Saya sudah mengetahui bahwa saya berbeda semenjak remaja, tetapi saat itu belum banyak mempertanyakan diri saya dan belum mencari tahu lebih jauh. Saya mulai mencari tahu lebih banyak dan semakin menyadari bahwa diri saya berbeda ketika di bangku kuliah. Saya adalah bagian dari generasi majalah, generasi sebelum internet berkembang pesat seperti sekarang. Jenis majalah yang saya sukai adalah majalah gaya hidup pria membahas mengenai perjalanan, tren pakaian, dan perawatan tubuh, tentunya dengan proporsi foto-foto pria yang cukup signifikan. Jika dilihat ke belakang, mungkin di situlah tanda-tanda bahwa saya menyukai sosok pria.
Saya mengoleksi majalah dari berbagai negara. Dari mulai majalah berbahasa Inggris, Eropa, sampai Asia, seperti Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Secara tersirat, saya mengagumi sosok-sosok pria yang dimuat di majalah tersebut, sekaligus, di situlah saya mulai memahamai bahwa pria pun memiliki sosok keindahan yang bersifat universal, terlepas dari warna kulit, bentuk wajah, dan jenis rambut. Orang-orang yang dekat dengan saya pun mengetahui bahwa saya menyukai majalah. Jika ada keluarga atau teman yang berkunjung ke luar negeri, mereka suka membawakan saya majalah sebagai oleh-oleh. Jenis majalahnya macam-macam, dari mulai majalah tentang hobi, gaya hidup, sampai majalah pria dewasa. Majalah pria dewasa dengan konten wanita mengenakan pakaian minim tidak pernah saya sentuh. Entah kenapa, saya tidak pernah tertarik membukanya. Ketika dibelikan, majalah-majalah itu saya biarkan menumpuk dengan majalah yang lain. Ketika saya lulus kuliah dan mulai bekerja, akhirnya saya mulai membeli majalah dengan konten spesifik ditujukan untuk kelompok pria dengan orientasi seksual yang berbeda.
***
Namun, majalah Jepang bisa hanya relevan untuk mereka yang tinggal di Jepang. Saya tetap membutuhkan informasi yang relevan untuk saya yang hidup di Jakarta, Indonesia. Saya tidak menemukan format majalah yang memberikan informasi untuk orang-orang seperti saya di Indonesia. Oleh karena itu, yang saya lakukan adalah mencari komunitas orang-orang seperti saya dengan harapan bisa lebih tahu tentang kehidupan mereka. Ketika saya berhasil mendapatkan komunitas itu, informasi yang saya dapatkan berbentuk pergaulan dan petualangan gay dewasa saja, seperti: di mana mendapatkannya dan bagaimana melakukannya, tentang dunia perkencanan, dan tentang gaya hidup pria-pria perkotaan tanpa bimbingan dari pakar tentang bagaimana memiliki kehidupan seksual yang sehat dan lengkap sebagai minoritas.
Dari pergaulan tersebut, saya mengetahui tempat mana yang bisa saya kunjungi apabila saya ingin berkencan dengan seorang pria. Jaman itu, Lapangan Banteng Jakarta adalah salah satu tempat orang-orang seperti saya untuk bertemu. Biasanya malam hari. Berkenalan di tempat parkir dan berlanjut makan nasi goreng, misalnya. Contoh lain, pusat perbelanjaan mana di Jakarta yang memungkinkan bagi saya berkenalan dengan pria. Di pusat perbelanjaan, dinamika perkenalannya beda dengan Lapangan Banteng karena pusat perbelanjaan sifatnya umum dan mengikuti jam operasional resmi. Biasanya, di pusat perbelanjaan, perkenalan dimulai dengan berpapasan, saling melirik, kemudian dilanjutkan dengan main kucing-kucingan di antara toko-toko di dalam pusat perbelanjaan tersebut untuk mengetahui bahwa orang tersebut benar-benar tertarik pada kita, sampai akhirnya memberanikan untuk menyapa dan bertukar nomor telepon.
Secara tersirat, saya mengagumi sosok-sosok pria yang dimuat di majalah tersebut, sekaligus, di situlah saya mulai memahamai bahwa pria pun memiliki sosok keindahan yang bersifat universal, terlepas dari warna kulit, bentuk wajah, dan jenis rambut
Sebelum adanya perangkat aplikasi, begitulah kira-kira kehidupan gay urban di era akhir 90-an sampai awal 2000-an. Butuh kepercayaan diri yang cukup untuk bisa menghampiri dan berkenalan langsung dengan orang lain yang kita sukai tetapi belum kita kenal. Keberanian itu yang sepertinya hilang dari generasi sekarang. Belum lagi, kalau pun sudah punya keberanian yang cukup, kami tidak punya banyak pilihan tempat untuk bertemu karena belum banyak gay club yang khusus untuk pria-pria seperti saya. Menyoal tempat bertemu, mungkin hanya Lapangan Banteng, beberapa pusat perbelanjaan di tengah kota, dan mungkin satu atau dua kolam renang saja. Namun, kini, dengan perkembangan teknologi, kita bisa berkenalan semudah membuka telepon genggam dan ngobrol di belakang kibor. Kalau nggak percaya diri, bisa ngobrol pakai foto pemandangan alam.
