Nama saya Purba Widnyana dan menurut saya, melela adalah pilihan yang memberikan rasa lega. Pertama kali saya melela adalah kepada teman-teman kuliah di Yogyakarta. Namun, melela kepada keluargalah yang melepaskan beban terberat di hati karena saya tidak perlu lagi mengarang dan berbohong.
Saat itu saya baru pulang dari main. Saat menutup pagar rumah, memanggil saya, “Gus! Dari mana? Sini, ngobrol-ngobrol dulu.” Itu adalah moment yang sangat jarang sekali. Biasanya jam segini bapak masih di toko. Bapak tanya bagaimana kuliah saya, kalau lulus akan kerja di mana. Bapak juga menasehati saya untuk tidak keluar terus dan sekali-kali menengok kakek di Klungkung. Seperti biasanya, setiap saya pulkam ke Bali, saya akan mendahulukan untuk bertemu teman daripada berkunjung ke rumah anggota keluarga besar. Saya juga malas ke rumah kakek karena di sana sepi. Isinya cuman basa-basi.
Melela kepada keluargalah yang melepaskan beban terberat di hati
Setelah mengobrol dengan bapak, teman saya mengirimkan SMS. Dia bertanya kabar dan saya sedang apa, tetapi teman saya juga menanyakan apakah saya akan melela ke bapak. Saya jawab tidak, tentunya. Tapi tiba-tiba saja saya merasa inilah saat yang tepat untuk saya melela ke bapak. Walaupun secara emosional saya merasa lebih dekat dengan ibu, tapi secara intelektual saya merasa bapak orang yang paling tepat diajak bicara masalah seperti ini.
Setelah saya mengaku, bapak terdiam dengan tangan mengelus-elus dagu, menunjukkan bahwa dia sedang berfikir keras.
Okay, this is it. He is gonna kick me out of the house, pikir saya.
Dengan cepat gambaran masa depan saya tampil di otak saya. Keuangan keluarga akan hancur karena bapak jadi sakit-sakitan memikirkan saya, saya akan putus kuliah karena tidak ada biaya, dan semua saudara akan menyalahkan saya karena saya dianggap egois. Pokoknya sok drama deh!
Akhirnya bapak membuka mulutnya, tapi tidak ada kutukan, tidak ada juga ancaman yang keluar. bapak sempat tanya kenapa saya berani melela. “Karena capek bohong,” jawab saya.
Bapak tipe orangtua yang akan menanyakan dengan sangat detail kemana saya pergi. Menginap di rumah siapa, nama orangtuanya siapa, lengkap dengan alamat dan nomor rumahnya. Bapak malah tidak segan untuk benar-benar menelpon ke rumah teman saya. Makanya, setiap berbohong ke bapak itu butuh upaya yang tinggi. Kalian tahu tidak, bohong itu butuh daya ingat tingkat dewa. Karena daya ingat saya hanya tingkat kota, “fakta” dari kebohongan saya sering tidak konsisten.
Tapi tiba-tiba saja saya merasa inilah saat yang tepat untuk saya melela ke bapak.
Nah, untuk menghindari itu seringkali saya melibatkan orang lain. Contohnya teman baik saya, Dwikayana. Setiap saya akan pergi ke gay bar, saya akan minta Dwikayana berbohong untuk saya. Dalam bahasa Bali saya bilang, “Dek, aku mau pergi dugem lagi. Nanti kalau bapakku telpon, bilang ya aku nginep di rumahmu. Dan kalau bapak minta bicara denganku, bilang saja aku sedang di kamar mandi jadi tidak bisa terima telpon.”
Dwikayana, sebagai teman yang baik, selalu mengiyakan. Selain karena capek bohong, saya juga bilang ke bapak bahwa karena dia adalah orangtua saya, dia harus tahu siapa dan bagaimana anaknya. Lalu bapak diam lagi. Kali ini diamnya terasa jauh lebih lama dari sebelumnya.
“Ya sudah kalau memang begitu. Bapak bisa bagaimana lagi.” katanya.
“Tapi ingat lho. Kamu jangan dulu bicara ke ibumu. Kamu tahu, kan, bagaimana dia kalau dapat berita semacam ini,” bapak menambahkan.
***
Entah apa yang terjadi, esok paginya, saat saya sedang menemani bapak di toko, ibu memanggil saya keluar. Ibu mengkonfirmasi apa yang dia dengar mengenai saya. Mungkin ibu menguping malam itu karena kamarnya memang dekat teras.
