Kini saya memiliki tujuh anak. Salah satu anak laki-laki saya bernama Gunawan. Keluarga kami berasal dari Surabaya dan saya menghidupi keluarga dengan berjualan nasi pecel.
Walaupun ada pembantu, kalau bikin bumbu soto, ya saya kerjakan sendiri. Bikin bumbu kari, ya saya sendiri. Jika nanti dipegang pembantu, kan, rasanya lain. Nanti kalau nggak laku, saya nggak bisa ngasih makan anak-anak saya.
Dulu kalau bikin pecel sampai malam. Sampai jam satu malam belum tidur. Kalau saya bikin peyek, sampai jam satu malam, yang bantu itu Gunawan. “Sini, saya bantuin,” katanya. Gunawan bisa menggoreng peyek sampai satu kilo.
Gunawan itu hatinya lembut. Pernah suatu ketika saya sedang sakit, selera makan jadi tidak ada. Saya urung makan saat itu. Lalu tiba-tiba Gunawan menghampiri saya dan berkata, “Mau makan apa, Ibu?” Saya diajak makan soto. Lalu sama Gunawan diajak jalan-jalan naik motor Suzuki yang sudah jelek. Saya terharu sekali. Saya diam-diam nangis di jalan.
Sepeda motor yang jelek dipakai Gunawan dari SMA sampai kuliah. Gunawan adalah anak yang paham keadaan orangtuanya. Dia tidak pernah menuntut minta dibelikan motor baru.
Gunawan adalah anak yang paham keadaan orangtuanya. Dia tidak pernah menuntut minta dibelikan motor baru.
Walaupun kehidupan kami sederhana, saya memiliki prinsip bahwa anak harus lebih baik dari orangtuanya. Jika orangtuanya makan sama tempe, anaknya harus bisa makan sama ikan. Saya tidak bisa tidak sayang dengan anak sendiri.
Namun, pernah waktu masih kecil ia minta sangu kepada saya, tetapi kami sedang tidak memiliki uang karena harus membiayai saudara-saudara Gunawan yang lain. Suami saya seorang supir becak. Gunawan dari kecil sudah kelihatan bahwa dia adalah anak yang nurut akan kata orangtua. “Nggak papa. Nggak sangu juga nggak papa,” katanya.
***
Pertama kali mengetahui Gunawan berbeda, awalnya saya sedih. Gunawan sendiri yang mengatakannya pada saya. Saya sempat menangis juga ketika sendirian di kamar.
Alasan kesedihan saya adalah saya khawatir akan nasib Gunawan nanti. Kalau sampai-sampai Gunawan tidak punya keturunan, bagaimana? Nanti siapa yang akan mengurus Gunawan?
Walaupun kehidupan kami sederhana, saya memiliki prinsip bahwa anak harus lebih baik dari orangtuanya.
Saat malam tiba, saya suka terbangun. Dalam kesunyian malam, saya berpikir, saya ingat Gunawan. Anak saya yang satu ini, kok, begini ya? Lalu saya menangis.
Tapi itu pertama dulu. Sekarang sudah tidak lagi. Sekarang saya banyak melihat ternyata banyak orang-orang seperti Gunawan. Beberapa kali ia memperkenalkan teman-teman yang sepertinya. Mereka macam-macam. Ternyata, manusia macam-macam. Ada yang kerja di bank, ada yang pengusaha juga. Mereka semua baik-baik dan sopan. Kalau anak saya bahagia, saya juga bahagia.
Di sini saya melihat bahwa ternyata Tuhan memberikan nasib sendiri-sendiri. Saya tidak pernah meminta anak saya untuk mencari pasangan pilih-pilih. Harus anak orang kaya, misalnya. Ada hal-hal yang orangtua tidak perlu ikut campur. Enak atau tidak enak, anak saya yang akan belajar merasakannya sendiri. Kalau rejeki sudah dibagi sendiri-sendiri. Ngasih hidup saja artinya sudah kasih rejeki, kok…. Saya tetap sayang, ya, namanya anak.
***
Dulu waktu Gunawan pertama pindah ke Jakarta, ia menelepon saya dan bilang katanya sudah kerja di kafe. Saya langsung nangis mendengarnya. Saat itu saya pikir kafe adalah warung. Saya mikir anakku dibayar berapa? Nanti kalau kekurangan uang, makannya apa? Begitu pikir saya.
Saya bilang, “Nak, kalau nanti kamu makan, jangan makan makanan sisa orang. Nanti kalau ada penyakitnya kamu bisa ketularan.” Saya bilang begitu sambil nangis.
Gunawan malah ketawa. “Aku nggak bodoh kok, Bu,” katanya. Ia cerita bahwa kerjanya enak. Ia kerja di bagian komputernya.
Ditinggal Gunawan bekerja ke Jakarta, saya sering teringat padanya. Saya teringat rupanya, memikirkan dia sedang apa. Kadang kalau sedang makan kangkung, saya teringat Gunawan nggak suka makan kangkung. Anakku yang satu ini, kalau makan kangkung, perutnya sakit.
Jika sedang rindu Gunawan, saya lebih memilih untuk berdoa.
Saya mendoakan agar anak saya diberikan keselamatan dan dilindungi oleh Allah.
Sudah empat tahun ini saya tidak berjualan nasi lagi. Sudah diminta berhenti oleh Gunawan. Katanya, biar dia saja yang menyekolahkan adik-adiknya. “Ibu sudah tua, jangan kerja. Aku bisa bantuin ibu untuk bantu anak-anak kuliah.” katanya gitu.
***
Ibu Siti Ngainten dikaruniai delapan orang anak. Namun, salah satu anak beliau meninggal dunia. Ibu Siti Ngainten sempat membiayai anak-anaknya dengan berjualan nasi di kampung halamannya, Surabaya. Ia membantu penghasilan suaminya yang bekerja menarik becak. Salah satu anak laki-laki Ibu Siti Ngainten terlahir berbeda, ia bernama Gunawan yang kisahnya bisa dibaca di kolom Your Story. Korespondensi dengan Ibu Siti Ngainten dapat melalui contact@melela.org.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
2 Responses to “Kasih Sayang Ibu Siti Ngainten”
December 10, 2015
AnonSungguh mulia hati bu Ngainten :(((
Semoga beliau diberi umur panjang dan kebahagian di dunia dan di akhirat Amin, YRA
April 13, 2016
Dedandes.ComBacaan keren nih, ni ada juga yg gag kalah keren, simak ulasan kami tentang Perbedaan cinta dan sayang yang perlu kalian ketahui.