Mungkin saya sudah menyadari diri saya berbeda semenjak saya mampu mengingat. Sewaktu saya berumur lima tahun, saya merasakan ketertarikan kepada teman wanita saya. Namun, saat itu saya tidak berani menunjukkan kepada siapa pun. Saya datang dari keluarga Protestan yang cukup konservatif.
Ketika masih remaja, saya sempat membenci diri saya sendiri karena saya memiliki kecenderungan yang berbeda. Saya rasa, kebencian ini berakar dari penyangkalan identitas. Saya tidak menerima bahwa diri saya memiliki ketertarikan kepada wanita dan orientasi ini membuat saya berbeda dengan orang-orang lain. Saya beranggapan bahwa saya adalah orang yang berdosa karena memiliki ketertarikan tersebut.
Ketika masih remaja, saya sempat membenci diri saya sendiri karena saya memiliki kecenderungan yang berbeda. Saya rasa, kebencian ini berakar dari penyangkalan identitas.
Saat duduk di bangku SMP, teman saya mengatakan bahwa dirinya seorang gay. Ia mengatakan bahwa dirinya memiliki ketertarikan terhadap laki-laki. Datang dari keluarga yang religius, membentuk saya menjadi seorang fundamentalis. Oleh karena itulah, ketika teman saya melela kepada saya, reaksi pertama saya adalah sedih. Saya menangis. Saya merasa gagal. Mungkin karena sikap saya yang fundamentalis, saya merasa gagal menjaga teman saya agar tetap berada di jalan yang ‘benar’.
Saya pun menceritakan kejadian ini kepada ayah saya di rumah. Katanya, “Beberapa orang memang terlahir berbeda.”
Itulah kali pertama percakapan saya dengan ayah saya yang seorang Protestan konservatif mengenai seksualitas. Di situ ayah seakan-akan menjelaskan dengan singkat bahwa memang ada beberapa orang yang sudah menerima keberbedaan dirinya semenjak orang tersebut bisa mengingat, dan ada pula beberapa orang lain yang butuh waktu untuk menerima jati dirinya yang sebenarnya. Lalu, setelah menerima jati dirinya, ia memilih menjalani hidup sesuai dengan jati dirinya yang lebih utuh.
***
Sampai SMA, saya belum berani mengatakan kepada orangtua tentang situasi saya. Namun, ketika masa SMA inilah saya sudah mulai menerima identitas diri saya. Mungkin alasan mulainya penerimaan diri saya ini terkait dengan pemahaman seksualitas. Semakin saya memahami mengenai seksualitas, semakin mudah saya menerima identitas saya. Saya tidak memberi klaim bahwa saya mengetahui semuanya tentang seksualitas, tetapi pada saat itu, saya memutuskan untuk membuka diri saya atas informasi mengenai seksualitas yang akan menambah pemahaman tentang diri saya dan dunia.
Ketika menjelang masuk kuliah, saya membuka diskusi mengenai seksualitas bersama kedua orangtua saya. Ini adalah salah satu strategi saya sebelum memutuskan melela kepada orangtua. Diskusi yang saya lakukan bersama orangtua saya bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana tanggapan mereka mengenai seksualitas dan gender, sebelum saya yakin akan membuka diri kepada mereka.
Ketika masa SMA inilah saya sudah mulai menerima identitas diri saya. Mungkin alasan mulainya penerimaan diri saya ini terkait dengan pemahaman seksualitas.
Diskusi yang saya lakukan bersama mereka adalah tentang konsep gender bread. Saya buatkan Power Point dan saya sambungkan ke televisi agar kami semua dapat melihat pemaparan dengan jelas. Gender bread adalah salah satu cara menjelaskan seksualitas dan gender. Dalam gender bread, kita bisa memperoleh informasi bahwa orientasi seksual harus dilihat dalam kacamata spektrum, sehingga kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa kita tidak bisa melihat manusia sebagai 100% heteroseksual atau 100% homoseksual. Lalu, gender bread juga menjelaskan tentang perbedaan identitas gender dan ekspresi gender. Jaman sekarang, informasi dan bagan gender bread dapat ditemukan di Google search engine dengan mudah.
Setelah menjelaskan, respon mereka cukup baik. Saya merasa banyak hal baru yang mereka ketahui mengenai seksualitas. Namun, walau pun begitu, saya pun masih belum berani menyampaikan identitas saya kepada orangtua.
***
Suatu ketika, ayah saya baru pulang dinas dari New York, Amerika Serikat. Ia mulai bercerita tentang teman-temannya yang memiliki latar belakang beragam. Ayah pun bercerita bahwa ia memiliki beberapa teman gay. Mereka bersahabat dan ayah menceritakan persahabatan mereka. Ternyata, dalam ceritanya tersebut, ayah baru menyadari bahwa dirinya secara tidak sadar memperlakukan mereka yang gay dan yang bukan dengan berbeda.
Dalam gender bread, kita bisa memperoleh informasi bahwa orientasi seksual harus dilihat dalam kacamata spektrum, sehingga kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa kita tidak bisa melihat manusia sebagai 100% heteroseksual atau 100% homoseksual.
Ayah menceritakan, dirinya tidak sungkan untuk memeluk mereka yang bukan gay sebagai salah satu dari sekian banyak gestur persahabatan. Namun, ia baru menyadari bahwa dirinya secara tidak sadar tidak pernah melakukan hal yang sama kepada teman-temannya yang gay.
