Sewaktu kecil, aku bermain dengan semua mainan. Semakin aku tumbuh, entah kenapa aku mulai tidak nyaman dengan sisi femininku. Secara perlahan, aku meninggalkan segala sesuatu yang tipikal anak perempuan sukai. Aku ingat sekali, aku sangat tergila-gila dengan Shonen (manga/anime yang ditunjukkan untuk laki-laki). Aku sering merengek ke mama untuk membelikanku merchandise dari anime yang kusukai. Aku juga lebih suka memakai kaos dan celana daripada dress ataupun rok. Mama beberapa kali membelikanku gaun terusan. Walau aku sebenarnya tidak suka, tapi aku aku terima saja supaya mama senang.
Mama beberapa kali membelikanku gaun terusan.
Saat aku puber dan bentuk tubuhku mulai berubah, aku mulai tidak menyukai tubuhku. Saat aku menatap cermin, aku selalu berandai-andai kalau aku adalah lelaki. Saat itu, aku sama sekali tidak mengetahui tentang transman. Waktu itu, kupikir transgender hanya transwoman saja.
***
Saat aku duduk di bangku SMP, mama beberapa kali berbicara soal temanku yang sangat feminin dan sudah memakai make-up. Mama sebenarnya tak pernah membandingkanku dengannya. Namun, dari kata-katanya tersirat kalau mama ingin sekali punya anak perempuan yang feminin. Namun, aku tetap ingin jadi diriku saja.
Walau aku sebenarnya tidak suka, tapi aku aku terima saja supaya mama senang.
Saat masuk masa SMA, mama menawariku untuk belajar di sekolah etika. Aku sebenarnya tidak mau, tapi aku ingat dengan perkataan mama yang tersirat kalau dia ingin punya anak feminin. Aku pun mengiyakan kata mama, supaya mama senang. Di sekolah etika tersebut, aku belajar bagaimana caranya untuk menjadi seorang ‘lady’. Saat aku lulus dari sana, aku mencoba untuk mempraktikkan apa yang sudah kupelajari di sana, supaya mama senang. Aku sebenarnya tidak menyukainya.
Aku beberapa kali melukai diriku karena segala ketidak nyamanan dan tekanan yang kualami. Aku tidak suka dianggap perempuan dan aku ingin sekali bicara soal ini ke mama dan papa tentang hal ini, tapi aku takut.
***
Saat aku kuliah, aku memotong pendek rambutku seperti tipikal seorang laki-laki. Aku juga mulai meninggalkan segala yang aku pelajari di sekolah etika. Aku merasa ada sedikit beban yang berkurang, walaupun mama kelihatannya tidak menyukainya.
Aku pun mencari informasi tentang transman Indonesia dari internet. Dari situ, aku tahu seorang transman Indonesia, Bang Abhi namanya. Aku ingin sekali bertemu dengan Bang Abhi dan mengobrol dengannya.
Aku tetap ingin jadi diriku saja.
Harapanku ternyata terkabul. Aku bertemu dengan Bang Abhi di Women’s March Jakarta 2018. Aku juga bertemu dengan teman Bang Abhi yang juga seorang transman, Bang Sam namanya. Selain Bang Abhi dan Bang Sam, aku juga bertemu dengan transmen lainnya yang seperti denganku. Aku senang sekali karena merasa bebanku jauh lebih ringan.
***
Namun, masalahku belum selesai. Aku masih mengalami depresi dan gejala ansietas. Aku kadang suka menangis karena keadaanku. Suatu hari, mama memergokiku menangis di kamarku. Mama khawatir dan bertanya kepadaku apa yang terjadi. Sambil memeluk mama dam terisak, aku melela ke mama.
“Mama, aku mau minta sesuatu ke mama. Aku gak suka dipanggil cici, aku maunya dipanggil koko. Aku ini laki-laki,” kira-kira begitulah yang kukatakan ke mama.
Selain Bang Abhi dan Bang Sam, aku juga bertemu dengan transmen lainnya yang seperti denganku. Aku senang sekali karena merasa bebanku jauh lebih ringan.
Tentu saja, mama kaget. Tak lama, papa juga masuk ke kamarku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menangis. Aku kemudian memberikan surat yang sudah kutulis untuk mama dan papa. Isinya tentang keluh kesahku dan pengakuanku sebagai seorang transman.
Mama hanya diam, lalu pergi menuju kamarnya. Hanya ada aku dan papa di kamarku. Papa kemudian memelukku. Papa ternyata sudah mengerti tentang konsep gender jauh sebelum aku. Papa mau menerimaku sebagai seorang transman, bahkan papa juga mau memanggilku dengan nama baruku, Awan.
***
D. Darmawan lahir di Bandar Lampung pada 3 Agustus 1997. Pria yang akrab dipanggil Awan ini mengenyam pendidikan di SMAK Penabur Lampung kemudian meneruskan pendidikan tingginya di Sekolah Tinggi Pariwisata Pelita Harapan. Di waktu senggangnya, Awan gemar melakukan segudang kegiatan seperti: memasak, melakukan kerajinan tangan, dan wisata kuliner.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela atau menceritakan bagaimana Anda mampu menerima mereka yang berbeda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
No Responses to “Kisah Awan di Women’s March Jakarta”