Sudah 10 tahun yang lalu saya melela pada orangtua. Karena mencintai kedua orangtua, saya merasa ’butuh’ menyampaikan tentang identitas saya kepada mereka. Pertama kali melela kepada mama. Beberapa hari sebelumnya, kepala rasanya mau pecah, ada dorongan kuat saya harus memberi tahu, tapi tidak tau caranya bagaimana. Suatu ketika, saat ngobrol berdua mama, kami sedang membahas tentang masa depan saya nanti mau bagaimana, dan entah bagaimana semuanya lancar terucap seperti waktu SD kelas 5 bilang ke mama saya jadi ketua kelas.
Reaksi mama tidak terlalu terkejut, tetapi menurut saya, ada sedikit kekecewaan. Menurut saya itu adalah wajar dan biasa. Jika melela adalah sebuah proses, penerimaan pun begitu. Saya harus adil terhadap diri saya dan mama. Satu hal yang paling penting ketika saya melela: mama menemukan jawaban atas banyak pertanyaan. Saya gay adalah jawaban atas semua pertanyaan.
Karena mencintai kedua orangtua, saya merasa ’butuh’ menyampaikan tentang identitas saya kepada mereka.
Mama sempat berucap, “Suatu saat kamu harus menikah dan punya anak”, tetapi saat itu saya lebih memilih untuk tidak berargumen dengan mama. Saya terima sebagai bentuk reaksi panik sesaat yang wajar.
Di lain kesempatan, mama pernah mengatakan, kalau saya menikah nanti, jangan berterus terang dengan calon istri dan keluarganya. Untuk ini saya bilang ke mama, pernikahan tidak bisa dimulai dengan kebohongan, pernikahan dilakukan dengan niat yang baik, membangun rumah tangga dimulai dengan kejujuran, saling cinta, saling percaya. Rumah tangga yang dimulai dari ketidakjujuran berarti menanam benih keburukan yang akan selalu dituai nantinya. Bila menikah dengan perempuan, saya akan melakukan banyak kebohongan: bohong pada istri, bohong pada keluarganya, bohong pada masyarakat, dan akan menjadi beban yang selalu dibawa seumur hidup.
***
Saat saya melela, papa sedang bekerja di luar kota dan dua minggu kemudian papa baru pulang. Ketika ia sudah di rumah, tiba-tiba saya dipanggil, dan papa mengusap punggung saya sambil mengucapkan “Tidak apa-apa”. Saya dipeluk, rasanya terakhir dipeluk papa seperti itu saat masih TK. Ada perasaan kelegaan yang luar biasa setelah melela, perasaan meluap-luap, runtuhnya beban sampai ingin selalu melompat-lompat. Kebahagiaan ini masih bisa saya rasakan sekarang walau sudah bertahun-tahun berlalu. Melela memberikan manfaat positif untuk hidup saya.
Setelah melela, ada banyak perubahan dalam suasana rumah, perubahan yang positif. Papa, yang biasa kaku, lebih sering bercanda mengeluarkan cerita-cerita lucu saat kumpul, mama lebih banyak terbuka cerita apapun, dan hubungan dengan adik laki-laki saya menjadi lebih akrab. Saya dan adik pun bisa saling mendukung dan banyak berdiskusi, padahal sebelumnya kami sangat jarang ngobrol.
Ada perasaan kelegaan yang luar biasa setelah melela, perasaan meluap-luap, runtuhnya beban sampai ingin selalu melompat-lompat.
Sebelum melela ada kebutuhan untuk membuka ‘topeng’ dengan berkumpul bersama teman-teman gay lainnya sebagai bentuk eksistensi diri. Setelah melela, topeng itu tidak ada lagi. Setelah melela, saya lebih percaya diri karena beban diri sudah nggak ada. Setelah melela, saya pun lebih bisa berpikir terbuka untuk melakukan banyak hal, melakukan hobi, merencanakan masa depan, dan mengejar cita-cita.
***
Oh, ya, setelah melela pada keluarga bukan berarti semua masalah selesai. Namun, saya lebih mantap menghadapi kehidupan. Misalnya, dulu keluarga hanya tau tentang gay berdasarkan stereotipe masyarakat. Awalnya mereka tau gay hanya ada pada profesi tertentu dan hubungan sesama gay hanya nafsu semata. Padahal, itu tidak benar.
Ketika saya melela, ada proses pemahaman yang sulit karena saya tidak memenuhi anggapan masyarakat tentang seorang gay ‘seharusnya bersikap bagaimana’. Saya bukan dari profesi tertentu yang bersifat feminin dan tidak bersikap gemulai. Ketika saya punya pacar dan mengenalkan pada keluarga, kami cukup bersikap wajar saja. Saya ingin proses pemahaman berjalan dengan alami. Melihat saya dengan pacar, keluarga bisa tahu laki-laki dengan laki-laki bisa pacaran, saling menyayangi, melindungi, menjaga dan mensuport. Dengan pacar, keluarga sangat akrab; mama suka meminta pendapat, diskusi banyak hal; papa suka berbagi cerita; adik menjadikan teman akrab dan memiliki hobi yang sama.
Awalnya mereka tau gay hanya ada pada profesi tertentu dan hubungan sesama gay hanya nafsu semata. Padahal, itu tidak benar.
Dengan dasar cinta dalam keluarga, saya sangat bersyukur proses dari awal melela sampai sekarang berjalan dengan baik. Dukungan keluarga bukan suatu akhir tapi suatu awal baru. Menjadi gay tidak melulu tentang menjadi gay, lebih sering tentang menjadi diri sendiri. Menjadi gay adalah suatu langkah menemukan suatu kerangka berpikir dan bersikap, lalu menghasilkan sesuatu yang tidak jarang memberikan kejutan positif bagi diri sendiri juga orang lain.
***
Hadi Nugraha adalah anak sulung dari dua bersaudara. Pria kelahiran Jakarta 28 Juli 1980 ini kini menetap di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Saat Hadi mengirimkan kisahnya ke melela.org, ia menjabat sebagai Direktur Pendidikan dan Sastra di Indigo Community. Kini ia sedang membuat program yang membantu kemandirian anak-anak yatim dan orangtuanya. Menyalurkan hobinya, Hadi juga menjual kartu ucapan kerajinan tangan. Sapa Hadi di akun twitternya @mahaberlian.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Kirimkan kisah Anda ke alamat e-mail contact@melela.org. Baca langkah-langlah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Manfaat Melela bagi Hadi”