Saya sempat khawatir ketika pemberitaan mengenai anak saya, Dena Rachman, ditampilkan oleh media. Di kali pertama berita tampil, saya menghindar dari sorotan wartawan. Namun, ketidakhadiran saya di media pada awal pemberitaan bukan berarti saya belum menerima apa yang terjadi terhadap anak saya. Proses penerimaan adalah fase yang sudah saya lewati sebelumnya.
Di media, mudah sekali membuat seorang sosok menjadi sensasional dengan menyorot sisi negatif saja demi mendapatkan sensasi semata. Sisi negatif ini menjadi sering diekspos karena mudah dijual ke masyarakat. Saya sempat khawatir hal ini terjadi, oleh itulah saya menunggu. Saat itu saya sedang melihat ke mana arah pemberitaan. Jika ternyata media lebih memilih menghakimi Dena, saya lebih baik tidak muncul, istri dan anak-anak saya juga akan saya anjurkan untuk melakukan hal yang sama.
Namun, ternyata, media dapat bersikap adil. Dena diberitakan sebagai manusia yang utuh, bukan skandal. Materi pemberitaan disajikan dengan seimbang dan tidak memojokkan. Media dapat memahami situasi yang sesungguhnya. Sama sekali tidak ada penghakiman dalam narasi pemberitaan. Media dapat berlaku bijak dan ini dapat membuat masyarakat Indonesia lebih cerdas dalam menyikapi perbedaan.
Setelah pemberitaan tentang Dena di media, tanggapan masyarakat positif sekali.
Kepada semua rekan di kantor, saya berusaha menunjukkan bahwa saya sudah menerima anak saya. Sebagai seorang ayah, saya ingin Dena bahagia. Beberapa dari mereka ada yang menanyakan langsung, tetapi ada pula yang belum tahu harus bersikap seperti apa agar tidak menyinggung perasaan saya. Saya rasa itu semua wajar.
Namun, saya tidak bisa melupakan reaksi positif dari teman-teman yang datang bertubi-tubi. Saya banyak menerima pesan BBM dari para rekan yang menyatakan rasa salut terhadap apa yang saya dan istri saya lakukan. Ternyata mereka menghargai sikap orangtua yang mampu menerima anaknya yang terlahir berbeda. Saya tidak menyangka akan mendapatkan reaksi ini. Beberapa orang penting di Indonesia bahkan menghubungi kami untuk berbincang mengenai Dena; kata mereka, “Salam, ya, buat si Cantik….” Saya semakin merasa telah mengambil keputusan yang tepat akan Dena.
Istri saya bercerita, melalui pemberitaan di media, ia kembali dipertemukan dengan sahabat-sahabat lamanya semasa SMA dahulu. Sahabat-sahabat lama tiba-tiba muncul kembali untuk memberikan perhatian dan mengucapkan selamat akan keputusan kami merangkul dan mendukung Dena untuk bahagia. Rasanya seperti reuni. Sama seperti mereka, saya dan istri pun bangga telah membesarkan Dena sebagai anak yang jujur. Ini semua membesarkan hati dan membuat kami semakin bangga akan Dena.
***
Saya pun harus jujur, bahwa awalnya tidak mudah menerima situasi Dena. Saya sudah merasakan ada yang berbeda dari Dena semenjak ia kecil. Ia tidak tumbuh seperti anak laki-laki yang lain. Di lingkungan pekerjaan, saya sering memiliki anak buah yang memiliki situasi serupa. Dalam menangani ini, saya bisa memberikan saran dan motivasi kepada mereka. Namun, rasanya berbeda jika situasi yang sama terjadi pada anak sendiri.
Dena anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami. Sebagai seorang ayah, saya sempat memiliki harapan akan hubungan layaknya sepasang sahabat pria dengan Dena. Saya sempat membayangkan bisa menyaksikan pertandingan bola bersama atau berbagi tips tentang cara mendekati wanita.
Saya pun sempat mengikuti ego saya sebagai orangtua, berusaha mengarahkannya untuk menjadi seperti apa yang saya inginkan. Sebagai seorang ayah yang menyayangi anaknya, saya berhak merasa khawatir. Mau jadi apa dia? Mau hidup seperti apa nanti?
Saya pernah memanfaatkan kedudukan saya sebagai ayah yang memiliki kuasa terhadap anaknya.
