Nama saya Petra, saya seorang mahasiswi kebidanan dengan prestasi yang biasa-biasa saja. Namun, saya juga memiliki ketertarikan dengan hal-hal yang berbau sosial. Homoseksualitas, saya sudah penasaran dengan hal ini sejak saya masih duduk di bangku SD. Saya lupa kelas berapa, mungkin sekitar kelas 4 atau 5 SD.
Saya sangat suka membaca, waktu itu saya membaca buku ayah saya yang bertema psikologi, di dalam buku itu dicantumkan kisah komunitas homoseksualitas disertai dengan teori-teorinya termasuk faktor-faktor penyebabnya. Teori di dalam buku itu menekankan bahwa faktor penyebab homoseksualitas adalah pengaruh hormonal.
***
Ketika membaca buku itu, jujur, saya sangat membenci pernyataan itu. Saya merasa bahwa para ahli psikologi itu hanya mengada-ada agar homoseksualitas bisa ‘dilegalkan’ atau ‘dipatutkan’. Pada waktu itu saya sangat membenci homoseksualitas, karena menurut saya itu adalah satu perbuatan yang melanggar hukum agama dan norma di dalam masyarakat. Hingga pada tahun 2015 tepatnya pada tanggal 26 Juni ketika Mahkamah Agung Negara adidaya Amerika Serikat mengumumkan pelegalan pernikahan kesetaraan di wilayahnya, saya pun menjadi salah satu dari sekian jutaan orang di dunia ini yang ‘mengutuk’ pengeluaran pernyataan tersebut.
Teori di dalam buku itu menekankan bahwa faktor penyebab homoseksualitas adalah pengaruh hormonal.
Saya sampai bertukar pendapat dengan teman saya di dunia maya yang kebetulan berasal dari Amerika juga, tentang pelegalan pernikahan sesama jenis di negaranya tersebut. Teman saya ini mengatakan bahwa dia setuju saja dengan LGBT, asalkan saja mereka tidak menciptakan hal-hal yang mengganggu masyarakat di sekitarnya. Dalam hati saya berpikir lagi. Kok bisa orang-orang ini menyetujui hal-hal yang ‘tak patut’ di masyarakat ini.
Lama kelamaan perlahan-lahan saya pun mulai melupakan hal ini.
Hingga pada akhirnya semuanya berubah.
Pada tahun 2015 ini saya melanjutkan studi saya di D IV Kebidanan di kota Semarang. Pada waktu itu saya sibuk mencari judul penelitian yang pas. Hingga pada akhirnya saya menemukan salah satu artikel di Koran tentang penolakan LGBT di salah satu kampus di kota Semarang. Tiba-tiba terbersit pikiran saya untuk melakukan penelitian tentang LGBT ini, memori saya akan LGBT ini seolah-olah hidup kembali dalam pikiran saya. Walaupun di dalam kebidanan, homoseksualitas tidak begitu dipelajari secara mendalam seperti pada ilmu psikologi.
Pada waktu itu saya sangat membenci homoseksualitas, karena menurut saya itu adalah satu perbuatan yang melanggar hukum agama dan norma di dalam masyarakat.
Saya pun kemudian memutuskan untuk mengambil gay, sebagai responden saya nanti. Setelah mendapatkan kontak. Saya pun kemudian bertemu dengan seorang ketua dari salah satu komunitas gay di Semarang. Waktu itu, jujur, saya sangat takut karena ini pertama kalinya saya bertemu langsung dengan seorang gay.
Orang tersebut juga sangat terbuka dengan dirinya, dia pun juga bercerita tentang kondisinya setiap hari, bagaimana pertama kali dia melela dan bagaimana penerimaan keluarga dan teman-temannya serta lingkungannya terhadap dirinya. Setelah cukup lama kami bercakap-cakap, semua pandangan negatif dalam diri saya selama ini seakan-akan perlahan hilang dengan sendirinya.
***
Diam-diam saya cukup bangga dan terinspirasi dengan keberanian yang dimiliki orang tersebut, karena berani jujur dan dengan ikhlas menerima kondisi dan keadaan dia, yang belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang. Saya semakin bangga dan terinspirasi setelah saya mulai mencari dan mendalami segala teori tentang homoseksualitas, termasuk bagaiman pandangan agama terutama Katolik (karena saya nasrani) tentang homoseksualitas.
Saya sangat takut karena ini pertama kalinya saya bertemu langsung dengan seorang gay
Saya pun mulai menyadari bahwa pandangan saya tentang homoseksualitas selama ini salah besar. Saya yang dulunya sangat membenci dan selalu ‘mengutuk’ (maaf) kaum homoseksualitas, berubah menjadi seseorang yang malah ingin membela para kaum yang terpinggirkan ini. Salah satu hal ini saya lakukan ketika teman sekampus saya menyebarkan sebuah petisi tentang penolakan akan LGBT di Indonesia, saya yang sebenarnya bukan anak yang begitu pemberani, pun menjadi berani menentang apa yang dilakukan oleh teman saya tersebut, teman saya pun tidak marah dan menerima pendapat saya tersebut.
***
Di kampus, saya pun selalu ditanyai oleh teman-teman soal LGBT, dengan senang hati saya pun menjawab dan menjelaskan segala hal tentang LGBT dengan pengetahuan saya tentang LGBT. Kadang kami pun suka berdiskusi dan berdebat seputar permasalahan LGBT ini.
Setelah cukup lama kami bercakap-cakap, semua pandangan negatif dalam diri saya selama ini seakan-akan perlahan hilang dengan sendirinya.
Berdasarkan pengalaman saya di atas, saya pun berpendapat bahwa salah satu hal yang membuat LGBT masih susah diterima dan dirangkul oleh masyarakat Indonesia adalah karena faktor pengetahuan. Kurangnya minat baca di dalam masyarakat kita membuat masyarakat hanya mengetahui kulit luarnya saja tanpa mengetahui apa sih sebenarnya isi di dalamnya. Selain itu, informasi yang masih simpang siur dan tak jelas sumbernya merupakan hal yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, orang yang terpinggirkan dan sebenarnya tak bersalah jadi makin terpinggirkan oleh karena informasi yang tak jelas sumbernya tersebut. Pesan saya, ‘kuasailah suatu hal, sebelum kamu menghakimi dan menilai buruk hal tersebut’
Buat semua komunitas LGBT, maju terus pantang mundur. Berani bukan berarti dosa.
***
Maria Petronela W.M biasa dipanggil Petra. Wanita kelahiran Ende, 14 November 1993 ini lulus dari D3 Kebidanan STIK Sint Carolus Jakarta tahun 2014 dan melanjutkan D IV Kebidanan di STIKES Karya Husada Semarang. Selain sibuk dengan kegiatan kuliah, ia pun kadang-kadang menjadi freelance writer di beberapa media. Petra memiliki hobi membaca, menulis, menggambar, jalan-jalan, dan mendengarkan musik. Sapa Petra di Twitter, @maria_petronel3.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi pengalaman terkait dengan komunitas minoritas LGBT Indonesia. Kirimkan cerita Anda ke contact@melela.org dan temukan langkah-langkah pengiriman kisah di menu Share Your Story di bagian atas halaman ini. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan masyarakat Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
2 Responses to “Petra Merasa Masyarakat Indonesia Perlu Pengetahuan tentang LGBT”
June 24, 2016
sandjKok, melela.org udah lama gak update cerita ya ?,
August 18, 2016
xoxoKak, kok gak pernah update lagi cerita inspiratifnya ?, ditunggu dari bulan mei ?, pengen baca cerira hidup inspiratif dari lgbt people atau lgbt supporters.