Saya memiliki seorang kawan homoseksual ketika duduk di kelas 1 SMA di Denpasar, Bali. Pada usia semuda itu, dia sudah melela kepada keluarganya, namun tidak mendapatkan dukungan yang positif. Keluarganya tergolong kaku dan konservatif. Ini mengakibatkan kawan saya jadi tidak betah di rumah dan selalu mencari kesempatan untuk lari dari keluarganya.
Kalau ia sedang berselisih dengan keluarganya, rumah saya menjadi salah satu tempat persinggahannya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana saya bisa membantu menyelesaikan masalah dia, kecuali dengan mendengar keluh kesahnya dan tidak menghakimi dia. Saya merasa hanya itu yang bisa saya berikan sebagai seorang teman: menyediakan tempat untuknya beristirahat sejenak dari perkelahian yang mungkin tidak akan selesai dengan keluarganya.
Siapa pun, gay atau bukan, pasti lelah jika harus bertengkar terus. Memberikan tempat singgah adalah jalan tengah sementara untuk ia dan keluarganya.
Kalau ia sedang berselisih dengan keluarganya, rumah saya menjadi salah satu tempat persinggahannya.
Saat ini, ia sudah sukses dengan karier internasional. Kami tidak lagi berkomunikasi selepas perguruan tinggi. Saya berharap ia tidak lagi harus menghadapi pertengkaran demi pertengkaran, seperti dahulu. Saya mendoakan yang terbaik buat kawan lama saya ini.
***
Sejak awal bergabung dengan TEMPO, saya sudah merasa cocok dengan kredo jurnalistik yang diusung media ini. TEMPO didirikan dengan semangat untuk memberikan suara buat mereka yang tak bisa bersuara: giving voice to the voiceless.
Sikap editorial kami soal itu amat jelas: kami akan selalu berpihak kepada kemanusiaan, mereka yang tertindas, rentan, dan mudah disalahartikan. Itu artinya berpihak pada LGBTQ.
Karena itu, wajar saja kalau kami beberapa kali memberitakan tema LGBTQ sebagai laporan utama di majalah mingguan, koran maupun online.
TEMPO melihat LGBT sebagai realitas dan bagian tak terpisahkan dari masyarakat kita. LGBT adalah identitas seseorang atau kelompok yang sebenarnya mampu hidup harmonis dan berdampingan dengan kelompok lain.
Masalahnya, sering kali banyak orang punya stigma atau persepsi negatif tentang LGBT yang membuat relasi interpersonal sulit dibangun. Padahal, jika kita mengenal kelompok ini lebih jauh, LGBT tidaklah identik dengan pornografi, kebiasaan gonta-ganti pasangan, dan seks bebas, seperti yang kerap kali dipersepsikan sebagian orang.
LGBT adalah identitas seseorang atau kelompok yang sebenarnya mampu hidup harmonis dan berdampingan dengan kelompok lain.
Keberpihakan TEMPO pada LGBT dan perjuangan mereka untuk melawan diskriminasi kami wujudkan dengan ikhtiar untuk membangun persepsi positif soal figur-figur LGBT dan mendorong publik untuk berdiskusi dengan terbuka mengenai isu ini. Kemampuan kita untuk bicara dengan rasional mengenai isu-isu sulit ini akan mendewasakan publik dan membantu kita hidup harmonis dalam perbedaan.
Tentu, harus saya akui, tak semua laporan kami bebas dari masalah. Ada saatnya kami melakukan kesalahan dalam pemberitaan tentang kawan-kawan LGBTQ dan menuai kritik keras.
Saya ingat satu ketika pemberitaan TEMPO mengenai sebuah kasus kriminalitas yang melibatkan pelaku LGBT diprotes lantaran terjebak pada sensasionalisme. Di dunia pers Indonesia, apalagi pers daring, kadang kala redaksi dilenakan oleh kepentingan untuk berburu klik dengan berita yang bombastis. Untunglah kritik dari kawan-kawan LGBT menyadarkan kami untuk mengkoreksi arah pemberitaan.
Difasilitasi oleh Mas Thowik dari www.Sejuk.org, redaksi TEMPO berdiskusi dengan beberapa perwakilan LGBT untuk mencari solusi kebijakan pemmberitaan yang tepat untuk isu ini.
Padahal, jika kita mengenal kelompok ini lebih jauh, LGBT tidaklah identik dengan pornografi, kebiasaan gonta-ganti pasangan, dan seks bebas, seperti yang kerap kali dipersepsikan sebagian orang.
Saya amat mengapresiasi kehadiran kawan-kawan aktivis LGBT dalam diskusi itu. Saya dan kawan-kawan redaksi belajar banyak. Misalnya, kami dikritik karena cenderung mengasosiasikan sosok LGBT dengan tindakan kriminal, perilaku seks yang tidak sehat dan sejenisnya. Padahal, dalam relitasnya, tidak semua LGBT berperilaku seperti itu, sama saja seperti kelompok masyarakat dengan orientasi seksual lain.
Pada diskusi itu, kami di redaksi setuju untuk mulai membangun persepsi yang positif soal LGBT, karena banyak dari mereka yang berprestasi, sopan, dan berkontribusi pada masyarakat.
Saya juga menegaskan bahwa redaksi TEMPO terbuka untuk teman-teman LGBT yang memiliki kemampuan di bidang jurnalistik. Sebuah redaksi yang plural dan menghormati perbedaan seperti TEMPO harus diisi dengan awak yang berasal dari berbagai latar belakang.
Saat berbagi cerita kepada www.melela.org, Wahyu Dhyatmika menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO. Ayah dua anak ini lahir di Denpasar, 40 tahun lalu. Ia menamatkan pendidikan sarjana di Universitas Airlangga jurusan Komunikasi dan mendapatkan gelar S2 dari Universitas Westminster, London, Inggris, jurusan Jurnalisme dengan jalur beasiswa Chevening. Di waktu luang, Bli Komang–begitu ia akrab disapa–gemar menghabiskan waktu di pantai bersama keluarganya atau membaca karya-karya sastra dari Eka Kurniawan, Ayu Utami, Leila Chudori atau Laksmi Pamuntjak. Sapa Bli Komang di akun Twitter @WahyuDhyatmika.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
No Responses to “Wahyu Dhyatmika dan Peran Media Memberi Ruang Setara untuk LGBTQ”