Semenjak kecil saya sudah menyadari bahwa saya berbeda dengan yang lain. Lahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara, saya memiliki seorang kakak laki-laki dan tiga orang adik, dua laki-laki dan satu perempuan. Keluarga saya pun sudah menyadari hal ini sedari saya kecil dan saya sudah biasa menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah. Untungnya saudara-saudara saya maju membela saya jika ada yang mengganggu saya di sekolah, tetapi, sebenarnya saya pun tidak ambil pusing. Di satu sisi gerak-gerik saya yang feminin membuat saya dikenal di sekolah tetapi di sisi lain, saya pun sudah disibukkan dengan berjualan makanan ringan di sekolah.
Lahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara, saya memiliki seorang kakak laki-laki dan tiga orang adik, dua laki-laki dan satu perempuan.
Sedari kecil saya sudah dibiasakan untuk hidup mandiri dengan berjualan jajanan seperti cokelat dan camlian untuk teman-teman dan warga sekolah. Ini saya lakukan semenjak duduk di bangku sekolah dasar di SD Kesambi Dalam 1 Cirebon, terus sampai bersekolah di SMP Negeri 4 dan SMA 1 Cirebon. Kemampuan untuk hidup mandiri sedari kecil menjadi modal saya untuk berani meninggalkan Cirebon dan mengadu nasib ke Jakarta setamatnya SMA. Saya pergi ke Jakarta untuk mendapatkan lingkungan yang memungkinkan saya berekspresi sesuai dengan jati diri saya. Sesekali saya masih pulang ke rumah orangtua dengan membawakan oleh-oleh dari uang yang saya hasilkan dari pekerjaan saya di Jakarta.
Di Jakarta saya sempat bergabung dengan beberapa organisasi kelompok minoritas LGBT, salah satunya Arus Pelangi. Di Arus Pelangi, saya mendapatkan pemahaman dan berbagai bahan pustaka mengenai ekspresi gender dan ragam ekspresi wanita. Salah satunya buku karangan Kahlil Gibran tentang wanita yang menolak untuk berdandan. Melalui buku itu saya mulai memahami bahwa wanita tidak dibatasi dengan penampilan semata. Karena buku itu pula saya mulai perlahan berhenti mengejar konsep kecantikan yang menuntut wanita harus berdandan, dan buat saya sebagai transpuan, saya pun perlahan berhenti mengkonsumsi hormon. Saya beranjak menerjemahkan konsep kecantikan yang cocok untuk saya, yakni tidak harus berkulit putih, mulus, dan rambut yang lurus.
***
Proses pencarian jati diri dan pemahaman saya tentang ekspresi gender adalah salah satu yang mendorong saya untuk mendirikan Sanggar Swara, yakni organisasi berbasis pemberdayaan komunitas trans dengan salah satu program unggulannya adalah Trans School. Program ini berusaha mengatasi permasalahan komunitas transpuan seperti keterbelakangan pendidikan yang disebabkan ekspresi gender mereka membuat mereka sulit untuk mendapatkan pendidikan formal yang layak. Trans School menyediakan pendidikan alternatif yang membekali mereka dengan pemahaman mengenai hak asasi manusia, orientasi seksual, identitas gender, penerimaan diri sampai kewirausahaan. Trans School bukan kompetisi siapa yang paling cantik, tetapi mereka yang pernah mendapatkan pendidikan dari Trans School diharapkan mampu memahami dan membawa diri mereka dengan baik di masyarakat, sekaligus dapat menggariskan konsep cantik yang sesuai dengan diri mereka masing-masing.
Trans School bukanlah program untuk merekrut orang yang tadinya bukan trans menjadi berubah trans. Melainkan, kami memberdayakan kelompok trans yang sudah mulai menerima jati diri, ekspresi gender, dan identitas trans mereka tetapi merasa terbuang dan dipinggirkan di masyarakat. Trans School memberikan wadah kepada mereka dengan mengumpulkan mereka yang memiliki latar belakang senada, dengan harapan memberikan kenyamanan dan keamanan berbasis komunitas bagi mereka untuk menjadi diri sendiri tanpa takut disalahartikan. Karena, ketika merasa berbeda, kita akan merasa sendiri. Untuk mengatasi rasa kesendirian tersebut kita dapat bergabung ke komunitas yang sama dengan kita untuk berkumpul, berbagi, dan akhirnya saling-membantu.
Sesekali saya masih pulang ke rumah orangtua dengan membawakan oleh-oleh dari uang yang saya hasilkan dari pekerjaan saya di Jakarta.
