Saya adalah orang yang suka mengamati. Dengan mengamati orang-orang di sekitar, saya bisa mengetahui siapa yang bisa membuat saya nyaman, siapa yang bisa dipercaya, dan siapa yang tidak. Kakak laki-laki saya adalah anggota keluarga pertama yang mengetahui identitas saya karena ia adalah orang yang paling mampu membuat saya nyaman menjadi diri sendiri.
Saya berusia 18 tahun ketika mengatakan kepada kakak laki-laki saya. Saat itu saya menghampiri dia ke kamarnya ketika ia pulang kerja. Ia tampak kaget ketika saya tiba-tiba masuk ke kamarnya.
“Kenapa kamu?” tanya kakak.
“Kamu, apapun yang terjadi, tetap sayang saya, kan?” ujar saya.
Dia bingung mendengar saya tiba-tiba bertanya seperti itu.
“Saya homo. Saya suka cowok,” kataku.
***
Tidak ada reaksi negatif keluar darinya. Awalnya, saya merasa ia sempat bingung bagaimana menanggapi informasi ini. Ia sempat menyangka situasi saya hanyalah sebuah kebingungan sesaat, atau saya merasa seperti ini karena kurang menonton film biru. Namun, dengan tenang saya jelaskan kepadanya bahwa saya cukup yakin dengan jati diri dan apa yang saya rasakan.
Kakak laki-laki saya adalah anggota keluarga pertama yang mengetahui identitas saya karena ia adalah orang yang paling mampu membuat saya nyaman menjadi diri sendiri.
Kami tetap berhubungan baik setelah itu. Bahkan, semenjak terbuka kepadanya, sedikit demi sedikit saya jadi bisa membicarakan hal-hal yang selama ini tidak ia ketahui tentang orang-orang seperti saya. Misalnya, tidak semua gay itu suka fashion, atau, tontonan bermuatan gay tidak membuat seseorang menjadi gay kalau memang orang tersebut tidak terlahir sebagai gay.
Obrolan-obrolan seperti ini sering saya lakukan bersamanya dan ia pun menghormati privasi saya dengan tidak membicarakannya kepada anggota keluarga yang lain. Mungkin, ia berpikir, jika ada pihak yang berhak membicarakan tentang seksualitasnya kepada orang lain, pihak itu adalah orang yang bersangkutan langsung. Seksualitas adalah hal yang sangat pribadi.
Sikap kakak semakin meyakinkan saya agar berani terbuka kepada anggota yang lain. Setelah setahun melela kepada kakak laki-laki, saya mulai memberanikan diri terbuka kepada anggota keluarga yang lain.
***
Saya masih ingat ketika mengatakan identitas saya kepada ayah. Ia tidak banyak bicara tapi saya tahu ayah kaget dan jadi nggak bisa tidur selama satu minggu. Di satu sisi saya harus memahami bahwa saya dan ayah datang dari generasi yang berbeda, oleh karena itulah penanganan kami terhadap fenomena LGBT pastilah berbeda pula. Namun, saya yakin ayah menyayangi saya, saya pun menyayangi ayah dan semua keluarga saya.
Setelah setahun melela kepada kakak laki-laki, saya mulai memberanikan diri terbuka kepada anggota keluarga yang lain.
Alasan saya melela kepada ayah karena saya menyayangi diri saya sendiri dan menyayangi ayah juga. Saya ingin hubungan kami tidak ada kepalsuan dan kepura-puraan. Mungkin, jalan menuju ke sana tidaklah mudah, tetapi ini adalah proses yang harus dilalui agar mendapatkan hubungan yang sehat itu.
***
Setelah melela, hubungan yang saya miliki dengan orang-orang di sekitar saya pun semakin baik. Karena saya bisa lebih jujur, hubungan kami terasa lebih otentik. Sekali saya merasakan apa artinya hidup dengan jujur, saya tidak ingin kembali lagi menjalani hidup yang penuh dengan rahasia dan kepura-puraan
Saya banyak mencari informasi mengenai LGBT. Untungnya, sekarang informasi mudah didapatkan. Ketika internet sudah semakin mudah diakses, saya rasa, setiap orang punya kewajiban mencerdaskan dirinya sendiri. Informasi yang saya dapatkan kemudian saya teruskan kepada orang-orang yang saya sayangi, dengan gaya saya dan cara penyampaian yang tepat.
Mungkin, jalan menuju ke sana tidaklah mudah, tetapi ini adalah proses yang harus dilalui agar mendapatkan hubungan yang sehat itu.
Misalnya, saya mengajak kedua orangtua saya menyaksikan film LGBT berjudul “Pride”. Ini adalah salah satu cara mengenalkan mereka dengan dunia saya. Muatan “Diversity” dalam pop culture pun saya rasakan banyak membantu orang-orang dalam melihat perspektif yang lebih luas. LGBT adalah sebuah pemahaman yang bisa begitu kompleks bagi sebagian orang. Namun, dengan mengintegerasikannya ke dalam karya populer, pemahaman bisa disampaikan dengan cara yang menghibur dan mudah.
Saya merasa banyak perubahan positif setelah melela kepada keluarga. Menurut keluarga saya, sebelum melela, saya adalah orang yang gampang marah dan sombong. Namun, setelah melela, saya dinilai lebih sabar dan santai.
Selama sekolah di London, hubungan saya dengan orangtua sangat dekat. Mereka selalu mengajak saya untuk Skype. Kedua kakak saya adalah sosok yang paling dekat dengan saya. Saya menceritakan hampir semua kejadian yang saya alami. Kita sering bertukar pikiran.
***
Farid Hamka kini berumur 21 tahun dan sedang menyelesaikan pendidikan Sarjana di London School of Economics, London, UK, jurusan Politik dan Ekonomi. Di waktu luang, anak ke tiga dari tiga bersaudara ini menyibukkan diri dengan mengulik hobinya bermusik dan mendalami bahasa asing. Penyuka kisah “And The Mountains Echoed” dan “The Colour Purple” ini lahir pada 16 Desember 1993. Sapa Farid di akun Twitter @Faridhamka dan nikmati bidikannya di akun Instagram @Leviathan93.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langlah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
One Response to “Perubahan Farid Setelah Melela”
December 8, 2015
lydia6936Instagram adalah tempat pertama saya ‘bertemu’ dengan Farid Hamka. Awalnya saya hanya terpesona dengan bidikannya dan caption yang indah. Luar biasa, begitu saya menggambarkannya. Saya bukan hanya mengagumi Farid, melainkan juga Fitri dan Feisal. Awalnya, hanya itu. Saya hanya menyukai post mereka di Instagram. Setelah melihat salah satu post Feisal dan Forbes, insting ‘kepo’ saya semakin menjadi-jadi… maka saya beranikan diri untuk googling tentang Trio Hamka ini dan saya tercengang. Mereka selalu berhasil membuat saya ‘kagum’ 🙂