Sedari kecil, saya sudah merasa berbeda. Di waktu duduk di kelas 6 SD, saya suka berdandan depan kaca. Rasanya, saya sudah mengetahui dari kecil memang sisi feminin saya lebih dominan. Namun, di situ saya hanya merasa memiliki keberbedaan dalam ranah ekspresi gender saja, belum orientasi seksual. Namanya juga masih kecil, belum mengerti tentang jatuh cinta apalagi hubungan seksual.
Teman-teman saya kebanyakan perempuan. Entah kenapa, saya lebih nyaman berteman dengan mereka. Rasanya, kami lebih nyambung dan sepemikiran dalam banyak hal. Saya punya teman laki-laki, tetapi jumlahnya tidak sebanyak teman perempuan saya. Waktu yang saya habiskan untuk bermain dengan teman-teman perempuan saya lebih dominan. Saya merasa lebih gembira bersama mereka.
Saat beranjak dewasa, saya mulai menyukai teman sekelas saya. Menurut saya, ia tampan. Mirip Andre Taulany, yang dahulu vokalis kelompok musik Stinky. Tetapi saya memilih diam. Saya tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya. Saya pun tidak tahu apakah saya seharusnya mengatakan atau tidak kepadanya, tanpa harapan apa-apa. Tapi saya merasa ini bukan hal yang salah; hati dan naluri saya mengatakan demikian. Perasaan yang saya rasakan kepada orang yang saya suka datang dari sudut hati yang bukan tidak baik. Perasaan ini nyata saya rasakan dan tidak ingin merugikan orang lain.
Ketika usia dua puluhan, baru saya mendapatkan informasi mengenai orientasi seksual dan ekspresi gender dari internet. Butuh beberapa saat untuk memahami dan mendapatkan informasi yang lengkap karena saya memperolehnya dari internet. Ada banyak sumber yang malah bisa mengacaukan pemahaman dan kenyamanan akan diri saya. Oleh karena itu, ada baiknya kita mendapatkan pemahaman tentang orientasi seksual dan ekspresi gender dari sumber yang resmi, seperti surat kabar yang menyajikan artikel secara objektif atau ahli yang menekuni ilmu gender dan psikologi. Informasi yang saya dapatkan dari sumber terpercaya membantu saya memahami diri saya.
Saat beranjak dewasa, saya mulai menyukai teman sekelas saya. Menurut saya, ia tampan. Mirip Andre Taulany, yang dahulu vokalis kelompok musik Stinky.
Masyarakat awam masih banyak yang belum bisa membedakan antara ekspresi gender dan orientasi seksual. Banyak orang yang menyangka laki-laki feminin pasti gay. Padahal tidak selalu begitu. Banyak pula laki-laki maskulin, gemar olahraga, bertato, suka kegiatan outdoor dan terlihat super-macho–yang bisa suka dengan laki-laki lain. Dan ini juga bukan sesuatu yang ‘menular’, menurut saya. Kalau memang dari awalnya tidak tertarik, ya mau digoda atau dibuat nyaman dengan orang yang ‘bukan tipenya’, ya, tidak mungkin jadi.
Permasalahannya terletak ketika seorang gay menunjukkan kualitas gay kepada pria lain yang sebelumnya tidak mengetahui bahwa dirinya adalah gay. Mungkin ini alasan masyarakat awam menganggap bahwa gay itu ‘menular’, suka ‘menjebak’, dan sebagainya. Padahal tidak melulu benar. Walau, harus saya sampaikan, memang ada gay yang seperti itu.
Gay juga manusia biasa, yang bisa salah, dan terkadang kalau belum bermental dewasa masih suka mencari pembuktian dari teman-temannya. Terkadang, beberapa gay suka mengincar laki-laki heteroseksual yang punya potensi menjadi homoseksual untuk mendapatkan validasi bahwa dirinya menarik. Situasi ini mirip dengan fenomena wanita yang kerap kita temui di beberapa kisah hidup yang ditampilkan media atau bahkan ada di sekitar kita. Ada wanita yang hanya tertarik dengan pria beristri karena menurutnya itu lebih menantang. Saya rasa, beberapa dari gay juga memiliki permasalahan sama yang, sebenarnya, menurut saya, bermula pada kepercayaan diri dan cara ia melihat kehidupan.