Ketika ayah menceritakan itu, tersirat ada sedikit rasa penyesalan dalam dirinya. Saya menangkap bahwa dirinya merasa bersalah karena telah membangun dinding di antara teman-temannya dan memperlakukan mereka dengan berbeda. Di akhir ceritanya, ayah saya mengatakan bahwa dirinya harus lebih banyak belajar lagi.
Jaman sekarang, informasi dan bagan gender bread dapat ditemukan di Google search engine dengan mudah.
Saya merasa ada alasan lain mengapa ayah menceritakan kisah ini kepada keluarganya. Saat itu saya beranggapan bahwa ayah menceritakan ini lantaran ia ingin meyakinkan diri saya bahwa dirinya tidak ada masalah dengan mereka yang memiliki orientasi berbeda tetapi masih banyak hal-hal yang harus ia biasakan ketika berhadapan dengan mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda. Yang paling penting dari ceritanya, ia mengatakan bahwa dirinya akan banyak belajar. Pernyataan ayah membuat saya lebih tenang dan yakin bahwa ketika suatu saat saya melela kepadanya, ia akan mencoba memahami saya, bukan menghakimi. Keinginan memahami muncul karena keinginan untuk belajar.
Saya merasa kedua orangtua saya sudah mengetahui situasi saya. Namun, di satu sisi, mereka paham bahwa menanyakan langsung kepada anaknya bukanlah selalu jalan yang tepat. Dalam beberapa kasus melela, terdapat kemungkinan anak belum siap membuka dirinya ketika ditanya langsung oleh orangtua. Kebelumsiapan ini bisa membuat anak merasa terpojok, marah, dan berbohong. Oleh karena itulah, hal yang bisa dilakukan orangtua adalah membuat anak merasa nyaman dan inilah yang dilakukan kedua orangtua saya.
***
Orangtua saya membuat saya nyaman dengan diri saya. Sebegitu nyamannya, saya merasa tidak harus berpura-pura di hadapan mereka. Sampai suatu saat, ketika kami sedang makan bersama, orangtua saya menanyakan apakah ada orang yang sedang saya sukai.
Saya mengangguk dan mengatakan, “Yes. She’s beautiful.”
Ketika mengatakan itu, saya tidak sadar telah membuka diri saya di hadapan orangtua saya. Ini kali pertama saya mengatakan, secara tidak langsung, bahwa saya menyukai seorang wanita kepada mereka. Bahwa saya berbeda.
Dalam beberapa kasus melela, terdapat kemungkinan anak belum siap membuka dirinya ketika ditanya langsung oleh orangtua. Kebelumsiapan ini bisa membuat anak merasa terpojok, marah, dan berbohong.
Orangtua saya telah berhasil membuat diri saya begitu nyaman menjadi diri saya sendiri, sehingga ketika pertanyaan itu datang, saya langsung menjawabnya tanpa pikir panjang. Jawaban itu keluar secara alami, tidak direncanakan, dan tidak dibuat-buat, seperti layaknya cinta dan rasa sayang.
***
Sampai saat ini, saya melihat diri saya sebagai seorang panseksual. Maksudnya, walaupun saya pernah menyukai wanita, bukan berarti saya adalah seorang lesbian. Pemahaman panseksual memberikan kacamata lain dalam melihat seksualitas. Jika seksualitas seseorang adalah perpaduan antara kecenderungan heterosekual dan homoseksual–misalnya seksualitas seseorang terdiri atas 60% homoseksual dan 40% heteroseksual–pemahaman panseksual menekankan bahwa seseorang bisa saja menjalani hubungan dengan lawan jenisnya, walaupun ia hanya memiliki 40% kecenderungan orientasi heteroseksual. Dengan kata lain, panseksual melihat seksualitas sebagai sesuatu yang cair.
Pertanyaannya adalah, apakah orang tersebut bahagia dengan hubungan yang dimiliki? Atau tidak?
Orang biasa membuat kategori untuk memudahkan melihat fenomena dan mengidentifikasikan diri. Dalam kacamata seksualitas, misalnya, ada orang-orang yang nyaman dikategorikan sebagai heteroseksual dan ada pula yang orang yang nyaman berada dalam kategori homoseksual. Namun, mereka yang melihat dirinya sebagai panseksual tidak nyaman dengan tembok-tembok kategori tersebut.
Dengan kata lain, panseksual melihat seksualitas sebagai sesuatu yang cair.
Bagi remaja yang terlahir sebagai panseksual tetapi belum memiliki pemahaman mengenai panseksual, masa-masa pencarian jati diri bisa sangatlah membingungkan. Di satu sisi ia ingin mengkategorikan dirinya agar lebih mudah memahami dirinya, tetapi, kategori-kategori yang ada tidak selalu sejalan dengan jati dirinya. Saya pernah berada dalam situasi yang membingungkan tersebut.
Meminjam pemahaman orangtua saya tentang panseksual, “You’re just the kind of person who can fall in love with everybody.”
***
Luna Siagian adalah anak pertama dari lima bersaudara. Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia ini kini juga tergabung dalam SGRC UI (Support Group and Reseach Center on Sexuality Studies) yang merupakan kelompok riset mahasiswa mengenai seksualitas. Pada 2014, ia terpilih sebagai ‘Honorable Mention’ pada Jakarta International MUN yang diselenggarakan oleh Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS). Sapa mahasiswa kelahiran 14 November 1993 ini melalui situs ask.FM @Lunatalita atau Twitter di @Lxnxsgn.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Pengalaman Luna Sebagai Panseksual”