Semenjak kecil sampai remaja, saya tidak pernah memiliki keberanian untuk membicarakan keberbedaan diri saya kepada orangtua. Karena memendam ini, saya pernah merasakan konflik batin saat masih remaja. Saat itu saya merasa membenci diri saya. Saya tidak menerima bahwa saya memiliki kecenderungan lain bila dibandingkan dengan anak laki-laki lain. Saya menolak diri saya. Konflik batin ini mendorong saya kepada sebuah fase depresi.
Pada saat seseorang mengalami depresi, ia kehilangan semangat untuk menjadi hidup. Jiwa dan hati rasanya merosot. Saya mengalami itu ketika duduk di kelas 3 SMA.
Kebanyakan hari-hari saya habiskan terkunci di kamar dan menyendiri. Kedua orangtua saya menyadari hal ini. Sampai suatu hari, mereka menghampiri saya ke kamar. Mereka mencoba mengajak saya berbicara dan mencoba menghangatkan jiwa saya dengan kasih sayang. Namun, saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya bicarakan kepada orangtua saya. Bagaimana saya memberitahu mereka bahwa anak mereka dilahirkan berbeda? Saya terlahir sebagai seorang gay.
Tiba-tiba, Papa mengatakan, “Kita tahu kamu seorang gay, dan itu tidak masalah.”
Ternyata kedua orangtua saya sudah mengetahui keberbedaan saya semenjak kecil. Dari hal permainan apa yang saya sukai, kegiatan yang saya sukai, dan perilaku saya. Pada hari itu mereka mencoba meyakinkan saya—membebaskan saya dari nestapa. Mereka mengatakan, “Jika kami bisa menerima diri kamu apa adanya, begitu juga kamu seharusnya.”
***
Depresi dapat terjadi terhadap seseorang akibat hal-hal menyakitkan yang terjadi berturut-turut. Saya banyak mendapatkan perlakuan leceh dari lingkungan sekitar semenjak kecil. Perlakuan yang melecehkan diri saya banyak terjadi di lingkungan sekolah, bukan di keluarga.
Tahun-tahun saya menjalani masa SMP adalah salah satu yang terberat. I don’t like my junior high school years up until this day. Saya menjalani pendidikan SMP saya di Blitar. Ada sebuah kejadian yang belum pernah saya ceritakan ke siapa pun sampai hari ini. Kejadian itu menggoreskan luka yang begitu dalam. Dalam agama saya, luka ini disebut luka batin.
Saat itu saya menjabat sebagai ketua osis di SMP saya. Pada suatu hari, sekolah saya menyelenggarakan sebuah acara dan seluruh anggota sekolah berkumpul di lapangan, termasuk guru, murid, kepala sekolah, sampai para karyawan. Sebagai ketua osis, saya memiliki kewajiban untuk maju ke depan dan memandu acara.
Saya masih ingat sewaktu saya melangkahkan kaki maju ke depan. Di pertengahan jalan menuju podium, sekelompok anak mulai berteriak, “BANCI… BANCI… BANCI…” lalu disusul oleh anak-anak lain yang menjadi ikut-ikutan. Suara-suara itu semakin lama semakin lantang, seluruh sekolah dapat mendengarnya. Langkah kaki saya terasa berat. Tidak lama saya mulai mendengar suara tawa yang semakin lama semakin jelas. Dari mulai ejekan lalu kini suara tawa yang menggelegar.
Dapatkah membayangkan apa yang saya rasakan saat itu? Rasanya saya malu sekali. Satu sekolah mengolok-olok saya.
Saat ini usia saya 43 tahun dan saya masih bisa merasakan luka batin yang terjadi pada hari itu, sewaktu saya masih duduk di bangu SMP.
***
Saya mencoba mengerti keadaan. Saya harus memahami situasi mereka untuk bisa memaafkan. Bagaimana pun, mereka tinggal di daerah, sebuah kota kecil. Saya terlahir berbeda, dan saat itu, masyarakat kota kecil belum bisa menyikapi seorang yang memiliki perbedaan seperti saya dengan tepat. Saya harus bisa berbesar hati.
