Melela itu rasanya lega. Lebih lega dari yang saya bayangkan. Setelah melela ke beberapa teman kantor, saya jadi sering menceritakan tentang diri saya. Namun saya merasa tidak mendapatkan respon yang… pas. Teman saya jadi merasa canggung. Mungkin karena mereka tidak biasa mendengar laki-laki yang menceritakan ketertarikannya dengan laki-laki lain. Saya pun kemudian mengurangi cerita-cerita saya.
Saya merasa mungkin saya harus mencari teman yang sama seperti saya. Waktu itu teman saya yang homoseksual hanya satu seorang. Dia adalah teman saya waktu saya masih kuliah di Solo. Setahu saya, dia cukup aktif di dunia aktivisme LGBT. Saya pikir, dia pastilah punya banyak kenalan di Jakarta. Maka saya meminta dia untuk mengenalkan saya ke mereka. Saya pun dikenalkan ke satu dua orang dan grup Facebook. Saya juga meminta rekomendasi buku apa yang bisa saya baca yang isinya seputar gay dan coming out. Pada saat itu, saya direkomendasikan bukunya Hendri Yulius berjudul Coming Out.
Namun, saya tidak berhasil membangun pertemanan dengan orang-orang yang dikenalkan teman saya itu. Saya memang bukan pribadi yang mudah berteman dengan orang baru. Namun saya tetap berusaha sendiri, dan seorang teman kantor saya, seorang perempuan heteroseksual, ikut membantu saya. Suatu ketika, teman kantor saya ini mengenalkan saya ke seseorang yang kemudian menjadi pacar saya (tapi sekarang sudah jadi mantan). Dia kemudian mengenalkan saya ke orang-orang yang sampai sekarang menjadi teman dekat saya.
Melela itu rasanya lega. Lebih lega dari yang saya bayangkan.
Pertemanan dengan mereka berpengaruh ke bagaimana saya membawa diri saya di masyarakat umum. Ketika saya memiliki outlet untuk menjadi diri sendiri, saya merasa seperti punya kesempatan untuk sepenuhnya menjadi diri saya sendiri. Saya menjadi lebih ekspresif dan percaya diri. Saya pun kemudian melela ke lebih banyak lagi teman kantor yang bukan LGBT ketika waktunya pas, misalnya ketika sedang ngobrol soal kencan, jatuh cinta, dan sebagainya.
Namun, sampai di sini, keluarga saya masih belum tahu bahwa saya gay.
Pada suatu ketika, saat saya sudah sangat merasa nyaman dengan diri saya, termasuk di media sosial, saya mengunggah sebuah foto di Instagram dengan caption berikut, “After the party. Turns out, gay club is not as bad as I imagined. Also not as bad as my boyfriend described it to me. In fact, it’s fun! I’m (still) surprised!!”
Siangnya, saya mendapat pesan singkat dari teman dekat kakak saya. Kalau tidak salah ingat, setelah basa basi sedikit, dia bertanya “Kamu gay?” yang saya balas “Iya”.
Beberapa jam setelahnya, saya mengirim pesan singkat ke kakak saya dan melela melalui pesan tersebut. Waktu itu saya berpikir, cepat atau lambat, teman kakak saya pasti akan cerita. Saya rasa lebih baik kalau saya saja yang cerita sendiri.
Kakak saya tentu saja kaget. Tapi yang tidak saya sangka, rupanya kakak saya tidak sepenuhnya marah dan sedih. Semakin ke sini, kakak saya jadi lebih suportif. Ketika saya dan pacar saya putus, dia jadi salah satu orang yang juga ‘kebagian’ keluh kesah dari saya.
***
Sekitar tujuh bulan setelah melela ke kakak, saya melela ke ibu saya. Tidak ada momen yang pas saat itu. Saya yang membuka obrolan. Diawali dengan “Ma, aku mau ngomong serius. Mama punya dugaan gak sih kenapa sampai sekarang aku gak pernah pacaran?” yang kemudian berlanjut saya mengaku bahwa saya tidak menyukai perempuan.
Ibu saya tentu kaget. Tidak menyangka, katanya. Tapi juga tidak dramatis. Beliau tidak terima, tetapi cara kami beradu argumen seperti layaknya kami beradu argumen soal hal-hal biasa, seperti layaknya dua orang dewasa.
Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dengan jati diri saya sebagai seorang gay, saya tahu ke mana saya harus mencari bantuan kalau-kalau saya diintimidasi akibat identitas seksual saya, dan saya punya banyak teman. Saya juga bilang bahwa ini bukanlah fase. Saya tahu saya tertarik pada laki-laki, layaknya laki-laki heteroseksual tahu mereka menyukai perempuan, layaknya perempuan heteroseksual tahu mereka menyukai laki-laki. Saya tahu sejak dari dulu. Ini otomatis.
Saya melela ke ibu saya karena saya sayang beliau. Saya ingin ibu saya tahu betul siapa anaknya. Saya tidak mau lagi, bahkan tidak bisa, berbohong. Saya lega tidak ada drama. Tapi itu barulah hari pertama. Hari kedua, ketika saya sudah kembali ke kost saya di Jakarta, ibu saya menelpon sambil menangis. Ini dipengaruhi oleh berita yang sempat beredar di media tentang LGBT, terutama gay, yang sebagian besarnya buruk. Media sering menempatkan “Perilaku seks menyimpang” dan “LGBT” dalam sebuah kategori yang sama. Padahal, keduanya berbeda. Perilaku seks yang menyimpang adalah perilaku seksual yang merugikan dan membahayakan, sementara tidak semua LGBT melakukan perilaku seksual yang merugikan, apalagi membahayakan. Misalnya, perilaku seksual yang disertai dengan pemukulan dan pemaksaan adalah perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual menyimpang ini bisa terjadi di hubungan heteroseksual dan homoseksual. Namun, ketika sebuah hubungan seksual dilakukan ketika sudah dewasa, bertanggung jawab, dan dilandasi oleh kasih sayang, ini adalah perilaku seksual sehat yang bisa terjadi di hubungan homoseksual dan heteroseksual.
Saya melela ke ibu saya karena saya sayang beliau.
Ketidaktahuan media mengenai pentingnya pemisahan “Perilaku Seksual Menyimpang” dan “LGBT” membuat orangtua saya khawatir. Saya jadi berpikir, jangan-jangan ibu saya berpikiran saya melakukan hal-hal yang negatif bersama teman-teman gay saya. Namun, setiap pertanyaan ibu saya jawab apa adanya. Saya terus meyakinkan beliau bahwa saya tidak melakukan hal-hal yang negatif seperti yang dia pikirkan. Saya bersyukur karena saya melela di saat yang tepat, yaitu saat saya sudah dewasa, sudah bekerja, dan sudah bisa mandiri. Kalau saya melakukannya saat saya berusia lebih muda, ibu saya pasti akan lebih khawatir lagi dan akan semakin sulit membuatnya mempercaya bahwa saya bisa jaga diri.
***
Sebelum melela, sebaiknya kita menerima diri kita sendiri sebagai seorang gay. Kita harus bisa nyaman dengan diri kita yang ternyata berbeda dengan orang lain. Saya sudah melalui itu. Dari sejak saya masih kecil, saya tidak benar-benar merasakan kebingungan yang berarti, saya tidak benar-benar merasa bersalah apalagi berdosa, saya tidak tertekan dengan jati diri saya sebagai seorang gay. Saya mengalaminya sedikit, sekali dua kali, namun tidak sampai membuat saya berpikiran saya ini tidak normal, aneh, harus dan akan berubah, apalagi sakit. Semakin saya tumbuh dewasa, saya semakin merasa baik-baik saja. Saya sama dengan orang lain, hanya ketertarikannya saja yang berbeda.
Media sering menempatkan “Perilaku seks menyimpang” dan “LGBT” dalam sebuah kategori yang sama. Padahal, keduanya berbeda.
Sekarang saya bisa bilang bahwa proses melela rasanya seperti mengalir begitu saja. Tidak benar-benar direncanakan, karena memang begitu kejadiannya. Seolah-olah waktunya pas, seolah-olah momennya pas. Kalau direncanakan, mungkin waktu dan momen yang pas itu tidak akan pernah ada.