Saat ini, urgensi yang paling mendesak untuk komunitas trans adalah pengakuan gender dari negara. Ini adalah permasalahan dasar yang masih membelenggu teman-teman komunitas. Negara dinilai masih abai mengenai gender yang dipilih oleh komunitas trans dengan mengerucutkan identitas menjadi jenis kelamin saja. Padahal banyak teman-teman trans yang menjalani hidup sebagai wanita dengan ekspresi gender feminin tetapi enggan melakukan operasi ganti kelamin karena merasa tidak harus. Hidup sebagai wanita ini artinya seorang trans membangun hidupnya dari kacamata perempuan, dari mulai cara berpikir, membawakan diri, dan menerjemahkan kehidupannya—tanpa harus melakukan proses medis yang tidak ia inginkan.
Padahal di saat negara mengakui gender mereka, kepercayaan diri mereka akan terbangun. Rasa mencintai diri sendiri akan lebih mudah dan akan mendorong mereka untuk mampu melakukan pilihan-pilihan sehat untuk diri sendiri serta masa depan mereka. Akan banyak masalah komunitas trans terselesaikan apabila hak mendasar mereka terpenuhi. Saya sadar, butuh kebesaran hati dari masyarakat dan pemangku jabatan untuk memberikan kesetaraan kepada kelompok yang selama ini mungkin dianggap aneh. Akan ada saatnya Indonesia akan menjadi besar bukan dengan menekan yang kecil dan terpinggirkan tetapi dengan memanusiakan mereka.
***
Menyoal kehidupan asmara, komunitas trans mampu mendapatkan kekasih, tetapi seringkali berujung ditinggalkan kekasih mereka karena merasa harus menikahi perempuan dengan alasan tuntutan masyarakat dan kemampuan untuk memiliki keturunan. Saya pun pernah menjalin hubungan dengan pria selama enam tahun, tetapi akhirnya saya harus merelakan dirinya menikah dengan seorang wanita. Untungnya, sebelum memutuskan untuk menikah, ia membicarakan terlebih dahulu dengan saya. Ia pun memperkenalkan calon isterinya kepada saya. Agak sulit untuk menerima kenyataan itu tetapi fakta bahwa ia bisa terbuka dengan hubungannya kepada saya harus saya hargai.
Tidak banyak pria yang mampu terbuka dengan hubungannya dengan seorang perempuan trans. Hubungan kami biasanya terjalin di belakang pintu tertutup dan ruang-ruang privat. Ketika di ruangan publik, banyak pria yang tidak nyaman. Oleh karena itulah banyak komunitas trans yang menginginkan memiliki kekasih pria asing.
Negara dinilai masih abai mengenai gender yang dipilih oleh komunitas trans dengan mengerucutkan identitas menjadi jenis kelamin saja
Saat ini saya sedang menjalin hubungan dengan seorang pria Indonesia. Usia hubungan kami sudah menginjak empat tahun. Saya sadar ada beberapa hal yang harus saya tanyakan kepadanya tentang sejauh mana ia nyaman mengenai hubungan kami di ruang publik. Misalnya, ketika perayaan ulangtahun, saya harus menanyakan kepadanya apakah ia nyaman ketika saya memberikan potongan kue pertama kepadanya.
Saya rasa inisiatif untuk bertanya sampai di mana batas nyaman pasangan adalah salah satu keunikan hubungan minoritas yang tidak ditemui di hubungan konvensional. Pasangan kebanyakan bisa merasa nyaman dengan mudah walau hanya bergandengan di ruang publik. Tidak dengan kami. Saling memahami dan menghormati batas kenyamanan masing-masing insan manusia adalah bekal awal membangun hubungan harmonis yang kami pahami.
***
Angela Ienes lahir di Cirebon, Jawa Barat 12 Oktober 1973. Saat berbagi kisahnya dengan melela.org, ia tergabung di Jaringan Transformasi Indonesia, yakni sebuah jaringan yang memberdayakan kelompok rentan di pelosok Indonesia. Ia salah satu pendiri dari Sanggar Swara pada tahun 2011 yang menelurkan beberapa program, salah satunya adalah Trans School dengan tujuan membekalkan komunitas transpuan dengan pemahaman HAM dan SOGIE. Ia juga membintangi serial Youtube berjudul “Salon Rumah Puan” di kanal Sanggar Swara di sini. Di waktu senggangnya, wanita berzodiak libra ini gemar memasak, melakukan perjalanan, dan menjalankan salon dengan layanan berdasarkan permintaan. “Membuat orang lain menjadi cantik memberikan kepuasan tersendiri buat saya,” ujarnya. Sapa Inez di akun Instagram @angelienes.
2 Responses to “Angela Ienes Mandiri Sejak Kecil”
December 7, 2023
JiaMamii orang yang strong dan penuh kebaikan miss u mami
February 26, 2024
LSaya minta tolong perbanyak kisah dari sudut pandang lesbian/sapphic/perempuan queer. Terakhir yang saya ingat hanya cerita dari Paramita Mohamad. Saya butuh lebih banyak representasi dan role model lain.