Instargram @Arifaldi.
No Responses to “Strategi Pertemanan Arifaldi Dasril”