Saya mencoba memaafkan mereka. Terkadang orang tidak menyadari akibat mental dari sebuah ejekan.
Buat mereka mengatakan, maaf, “Banci,” hanyalah sebuah kelakar. Mereka anggap itu sebuah bercandaan. Tetapi tidak buat saya yang menerima ejekan itu. Apalagi itu terjadi oleh seseorang yang masih belum matang. Sekolah tidak mengambil tindakan apapun mengenai kejadian yang saya alami. Mereka diam dan bergeming.
Saat itu saya tidak memiliki tempat untuk bercerita. Semuanya saya pendam dan berujung menjadi depresi. Itu tidak baik dan adalah pelajaran yang berharga buat saya. Jika ada seorang anak mengalami hal yang sama, ia harus bisa berbicara pada seseorang dan mendapatkan pertolongan sebelum terlambat.
Saya sempat mendapatkan pertolongan sewaktu sudah menjalani masa depresi. Orangtua saya membawa saya kepada psikolog. Sebagai seorang ahli, saya masih ingat apa yang psikolog itu katakan pada saya, ia mengatakan bahwa gay bukanlah penyakit yang harus disembuhkan. Jika ada seseorang meminta untuk melakukannya, itu sama saja dengan meminta saya untuk mengganti seorang yang terlahir berkulit cokelat menjadi kulit putih.
***
Di dunia fashion saya menemukan jiwa dan semangat. Jika katanya dunia fashion itu sombong, tetapi buat saya, industri ini bisa dijadikan contoh akan penerimaannya terjadap orang-orang seperti saya. Cukup lama untuk bisa meyakinkan orangtua saya bahwa saya mampu berhasil sebagai seorang desainer. Kedua orangtua saya menginginkan saya menjadi seorang pebisnis. Namun bukan di situ hati saya berlabuh.
Sewaktu lulus SMA, orangtua ingin saya melanjutkan pendidikan ke sekolah bisnis, bukan mode. Alasannya karena ayah saya menginginkan saya seperti dirinya. Ia seorang pebisnis. Ayah saya ingin anaknya memiliki masa depan yang mantap.
Saya harus membuktikan pada orangtua bahwa saya bisa berhasil menjadi desainer.
Restu orangtua berhasil saya dapatkan ketika berhasil mendapatkan peringkat kedua Lomba Desain Busana yang diadakan oleh majalah Sarinah tahun 1989. Melalui kejuaraan itu, saya memenangkan beasiswa sekolah mode di Jepang. Ketika itu ayah menangis bahagia dan dia memberikan restunya kepada saya untuk menjadi seorang desainer.
Sebagai seorang desainer, saya cukup beruntung mendapatkan beberapa penghargaan. Itu banyak membantu dalam karier saya. Namun, buat saya pribadi, penghargaan tebesar buat saya ketika saya pulang ke rumah orangtua saya. Saya menemukan kliping-kliping majalah mengenai saya yang dikumpulkan orangtua saya. Di situ saya merasa bahagia sekali, saya berhasil membuat orangtua saya bangga.
***
Tri Handoko lahir di Blitar pada 6 November 1969 dan mengawali karier sebagai desainer dengan mengagas label pakaian bernama Frantho. Pada 2001, ia pertama kali menggelar presentasi koleksi dari label tersebut. Sebelum mendirikan labelnya, pengguna akun twitter @3handoko ini, sempat bekerja pada beberapa desainer Indonesia ternama, salah satunya Biyan Wanaatmadja. Pada 2013, Tri Handoko terpilih kembali menjabat sebagai ketua Ikatan Perancang Mode Indoenesia, salah satu organisasi mode bergengsi di Indonesia.
BE A HERO, PARTICIPATE! Anda dapat berbagi kisah saat melela dan menceritakan bagaimana orang-orang yang Anda cintai mampu menerima diri Anda dengan baik. Baca langkah-langlah pengiriman kisah di menu Share Your Story. Kisah Anda akan menjadi bukti nyata akan Indonesia yang inklusif dan berpikiran terbuka.
No Responses to “Tri Handoko Berbesar Hati dan Memaafkan”