Melela buat saya merupakan hal yang tidak mudah, terutama ke keluarga. Namun hal yang terjadi pada saya mungkin juga sudah yang pernah terjadi di beberapa orang lainnya. Saya melela kepada keluarga ketika saya belum siap untuk mengungkapkan jati diri saya sebenarnya.
Cemoohan pun sejak dari SD sudah sering dilemparkan ke saya, dengan kata-kata layaknya menurunkan derajat manusia seperti, “tidak normal”, “banci”, “bencong”, atau yang makin marak dan beredar akhir-akhir ini “gay” dan “homo”. Tidak saya sangkal bahwa hal ini membuat saya lebih berhati-hati dalam melakukan sebuah tindakan, karena pandangan masyarakat pada umumnya terhadap sikap saya yang kurang jantan di mata mereka.
Dari kecil saya memang bukan seseorang anak laki-laki dengan adrenalin menggebu-gebu untuk melakukan aktivitas olahraga. Saya adalah tipe seorang yang lebih suka menghabiskan waktu saya dengan buku bacaan atau pun dengan belajar. Bisa dibilang juga cemoohan yang ada juga merupakan hal yang membuat saya lebih termotivasi untuk menjadi seorang yang lebih tahu segalanya dibanding teman-teman saya yang lain, sehingga saya tidak akan dipandang sebelah mata karena cemoohan yang mereka lontarkan ke saya.
Saya tidak akan dipandang sebelah mata karena cemoohan yang mereka lontarkan ke saya.
Ketika di bangku SMP, saya dan teman-teman pria saya sedang menonton sebuah film dengan aktris wanita yang cantik. Teman-teman saya memperhatikan bagaimana cantiknya aktris wanita tersebut. Namun, perhatian saya tertuju bukan pada kecantikan aktris wanitanya, melainkan sosok gagah yang ditimbulkan aktor dalam film itu. Mungkin ini adalah kali pertama saya menyadari bahwa saya memiliki ketertarikan yang berbeda bila dibandingkan teman-teman pria saya.
Saya mulai mencari tahu lebih dalam mengenai diri saya sewaktu SMA. Pelajaran biologi yang saya dapati tidak terlalu membahas banyak mengenai seksualitas, walaupun pada saat itu kurikulum yang saya dapatkan sudah kurikulum berstandar internasional. Namun, dengan fasilitas internet yang ada di genggaman saya pada saat itu, saya pun mencari tahu mengenai pemahaman seksualitas. Saya mulai browsing di forum-forum yang membahas dan berdiskusi mengenai seksualitas, bergabung ke miRC chat group PLU (people-like-us).
Pelajaran biologi yang saya dapati tidak terlalu membahas banyak mengenai seksualitas, walaupun pada saat itu kurikulum yang saya dapatkan sudah kurikulum berstandar internasional.
Ketika saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke negara tetangga, barulah mata saya lebih terbuka mengenai hal ini. Di negara tetangga yang bahkan sudah ada hukum yang jelas mengatur dan melarang hubungan mereka yang merasa berbeda, kaum minoritas LGBT tetap berani mengekspresikan diri mereka di tengah pandangan masyarakat yang masih cukup beragam mengenai keberadaan kaum minoritas LGBT.
***
Ketika keluarga akhirnya mengetahui mengenai jati diri saya, saya baru saja di-PHK oleh perusahaan tempat saya bekerja, dikarenakan efisiensi karyawan. Selain itu, hubungan saya dengan pasangan juga sedang renggang. Singkat kata, saya sedang tidak stabil dari sisi finansial dan juga emosional. Ditambah lagi dengan ketahuannya mengenai jati diri saya ini menambah beban emosional dan pikiran yang ada secara psikologis untuk saya saat itu. Beban pikiran yang begitu berat pada saat itu membuat saya tertekan dan susah tidur. Akhirnya, saya putuskan untuk menemui seorang psikiater untuk mendapatkan bantuan konseling.