Mungkin itulah yang membedakan arsitektur hubungan sesama pria di generasi saya dan generasi saat ini. Buat saya yang baru saja melajang, saya merasa menemukan pasangan di era saat ini punya tantangan yang berbeda. Saya merasa, dunia modern membuat hubungan manusia semakin komersil. Maksudnya, karena kini mencari pasangan tidak sesulit dulu, sepasang manusia bisa berpacaran tidak harus karena jatuh cinta, melainkan faktor profil dan latar belakang bisa lebih diperhitungkan, mirip seperti sedang membuat portofolio. Bukankah manusia harusnya bersama karena mereka saling jatuh cinta sebagai alasan yang utama?
***
Cerita melela saya berawal ketika saya mengikuti sebuah pageant sewaktu kuliah, sehingga membuka cakrawala saya menjadi lebih luas. Berbagai kesempatan terbuka luas. Berawal dari mendapat kesempatan bekerja magang di sebuah radio remaja, yang berlanjut menjelang kelulusan, saya sudah direkrut menjadi pegawai tetap oleh group perusahaan besar yang manaungi beberapa media besar baik tulis, elektronik dan life style entertainment. Saya ditempatkan pada sebuah divisi untuk event dan artist management, dari situlah karier saya terbuka di dunia hiburan.
Saya sempat tinggal dengan kakek di rumah dinas beliau yang masa itu masih aktif di dunia politik. Di rumah beliau, saya biasa menerima tamu teman-teman saya, karena memang rumah tersebut terbiasa selalu ramai dgn kunjungan tamu. Hal ini memungkinkan rumah tersebut selalu terbuka untuk teman-teman saya. Jadi, ya, sangat wajar jika teman-teman saya sering “nongkrong” di rumah tsb. Tanpa sepengetahuan kakek saya, salah satu dari mereka adalah kekasih saya.
Maksudnya, karena kini mencari pasangan tidak sesulit dulu, sepasang manusia bisa berpacaran tidak harus karena jatuh cinta, melainkan faktor profil dan latar belakang bisa lebih diperhitungkan, mirip seperti sedang membuat portofolio.
Enam tahun saya tinggal di rumah dinas kakek, akhirnya masa bakti kakek saya selesai. Saya hrs kembali ke rumah ayah. Kebiasaan menjadikan rumah saya menjadi homebase atau tongkrongan saya bawa ketika saya kembali ke rumah ayah. Saat itu bulan puasa dan kekasih saya memutuskan untuk menginap di rumah saya agar nanti bisa sahur bersama. Kami masih menjalani hubungan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk berdua saja di ruangan tertutup, itu adalah momen yang sangat melegakan karena kita berdua tidak harus berpura-pura. Rasanya rileks dan sangat menenangkan karena kami berdua bisa sama-sama jujur. Bukan tidak mungkin, kami berciuman di dalam ruangan tertutup. Namun, saat itu, tiba-tiba ayah saya masuk.
“Kris, ayo bangun, sebentar lagi sahur,” ujarnya sambil membuka pintu kamar saya.
Di dalam kamar, saya sedang bersama kekasih saya. Lampu kamar terang, bahkan benderang. Saya yakin apakah ayah melihat apa yang sedang saya lakukan, tetapi saya punya perasaan ‘deny it, bahwa dia tidak lihat’. Saya berusaha tenang tapi pacar saya freak out, membuat kami jadi salah tingkah sendiri.
Setelah membuka pintu dan membangunkan saya, ayah langsung menutup pintu dan turun ke bawah tanpa mengatakan apapun. Saya takut setengah mati. Jantung saya berdebar, tangan saya gemetar, saya resah harus menghadapi ayah saya setelah apa yang ia lihat tadi. Akhirnya, saya memutuskan kabur dari rumah. Saya mengatakan bahwa hari itu saya tidak akan sahur di rumah dan memutuskan untuk pergi sahur bersama teman-teman. Sahur on the Road, istilahnya. Setelah pergi pagi itu, saya tidak pulang selama tiga hari demi menghindari keluarga. Saya belum siap menghadapi ayah. Apa yang harus saya katakan jika saya ditanya apa yang telah saya lakukan di kamar? Mengapa saya melakukannya? Saya tidak punya penjelasan tentang itu semua.
Namun, salah satu sahabat saya menasehati bahwa saya harus pulang. Katanya, jika suatu saat ayah saya menanyakan hal yang saya takutkan, setidaknya itu bisa berarti ayah saya sudah siap mendengar jawaban saya. Lagipula, sampai kapan saya akan terus lari dari ayah saya sendiri? Karena nasihat itulah saya memberanikan diri untuk pulang. Dan benar saja. Tidak lama setelah saya sampai di rumah, ayah memanggil saya. Pada akhirnya, terucap lah pertanyaan tersebut, yang saya harus jawab untuk menuntaskan masalah ini.