Saya memaksakan keinginan saya sebagai orangtua. Setiap hari adalah harapan buat saya untuk merubah Dena menjadi sosok yang saya inginkan. Kami jadi sering beradu pendapat. Hal ini malah membuat hubungan saya dengan Dena semakin jauh.
Namun, itu semua selesai ketika Dena menghampiri kami berdua. Pagi itu saya dan istri masih berada di kamar. Dena masuk ke kamar dan duduk bersama kami bertiga. Di situlah ia mengutarakan jatidiri dan perasaannya yang sesungguhnya.
Saya awalnya menangis. Rasa sayang kepada Dena dan harapan saya bergelut di dalam batin saya. Saya berusaha berkompromi dengan ego saya sebagai seorang ayah. Sekali mencoba untuk ikhlas, hari-hari saya jalani dengan semakin mudah dan hubungan saya dengan Dena menjadi lebih dekat. Saya tetap dapat menemukan sahabat yang saya inginkan, tetapi dengan bentuk lain.
Untuk kebahagian Dena, saya harus mengalahkan ego saya.
Bagi saya, kuncinya adalah memahami dan mendengarkan suara hati anak. Dari situ saya bisa mengerti perasaan anak saya. Saya bisa merasakan hati Dena sendiri pun bergelut akan keberadaan dirinya. Tidak mudah bagi Dena menerima ini. Saya dan istri saya tidak ingin menjadi orangtua yang egois.
***
Saya banyak mendengar orangtua lain yang mengalami situasi serupa dan menjadikan keadaan anaknya sebagai sebuah aib. Buat kami pribadi, keberbedaan Dena bukanlah sebuah aib. Dena tidak pernah minta dilahirkan berbeda. Begitu juga kami tidak pernah menyangka ini akan terjadi. Jadi, bagaimana situasi ini bisa dikatakan sebagai aib?
Sebagai orangtua, kami tidak pernah melihat Dena sebagai aib keluarga.
Apa yang terjadi bukanlah salah siapa-siapa. Saya tidak pernah malu dengan keadaan anak saya. Kami sudah melakukan peran kami sebagai orangtua dengan sebaik-baiknya dan itu masih terjadi sampai dengan hari ini. Begitu juga dengan Dena. Ia terus membuktikan dirinya sebagai anak yang baik, menyayangi orangtua, dan berprestasi di bidangnya.
Di ranah akademis, Dena membuktikan bahwa dirinya dapat berada di peringkat teratas semenjak masih duduk di bangku sekolah. Ini secara konsisten dibuktikan. Semenjak dulu, mengambil rapor untuk Dena adalah kegiatan yang selalu saya tunggu-tunggu. Saya selalu menadapat pujian dari guru-guru Dena di sekolah. Begitu pula saat ia berhasil diterima di Universitas Indonesia. Rasanya bangga sekali. Keinginan Dena untuk terus menimba ilmu dicapainya sampai menamatkan pendidikan pascasarjana di Italia. Prestasi Dena inilah salah satu alasan yang membantu saya untuk bisa menerimanya. Anak saya istimewa.
Saya dan istri saya berpendapat, bahwa setiap anak yang dilahirkan berhak untuk merasa bahagia. Anak tidak pernah minta untuk dilahirkan. Namun, adalah tugas orangtua untuk mendampingi anak-anak mereka dengan kasih sayang.
***
Bapak Acan Rachman adalah ayah kandung dari mantan penyanyi cilik Dena Rachman. Kini, ayah yang memiliki hobi mendengarkan musik, terutama musik-musik tahun 1980-an ini berprofesi sebagai Direktur Kreatif di PT Bunga Matahari dan PT Wartama. Bapak Acan juga bertindak sebagai pengawas di Sanggar Vandance CO. Korespondensi dengan Bapak Acan dapat dilakukan melalui contact@melela.org dan kisah Dena Rachman dapat dibaca di kolom Your Story. Melela.org menyampaikan terima kasih kepada Hotel Indonesia Kempinski yang telah membantu terlaksananya wawancara ini.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
One Response to “Resep Kasih Sayang Acan Rachman”
November 7, 2020
hendriardjoWalau terlambat saya mengetahui melela.org tapi saya merasa tidak terlambat untuk LGBT di negeri ini ada wadah untuk berbagi … selamat.