Menjadi seorang gay di negara dengan tingkat Human Development Index (HDI) di bawah rata-rata dunia merupakan hal yang sangat melelahkan bagi saya. HDI atau Indeks Pembangunan Manusia adalah gabungan perhitungan rata-rata yang didapatkan dari pengukuran perbandingan angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia uang dilansir oleh UNDP (United Nations Development Programme).
Menurut saya, akses pendidikan, salah satu faktor penting dalan perhitungan HDI suatu negara, menjadi alasan utama mengapa masyarakat Indonesia pada umumnya belum menerima seorang gay untuk melela. Saya percaya kebencian ataupun diskriminasi yang dirasakan oleh kelompok LGBT di Indonesia (dan di tempat lain) adalah karena ketidaktahuan masyarakat. Atas dasar itulah saya bersama beberapa teman yang memiliki ketertarikan atas isu gender dan seksualitas di Universitas Indonesia mendirikan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC). Misi dari organisasi yang kami bentuk ini adalah memberikan akses pendidikan seksualitas kepada civitas Universitas Indonesia dan masyarakat pada umumnya, sehingga tercipta lingkungan yang inklusif dan ramah bagi orang-orang yang memiliki orientasi seksual minoritas, sehingga mereka lebih nyaman untuk melela.
***
Saya pertama kali melela pada tingkat akhir di masa SMA. Keputusan saya melela adalah karena saya lelah harus berbohong kepada sahabat saya mengenai orientasi seksual saya. Tidak mudah mengambil keputusan untuk melela, karena saya takut sahabat saya menjauh setelah dia mengetahui bahwa saya seorang gay. Hal ini juga yang mungkin dirasakan teman-teman gay lainnya saat ingin melela ke teman mereka. Namun percayalah, kamu tidak pernah kehilangan sahabat ketika kamu menjadi diri kamu sendiri. Jika sahabatmu pergi saat dia mengetahui kebenaran akan identitas kamu, sesungguhnya itu adalah anugerah dari Tuhan karena Dia sedang memperlihatkan siapa sahabatmu yang sebenarnya.
Saya percaya kebencian ataupun diskriminasi yang dirasakan oleh kelompok LGBT di Indonesia (dan di tempat lain) adalah karena ketidaktahuan masyarakat.
Mungkin memang berat dan tidak semudah kedengarannya, sahabat saya pun sempat tidak mau bicara dengan saya untuk jangka waktu yang lama. Tetapi pada akhirnya dia mengerti dan sampai saat tulisan ini saya buat, dia masih menjadi salah satu sahabat terbaik saya.
***
Saya mulai menyadari ketertarikan terhadap laki-laki ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, renang merupakan salah satu mata pelajaran yang saya hindari. Rasanya saya mengerti alasan mengapa saya tidak bisa renang sampai saat ini: saat yang lain belajar renang, saya harus menghadapi tekanan berada satu kamar bilas dengan orang yang saya sukai.
Keputusan saya melela adalah karena saya lelah harus berbohong kepada sahabat saya mengenai orientasi seksual saya.
Semakin beranjak dewasa, saya pun semakin merasa yakin dengan fitrah orientasi seksual saya, dan semakin banyak orang yang tahu mengenai orientasi seksual saya. Beruntung saya masuk Fakultas Ekonomi UI, sebuah kampus neolib (katanya). Di sini, Anda adalah otak Anda, bukan orientasi seksual Anda. Saya bukan seorang gay yang meratapi nasib menjadi gay di pojok ruangan dan pasrah dengan keadaan. Saya ingin orang lain melihat saya dari kemampuan dan keahlian saya, bukan orientasi seksual saya. Itulah mengapa saya menjadi sedikit ambisius di kampus. Mungkin ini metode melela yang bisa diperdebatkan, tetapi menjadi ambisius sangat membantu saya untuk melela di lingkungan kampus. Toh interaksi sosial terjadi jika satu pihak membutuhkan sesuatu dari pihak lainnya, bukan? Maka jadilah pihak yang dibutuhkan dan memberikan value-added buat sekitar.
***
Setelah semua yang saya raih di kehidupan sosial saya, rasanya ada yang kurang jika saya tidak melela ke orangtua. Untuk itulah di akhir masa kuliah saya, saya memberanikan diri untuk melela ke orangtua saya. Banyak pertimbangan sebelum akhirnya saya melela, mulai dari membayangkan akan dimarahi dan disidang keluarga, dikucilkan, hingga membayangkan akan diusir oleh orangtua dan tidak diakui lagi sebagai anak. Namun dorongan untuk melela sangat kuat, karena saat itu saya sedang menjalani sebuah hubungan eksklusif dengan seorang pria, dan saya tipe anak yang sangat dekat dan selalu cerita ke Ibu mengenai apapun, termasuk kisah percintaan. Hingga pada saatnya saya melela, saya menceritakan mengenai apa yang saya rasakan sejak kecil, bagaimana saya merasa berbeda (dan bahagia) dengan orientasi seksual saya, dan semacamnya.
Namun percayalah, kamu tidak pernah kehilangan sahabat ketika kamu menjadi diri kamu sendiri.
Saya terlahir dari keluarga yang sederhana, tidak kaya raya. Jika Tuhan ingin menukar orangtua saya dengan pejabat penting di Negara ini atau pengusaha yang kaya raya sekalipun, saya akan menolaknya karena saya sangat merasa bersyukur terlahir di keluarga kecil ini: keluarga yang bisa menerima saya apa adanya dan tetap menyayangi saya.
***
Firmansyah merupakan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lulus pada tahun 2015 dengan predikat cum laude dan merupakan salah satu lulusan terbaik FEUI. Saat ini, selain menjadi business analyst di salah satu holding company di Indonesia, Firman juga merupakan cofounder dan treasurer dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, Universitas Indonesia. Sapa Firman melalui akun Twitter @Firmanisme
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka
2 Responses to “Melela Menunjukkan Siapa Sahabat Firman Sebenarnya”
January 24, 2016
Agatha DanastriWow, so proud of you buddy. 🙂
January 26, 2016
AntaKamu hebat, bukan Republika!