Apa yang harus saya katakan jika saya ditanya apa yang telah saya lakukan di kamar? Mengapa saya melakukannya? Saya tidak punya penjelasan tentang itu semua.
Di situlah saya menjawab dan berusaha menjelaskan, mengatakan bahwa saya berbeda dari anak-anak ayah lainnya. Awalnya, ada penolakan dari ayah saya. Katanya, ini adalah pengaruh pergaulan, lingkungan pekerjaan, dan hanya fase sementara saja. Di situ saya tidak melawan, tapi juga tidak membenarkan. Saya melihat bahwa ayah saya butuh mengeluarkan kekhawatiran dan pemikirannya saat itu.
Semenjak saat itu, saya merasakan ada yang berubah dari hubungan saya dan ayah saya. Di satu sisi, saya lega ayah saya sudah mengetahui tentang diri saya yang tidak ia ketahui sebelumnya, tetapi di sisi lain, saya pun merasakan belum adanya rasa penerimaan dan inilah yang membuat hubungan kami agak berbeda. Setiap saya melakukan kesalahan, pasti dihubungkan dengan orientasi seksual saya, yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Saya mungkin pernah menjadi anak yang nakal, tetapi itu tidak ada hubungannya dengan siapa yang saya sukai. Untungnya, tante saya ada di situ. Ia adalah support system saya yang menjadi perantara konflik antara saya dan ayah saya. Melalui tante saya ini lah, ayah mendapatkan pemahaman tentang orang-orang seperti saya dengan pendekatan ‘sesama orangtua’ dan ‘bahasa orangtua’ yang tidak saya miliki ketika berhadapan dengan ayah saya.
***
Semenjak saat itu, hubungan saya dengan ayah berangsur-angsur membaik. Jika memiliki kekasih, saya sudah mulai bisa membawanya kembali ke rumah, bertemu dengan ayah saya. Beberapa dari mereka ada yang masih merahasiakan dirinya, tetapi ada pula yang sudah bisa menerima dan terbuka akan jati dirinya. Berdasarkan pengalaman, saya lebih nyaman dengan mereka yang sudah terbuka dan menerima dirinya sendiri. Sudah melela.
Di satu sisi, saya lega ayah saya sudah mengetahui tentang diri saya yang tidak ia ketahui sebelumnya, tetapi di sisi lain, saya pun merasakan belum adanya rasa penerimaan dan inilah yang membuat hubungan kami agak berbeda.
Saya rasa, penerimaan diri dan cara kita membina hubungan dengan orang-orang di sekitar ketika sudah melela memiliki kontribusi yang cukup besar untuk mendapatkan hubungan percintaan yang sehat dan panjang umur. Ketika hubungan dirahasiakan, celah untuk melakukan hal-hal yang dapat merusak hubungan menjadi lebih besar. Banyak godaan yang bisa terjadi di belakang kekasih dan orang-orang di sekitar saya karena hubungan yang ‘dirahasiakan’. Ini berbeda ketika saya dan pasangan saya sudah nyaman dengan hubungan kami dan tidak harus berpura-pura di depan orang lain. Ketika orang-orang tahu siapa kekasih saya dan godaan muncul, ada yang bisa mengingatkan ketika godaan muncul. Jika saya menemukan masalah, ada tempat untuk kami meminta bantuan pendapat karena orang lain sudah tahu hubungan kami dan punya gambaran tentang hal-hal apa saja yang sudah saya dan kekasih saya lalui.
Dengan situasi saat ini, saya agak pesimis masih bisa mendapatkan hubungan yang sehat di “generasi Netflix”. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, ada yang ‘hilang’ dari generasi sekarang. Namun, saya berharap saya salah. Saya berharap saya dan generasi sekarang bisa beradaptasi untuk mendapatkan hubungan yang sehat serta kehidupan yang utuh sebagai minoritas di Indonesia, lantaran kita berhak, dan karena kita semua setara sebagai manusia.
Wirakrisna Wiedjatmika lahir di Jakarta 12 November 1979, menamatkan pendidikan pendidikan sekolah di SMA 3 Setiabudi Jakarta dan menyelesaikan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Sastra Belanda. Pada tahun 2000, wirakrisna–begitu ia akrab disapa—pernah terpilih sebagai finalis Abang Jakarta Selatan. Kini, anak pertama dari tiga bersaudara ini masi aktif di belakang layar dunia entertainment, dan membantu menjalankan bisnis keluarga. Sapa Krisna di akun Instagram nya @Krisnadatin.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story yang dapat Anda temukan di menu navigasi di atas laman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Kisah Wirakrisna Menghadapi Tantangan Zaman”