Setiap berbohong ke bapak itu butuh upaya yang tinggi.
Alhasil, beradu argumenlah kami di depan toko. Bukan argumen seperti di sinetron, bukan. Ingatan saya mengenai argumen kami sudah terlalu kabur. Saya segera menyadari bahwa orangtua saya hanya khawatir mengenai keselamatan dan masa depan saya saat Ibu berkata, “Gay itu seperti waria-waria yang ada di jalan-jalan. Nanti kamu ditangkap polisi, bagaimana?”
Memang Ibu sempat berbicara mengenai agama, tapi tidak ada kutukan ataupun rasa jijik yang keluar.
Singkat cerita, Ibu akhirnya menjawab “Ya sudah kalau begitu.”
***
Ternyata melela saya tidak sedramatis yang saya kira. Banyak teman menganggap saya ini beruntung karena tidak ada drama dalam proses melela saya. Mereka menduga karena saya dari Bali yang orang-orangnya dianggap sudah biasa dengan hal-hal “aneh” karena pengaruh turisme. Ada juga yang bilang karena saya bukan Muslim. Tapi menurut saya, orangtua saya tidak pernah otoriter kepada anak-anaknya. Kami biasa beradu pendapat. Dan jika mereka sudah merasa tidak lagi memiliki argumen-argumen, mereka akan bilang “Ya sudah kalau begitu.”
Ternyata melela saya tidak sedramatis yang saya kira.
Di keluarga saya mungkin hanya ibu yang paling rajin sembahyang. Yang lainnya sembahyang saat upacara saja. Saya ingat di malam sebelum hari raya Nyepi, saya dan, entah, mungkin bapak atau ibu, belanja di Alfa Toko Gudang Rabat untuk keperluan makanan sangu saat Nyepi dan kardus bekas untuk menutup kisi-kisi rumah. Besok malamnya, saat Nyepi, TV dimasukkan ke dalam kamar supaya saya dan dua kakak perempuan saya bebas menonton TV sampai lewat tengah malam tanpa takut ketahuan pecalang, hehe. Saat itu kakak cowok saya entah dimana. Mungkin sedang menginap di rumah temannya. Dia memang biasa keluar sampai larut malam. Yang puasa dan sembahyang hanya Ibu. Bapak biasanya piket di hotel tempat kerjanya.
***
Di hari saya akan kembali ke Yogyakarta, Ibu memberikan saya buku Bhagavad Gita untuk di bawa ke Yogyakarta.
“Dibaca ya.” katanya.
Saya pikir, atas nama ilmu pengetahuan, baiklah saya terima. Kebetulan saya juga membawa buku Memberi Suara Pada Yang Bisu, saya bilang ke Ibu, “Ibu juga baca ini ya.”
Saya memberikan buku itu dengan harapan Ibu akan bisa lebih mengerti siapa saya lewat buku itu. Saya berharap Ibu akan mengerti bahwa gay itu memang sudah dari sananya dan tidak ada hubungannya dengan dosa sama sekali.
Orangtua saya tidak pernah otoriter kepada anak-anaknya.
Beberapa tahun kemudian, setelah beberapa kali saya menceritakan pengalaman melela saya ke teman-teman gay, saya baru menyadari bahwa kita tidak bisa meremehkan orangtua kita. Topeng “kenormalan” yang kita pasang dengan berlagak macho atau bahkan sengaja punya pacar perempuan untuk menutupi ke-gay-an kita tidak bisa menipu orangtua kita.
Besar kemungkinan mereka sudah curiga bahkan sudah tahu bahwa kita gay dari kebiasaan-kebiasaan kita. Seperti halnya bapak saya yang dalam diamnya memperhatikan kebiasaan saya dan anak-anaknya. Mungkin saja sebenarnya bapak sudah tahu dan hanya menunggu konfirmasi langsung dari saya.
***
I Ketut Purba Widnyana sedang mengambil master di Monash University, Australia, di program International Development Practice. Di sela-sela kegiatannya ia aktif di Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre sebagai sukarelawan, dan gemar berkeliling Melbourne CBD untuk mengambil foto-foto kehidupan kota. Ia juga juga relawan di GAYa NUSANTARA (GN) sebagai Communications & Social Media Program Assistant. Ia membantu GN untuk bisa lebih terkenal secara online terutama sejak 2016 karena sentimen anti-LGBT.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela atau menceritakan bagaimana lingkungan Anda mampu menerima Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
No Responses to “Melepaskan Topeng yang Purba”