Butuh beberapa saat untuk memahami dan mendapatkan informasi yang lengkap karena saya memperolehnya dari internet. Ada banyak sumber yang malah bisa mengacaukan pemahaman dan kenyamanan akan diri saya.
Tidak semua gay seperti itu. Ada lebih banyak gay yang mampu hidup dengan pola pikir yang sehat dan tidak merugikan orang lain karena menjalani gaya hidup yang positif dan mampu membangun support sistem. Kebanyakan gay sebenarnya mendambakan hubungan kesetaraan yang stabil. Mereka tidak banyak diangkat di media karena mungkin kurang sensasional, atau malah berpotrensi membuat masyarakat awam resah dan tidak terima atas kemungkinan membina keluarga setara yang sakinah, mawadah, dan warohmah antara dua laki-laki atau dua perempuan.
Saya mungkin adalah salah satu lelaki gay yang memegang prinsip monogami. Hubungan terakhir saya dengan kekasih saya bertahan hingga 10 tahun. Awalnya, saat bertemu dan mulai menjalani hubungan asmara dengannya, saya masih baru beranjak dewasa. Hal ini mengakibatkan waktu yang harusnya saya habiskan untuk lebih mengenal diri saya, mengembangkan diri, mengejar mimpi, saya tangguhkan untuk hubungan kami. Hal inilah yang menjadi pertimbangan saya untuk hidup sendiri dulu. Kami memutuskan hubungan atas perundingan yang cukup panjang. Saya ingin melakukan hal yang harusnya saya lakukan ketika saya masih lajang, termasuk melanjutkan sekolah, mengejar karir, dan pergi ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya.
Gay juga manusia biasa, yang bisa salah, dan terkadang kalau belum bermental dewasa masih suka mencari pembuktian dari teman-temannya.
Pertama kali melela dan mengatakan bahwa diri saya berbeda adalah kepada sahabat wanita saya di Bandung. Saat itu ia menerima saya dengan baik. Tetapi, menurut saya, melela tidak ada masa tenggatnya. Orang yang bersangkutan lah yang menentukan kapan ia siap. Dan ini bukan sebuah balapan apalagi kompetisi karena setiap gay pasti punya perjalanan hidupnya masing-masing yang unik. Namun, sekalinya dilakukan, lega rasanya, seperti ada satu beban yang diangkat dari pundak saya. Dalam beberapa kesempatan, saya menjalani hidup dan menghadapi rintangan tanpa harus berpura-pura. (RD/BJ).
Yayan Sopian lahir di Bandung, 24 Juni 1985. Ia berhasil menamatkan Paket C di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Rama Putra, Batununggal, Jawa Barat. Di waktu luangnya, ia gemar menghabiskan waktu bersama kedua binatang peliharaannya. Kegiatan yang rutin dilakukan di pagi hari adalah berjalan menyusuri pantai melihat matahari terbit bersama dua anjing kesayangannya. Ia sempat berkiprah di salah satu LSM di kota Bandung yaitu Puzzle Indonesia. Di Puzzle Indonesia, ia banyak belajar mengenai pekerjaan sosial yang memberikan bantuan tanpa melihat latar belakang seseorang. Ketika berbagi ceritanya untuk www.melela.org, pria yang selalu bangun subuh ini sibuk menjadi pendamping di Yayasan Paramacita, Denpasar, Bali, sebagai Pendukung Sebaya. Sapa Boyan—begitu ia akrab disapa—di akun instagramnya @Boyan_jilian
No Responses to “Boyan Jilian Jalani Hubungan Asmara 10 Tahun”