Namun, ketika saya dihadapkan pada situasi harus menjelaskan mengenai orientasi seksual saya ke hadapan keluarga, saat itu saya masih belum siap secara mental. Untungnya, saya memiliki beberapa teman yang memberikan dukungan moral kepada saya saat itu. Dengan berbekalkan dukungan dari teman-teman dekat saya yang telah mengetahui mengenai seksualitas saya lebih awal dari keluarga, saya memberanikan diri untuk menjelaskan semua ini ke keluarga.
Beban pikiran yang begitu berat pada saat itu membuat saya tertekan dan susah tidur.
Awalnya, menjelaskan mengenai seksualitas di hadapan keluarga sangatlah sulit. Apalagi di keluarga saya sendiri, untuk membahas hal yang berkaitan dengan seks, seperti mimpi basah saja sangatlah tabu. Sehingga, dapat dibayangkan untuk membicarakan mengenai seksualitas sesulit apa.
Saya menjelaskan kepada keluarga bahwa hal ini sudah saya rasakan sejak kecil, tetapi layaknya seorang anak kecil, pada saat itu tentunya saya bingung dan tidak mengutarakan apa-apa kepada orang sekitar saya karena norma yang berlaku di sekitar adalah seorang laki-laki harus menyukai seorang perempuan.
***
Namun, saya tidak bisa berbicara banyak karena kondisi emosional yang sedang lemah. Saya pun mengusulkan untuk melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu situasi ini. Psikiater saya yang sempat menangani saya bisa menjadi pihak yang mampu menjelaskan situasi saya lebih baik. Saya pun kemudian menemui psikiater tersebut bersama Ibu dan Kakak kandung saya.
Saya pun mengusulkan untuk melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu situasi ini.
Keesokan harinya, setelah mengantar mereka ke psikiater yang sempat menangani saya, saya mendapatkan aura dan pandangan yang lebih nyaman dari mereka. Entah apa yang mereka diskusikan bersama psikiater saya, tetapi semenjak saat itu, mereka sudah tidak lagi membahas mengenai saya harus berubah, sehingga kami pun sudah mulai bisa berdiskusi untuk hal-hal lainnya layaknya keluarga.
Kami pun mencoba untuk kembali seperti semula dengan fakta sekarang seluruh keluarga besar sudah mengetahui mengenai saya. Semua itu butuh proses, dan sejauh ini, menurut saya, proses yang saya lewati tidak mudah dan tidak juga seburuk yang saya bayangkan. Saya mencintai keluarga saya tanpa syarat, begitu juga sebaliknya.
Psikiater saya yang sempat menangani saya bisa menjadi pihak yang mampu menjelaskan situasi saya lebih baik
Jika bisa kembali ke masa lalu, saya berharap saya tidak harus melela ketika saya belum benar-benar siap. Namun, apa yang sudah terjadi ya sudah terjadi dan tidak ada yang bisa saya ubah. Menyesal pun bukan lembaran-lembaran yang ingin saya rasakan. Perlakuan negatif tidak harus dibalas dengan perlakuan negatif pula. Ketika melela, siap atau tidak siap, ikhlaskan akan kemungkinan adanya penolakan tetapi teruslah berpikir positif, ramah, tidak gegabah, dan dekatkan diri dengan mereka yang memberikan dukungan. Dukungan dari orang terdekat sangatlah membantu untuk melewati semua proses ini.
***
Egi Septiadi lahir di Bengkulu, pada 21 September 1990. Ia menamatkan pendidikan tingginya pada 2012 di Singapura. Ia memiliki kegemaran melakukan olahraga yoga dan melakukan perjalanan. Di samping itu, ia pun menyebutkan beberapa judul buku favoritnya, seperti Freakonomics and Alchemist. Sapa Egi melalui akun twitternya @egiseptiadi.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Perdamaian Egi dengan Keluarga Butuhkan Pihak Ketiga”