Ini tulisan pertama saya di tahun ini. Kalau boleh jujur, tulisan ini mengambil topik yang sama sekali tak biasa untuk saya. Karena permintaan seorang teman, saya pun tak menolak untuk menuliskan sudut pandang saya tentang gay.
Sepanjang perjalanan hidup sejauh ini, saya tak pernah punya teman gay. Atau mungkin saja ada, tapi mereka tak memberitahu orientasi seksualnya pada saya. Saya paham hal-hal seperti ini pasti sangat sensitif bagi kebanyakan orang. Mereka cenderung tertutup.
Pada prinsipnya, saya tak punya prasangka apa-apa terhadap gay. Tentu saya mengerti bahwa masih ada beberapa kelompok masyarakat kita yang cenderung kaku dan tak menerima keberadaan mereka yang dap gay. Ketika akhirnya saya memiliki teman gay, saya tak pernah merasa risih. Jujur, memang pada awalnya, pasti kaget karena ada orang yang terang-terangan bilang “Gue gay”. Bagi saya, keberanian ini luar biasa dan butuh pengalaman yang matang untuk berani mengatakan dirinya berbeda. Keterbukaannya itu amat saya hargai. Soal prinsip, kami boleh tak sepenuhnya sepakat dalam satu hal. Namun, saya yakin bahwa pertemanan kami bernilai jauh lebih besar daripada sebuah ketidaksepakatan. Kami bisa berbagi pandangan, membuka jejaring, dan menemukan peluang baru untuk berkarya.
Ketika akhirnya saya memiliki teman gay, saya tak pernah merasa risih.
Saya mengenal seorang sahabat gay sejak kami sama-sama menjadi penerima beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris. Sebagai sesama penerima penghargaan pendidikan internasional, ini kebanggaan yang sudah sepatutnya kami syukuri. Setelah tiga bulan tinggal di Inggris, kami mendapatkan tawaran pekerjaan untuk menjadi penerjemah dan fasilitator bagi guru-guru Agama Islam yang dikirim Departemen Agama ke University of Oxford. Kesempatan bekerja bersama ini membuat saya bisa melihat kepribadiannya lebih dalam dan mengenalnya lebih dekat. Orientasi seksualnya tak berpengaruh sama sekali dengan hubungan pertemanan kami. Saya merasa cocok berdiskusi atau sekedar bercerita hal-hal sederhana dengannya. Bahkan, kami tinggal sekamar saat menginap di rumah teman. Maklum, saya kurang tahan dengan dengkuran teman yang lain sehingga mengambil risiko untuk tidur sekamar dengan teman gay saya ini. Haha… kidding 🙂
Tak ada sama sekali ketakutan untuk tidur satu kasur dengannya walau tahu benar dia seorang gay. Saya percaya hubungan pertemanan dibangun dari kepercayaan. Saya percaya ia tak akan melampaui batas dan ia tentu bisa percaya saya untuk tidak berlaku menjengkelkan. Itulah yang membuat saya bisa santai tidur sekamar dengan seorang gay selama satu minggu.
Saya mengenal seorang sahabat gay sejak kami sama-sama menjadi penerima beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris.
Ia sudah dewasa dan telah menjalani pengalaman yang luar biasa banyak untuk sampai di hidup yang sekarang ini. Dalam ajaran agama yang saya anut, Islam tidak menekankan pada pemaksaan. Bagi saya, menghargai pendapat, fitrah, dan pilihan orang lain adalah sebuah kebenaran.
Dalam hubungan pertemanan yang dilandasi perasaan saling percaya, saya bisa leluasa mengingatkan atau menyampaikan sesuatu dengan intensi untuk kebaikan dirinya. Gay, sama seperti manusia lain, bisa saja salah. Kemewahan seperti ini tak akan ada jika saya memutuskan mengucilkan dirinya hanya karena orientasi seksualnya. Sungguh tidak adil bagi mereka yang berbeda justru dihina, dikucilkan, dan dipinggirkan. Pemikiran inilah yang saya selalu bawa dalam kehidupan. Sungguh sebagian prasangka pada sesama itu dosa. Apalagi prasangka yang jelas-jelas buruk dan menghinakan.
Dalam ajaran agama yang saya anut, Islam tidak menekankan pada pemaksaan. Bagi saya, menghargai pendapat, fitrah, dan pilihan orang lain adalah sebuah kebenaran.
Persahabatan saya dengannya menjadi bukti bahwa pria yang straight, beristri, dan punya anak seperti saya pun bisa berteman dengan gay. Hubungan pertemanan itu tidak bisa dinilai dengan rupiah. Saya percaya dari pertemanan ini akan muncul hal-hal baik lainnya. Kami memiliki kepedulian yang mungkin hampir sama, untuk mengangkat mereka yang terpinggirkan. Teman saya punya perspektif sendiri tentang mereka yang terpinggirkan, saya pun punya definisi sendiri. Impian saya adalah pemerataan dan kesetaraan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Mimpi pemerataan dan kesetaraan ini juga dimiliki oleh teman saya. Hanya saja, lahan perjuangan kami berbeda. Dari irisan mimpi itulah, saya percaya kolaborasi antar kami akan memberi manfaat yang lebih luas bagi lebih banyak orang nantinya.
***
Bayu Adi Persada lahir di Palembang, 28 Januari 1988. Selepas menamatkan pendidikan di SMAN 61 Jakarta, ia meneruskan pendidikan di Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik Informatika. Pada 2014 ia berhasil mendapatkan penghargaan pendidikan bergengsi Chevening yang diberikan pemerintah Inggris untuk pemuda-pemuda dunia dengan prestasi akademis membanggakan dan memiliki visi kepemimpinan yang kuat. Bayu–begitu ia akrab disapa–adalah salah satu pengajar angkatan awal Gerakan Indonesia Mengajar dan telah menulis buku berjudul Anak-anak Angin. Sapa Bayu melalui akun twitternya, @adipersada.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas LGBT Indonesia dengan mengirimkannya melalui e-mail ke contact@melela.org. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang terdapat di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Bayu Hargai Mereka yang Berani Terbuka”