Melela saya sama seperti anak-anak LGBT Indonesia kebanyakan, yakni dengan tidak mengatakan, tetapi menunjukkan. Saya rasa, ibu saya sedari kecil sudah dapat merasakan bahwa anaknya berbeda. Namun, saya merasa harus tetap mengatakan langsung kepadanya. Secara resmi, saya bilang bahwa saya gay kepada ibu saya tahun 2000. Saat usia saya beranjak 20-an, adik saya hendak menikah. Dan sebagai orang Indonesia–dalam hal ini Jawa Sunda–adik saya meminta izin kepada saya untuk melangsungkan pernikahannya.
“Boleh nggak dilangkahin?” tanya adik saya.
Lalu saya menjawab bahwa hal itu bukanlah masalah. Justru kalau menunggu saya, bisa-bisa dia tidak akan menikah. Sayangnya, Indonesia belum memberikan pernikahan kesetaraan kepada semua rakyatnya, termasuk kepada orang-orang seperti saya, padahal saya sadar menikah adalah pilihan, bukan keharusan. Intinya, saya tidak ingin menghambat jodoh adik saya. Saya sampaikan kepada adik bahwa saya gay. Setelah percakapan dengan adik saya, mungkin ia menyampaikan alasan saya kepada ibu.
***
Di situlah saya mulai sadar bahwa inilah saat yang tepat untuk mengatakan siapa saya kepada orangtua saya. Dan orang yang saya pilih untuk mengetahui terlebih dahulu adalah ibu saya. Ini lantaran saya merasa nyaman dengan ibu saya. Ia memiliki banyak teman seperti saya, entah itu dari dunia mode atau kecantikan. Ibu saya adalah wanita yang cantik dan karena pergaulannya yang luas, ia memiliki gambaran tentang orang-orang seperti saya.
Ibu saya sedari kecil sudah dapat merasakan bahwa anaknya berbeda. Namun, saya merasa harus tetap mengatakan langsung kepadanya.
Saat ibu saya mengkonfirmasi alasan saya kepada adik, di situlah saya mengatakan memang benar bahwa saya gay kepada ibu. Reaksinya terdiam. Ia sempat tidak terlalu banyak komentar. Saya yakin, perlu waktu dirinya untuk memproses informasi tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, ibu sudah mulai bicara dan interaksi kami sudah kembali seperti semula. Tidak ada yang berubah dari hubungan kami, tetapi, kini saya merasa hubungan saya dengan orang yang saya sayangi lebih jujur, tanpa harus ada yang ditutup-tutupi.
***
Tadinya saya merasa tidak usah melela kepada bokap. Buat apa? Bukankah harusnya sudah sepaket dengan ibu? Saya tidak pernah membahas mengenai fitrah saya yang berbeda dengan orang lain. Namun, kenyataan tidak berjalan seperti itu. Lima tahun setelah saya melela kepada ibu, saya melela kepada bokap. Ini lantaran ada konflik keluarga. Salah satu keluarga saya yang lebih tua mengganggu saya karena saya berbeda dan bokap mengetahui hal itu. Ia kemudian menanyakan kepada saya dan saya menjawab dengan kesal bahwa saya memang gay.
“Walaupun gay, bukan berarti boleh diinjak-injak sama anggota keluarga lain dan diperlakukan semena-mena oleh mereka,” kata saya kepada bokap.
Di situlah saya secara tidak langsung menyampaikan bahwa saya sudah dewasa dan ternyata saya berbeda kepada bokap. Akhirnya bokap menyampaikan kepada saya untuk pintar-pintar menjaga diri.
***
Salah satu hal yang saya lakukan untuk menjaga diri saya adalah membekali diri saya dengan life skill. Ini penting sekali. Life skill membuat manusia bisa bertahan hidup, mandiri, dan merdeka secara finansial. Life skill ada berbagai macam dan ragamnya. Dari mulai keahlian bergaul, memasak, cukur rambut, sampai melukis. Life skill juga mengasah jiwa kewirausahaan manusia.
Sayangnya, Indonesia belum memberikan pernikahan kesetaraan kepada semua rakyatnya, termasuk kepada orang-orang seperti saya.
Saya cukup bangga di usia muda, ketika teman-teman saya masih minta uang kepada orangtua mereka, saya sudah tidak karena saya sudah membuka toko busana muslim kecil-kecilan di Bandung. Logika bisnis juga salah satu life skill yang saya asah dari remaja untuk bertahan hidup.
***
Saya rasa, gay atau bukan, menguasai life skill adalah hal yang penting. Namun, sebagai gay, hidup kita akan lebih sulit dibanding orang lain, oleh karena itu, kemampuan untuk memiliki life skill jauh lebih utama dan prioritas. Diri kita sendiri lah yang menentukan prioritas tersebut, bukan orang lain.
Ketika kita merdeka secara keuangan, ini akan berpengaruh dengan cara kita melihat diri kita dan membina hubungan dengan orang lain. Termasuk ketika mencari pacar. Jika saya punya pacar, itu karena saya memang jatuh cinta, bukan karena saya sekadar ingin nakal atau ingin dibelikan sepatu mahal dari Shanghai.
Nakal boleh, bego jangan.
Erik Mubarack, lahir di Tasikmalaya 3 November 1981. Di waktu luangnya, ia gemar melakukan olahraga renang dan ke pantai. Pria berzodiak Scorpio ini menamatkan pendidikan di Darul Hikam Boarding School di Bandung, lalu meneruskan ke STISI Bandung. Jika kamu ingin menyapa Erick, kirimkan email ke alamat email contact@melela.org dengan menuliskan “Erik Mubarack” sebagai judul email.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Resep Sukses Erik Mubarack”