Meski begitu, melela bukannya tanpa modal. Seperti yang saya bilang, sebelum melela, kita harus merasa nyaman terhadap diri kita sendiri terlebih dulu. “Nyaman dan menerima diri sendiri” adalah modalnya. Buat saya pribadi itu hal yang mudah, tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya tidak juga. Tinggal di negara yang masyarakatnya masih terang terangan mengekspresikan homophobia (anti terhadap LGBT) menyulitkan kita untuk menerima diri sendiri. Namun, jika kita sudah sangat nyaman dengan diri sendiri, maka tak jadi soal kalau kita hidup bersama orang-orang hetero di dunia yang heteronormatif (cara pandang yang didasarkan nilai-nilai masyarakat heteroseksual). Tidak ada yang bisa mengusik kenyamanan yang sudah kita ciptakan di dalam. Ini bukan berarti kita mengabaikan diskriminasi atau penindasan yang kita alami. Kadang melawan dan berjuang untuk membebaskan diri dari diskriminasi dan penindasan itu harus dengan berteriak, namun ada kalanya kita juga harus berbaur dan bicara baik-baik, bahkan ada kalanya kita harus diam dan beristirahat.
Perilaku seksual yang disertai dengan pemukulan dan pemaksaan adalah perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual menyimpang ini bisa terjadi di hubungan heteroseksual dan homoseksual.
Saat kita sudah nyaman dengan diri sendiri, maka kita akan menarik banyak teman yang bisa menerima kita. Saat kita sadar, memahami, menerima, dan nyaman menjadi diri sendiri, saat kita menyadari kondisi lingkungan di sekitar kita sehingga tahu bagaimana cara membawa diri dengan baik, saat kita berani, saat itulah yang pas untuk melela. Saat kita melela, ada kemungkinan kita dihina, kehilangan teman, bahkan kehilangan keluarga, tetapi kita akan baik-baik saja karena kita punya teman dan keluarga baru yang menerima kita apa adanya.
Ketidaktahuan media mengenai pentingnya pemisahan “Perilaku Seksual Menyimpang” dan “LGBT” membuat orangtua saya khawatir.
Melela adalah proses yang sangat personal. Melela bukanlah suatu keharusan, tapi merupakan pilihan. Kita tidak bisa memilih bisa tertarik pada siapa karena ketertarikan adalah sebuah proses yang kompleks, tetapi kita bisa memilih apakah kita akan membicarakannya atau tidak. Saya memilih untuk melela karena saya tahu saya siap, saya berani menghadapi risiko apa pun, saya tahu saya aman, saya bisa mengontrol diri, dan saya merasa saya perlu bicara ketika lingkungan di sekitar saya mulai menunjukkan tanda tanda homophobia. Bukan dengan melulu mengekspresikan bahwa saya ini gay, tertarik, mengencani dan bahkan berhubungan seksual dengan laki-laki. Bukan juga melulu dengan melakukan konfrontasi, tapi di waktu yang tepat, menyatakan bahwa saya gay artinya menunjukkan bahwa saya juga sama halnya seperti manusia-manusia lain. Meskipun kami sama dengan teman-teman heteroseksual, di saat yang sama, ada hal-hal yang berbeda dalam diri kami, dan itu tidak perlu menjadi batasan dan halangan dalam hidup berdampingan dalam damai.
***
Budi Winawan lahir di Tangerang, 9 April 1992. Lulusan D3 Broadcasting Universitas Sebelas Maret ini sehari-harinya bekerja di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta sebagai video editor. Di waktu senggangnya, Budi biasa menghabiskan waktu dengan nonton film, serial TV, mendengarkan musik, membaca buku atau berkeliaran di media sosial.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah Anda saat melela atau menceritakan bagaimana Anda mampu menerima mereka yang berbeda dengan baik. Baca langkah-langkah pengiriman kisah di halaman Share Your Story di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan sketsa kebhinekaan di Indonesia.
BUTUH BANTUAN? Jika Anda orangtua yang ingin memahami anak Anda, kunjungi halaman Parents Guide yang terletak di menu navigasi di bagian atas halaman ini. Halaman Parents Guide menyediakan informasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtua, seperti “Bagaimana membuka dialog pertama setelah anak melela?” dan masih banyak lagi.
One Response to “Modal Melela Budi”
June 20, 2018
AmarisOh anak UNS juga ya?
Duh, berharap gw punya keberanian yg sama kayak lu. Jujur, rasanya gak tega bohong sama Ibu sendiri. Tapi jujur aja, masih takut banget sama yg namanya penolakan dan diskriminasi, apalagi sampai persekusi. Disaat yg sama gw juga pengen ngelindungin BF gw.
Mungkin suatu saat nanti gw akan cerita ke Ibu.
Makasih banyak. Cerita lu bener2 bikin semangat. Btw, solo itu ngangenin yah…